Denpasar (Metrobali.com)-

 Ajang olimpiade sains nasional (OSN) bagi siswa berkebutuhan khusus (ABK) pendidikan dasar (Diknas) tahun ini berlangsung di Hotel Sanur Paradise, Denpasar, mulai Minggu (2/9) kemarin dan akan berlangsung Kamis (6/9) mendatang. Melibatkan peserta sebanyak 264 orang ABK dari 33 Provinsi di Indonesia.

Para peserta tersebut, berlaga dalam delapan katagori lomba, di antaranya cerdas cermat MIP SLB/Inklusif, dan cerdas cermat MIPA SMPLB untuk siswa tunanetra, sedangkan siswa tunarungu atau tunadaksa atau autisme berlaga dalam Olimpiade Matematika SDLB/Inklusif, Olimpiade IPA SDLB/Inklusif, Olimpiade Matematika SMPLB, Olimpiade IPA SMPLB, lomba IT (komputer) SMPLB/Inklusif dan lomba Kewirausahaan SMPLB/Inklusif.

Pada pembukaan OSN ABK Diknas 2012, Prof. Dr. Musliar Kasim selaku Wakil Mendikbud Bidang Pendidikan menegaskan bahwa dari 106 ribu anak berkebutuhan khusus khusus (ABK) baru sekitar 30,5 persen yang menikmati jaminan hak pendidikan dasar. Ini berarti sebanyak 65 persen angka partisipasi murni ABK belum menikmati jaminan hak untuk jenjang pendidikan dasar. Kendalanya, karena ketidaktahuan orang tuanya, sengaja disembunyikan orang tuanya, lokasi tempat tinggalnya sulit dijangkau, ketidakmampuan sekolah memberikan layanan pendidikan inklusif dalam rangka wajib belajar 12 tahun.

Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan inklusif, Kemendikbud menargetkan minimal sebanyak 15 kabupaten/kota pada tahun ini mendeklarasikan diri sebagai kabupaten/kota inklusif dan 5 kabupaten sebagai kota Pendidikan Layanan Khusus (PLK) dengan dukungan pendanaan dan advokasi dari Kemendikbud melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PPKLK) Pendidikan Dasar.

Ini sejalan dengan semangat UUD’45 dan UU Sisdiknas dengan falsafah bangsa Bhinneka Tunggal Ika dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi dalam sidang paripurna DPR RI, 18 Oktober 2011 lalu. Di mana program pendidikan inklusif yang telah diperkenalkan sejak 1984 silam ini sebagai program alternatif nasional dalam rangka pemenuhan hak pendidikan yang dijiwai oleh semangat nondiskriminatif.

Dalam kesempatan itu, Prof. Kasim sempat diberikan cenderamata oleh anak disabilitas (ABK) bertuliskan Kami (ABK,-red) bukan produk gagal dari ciptaan Tuhan. “Saya sangat tersentuh dengan cenderamata tersebut,” katanya.

Ditegaskan, bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki talenta karena itu diselenggarakan OSN agar anak berkebutuhan khusus bisa berprestasi. Jadi masyarakat jangan rendah diri jika memiliki anak berkebutuhan khusus.

Di samping itu, juga diserahkan penghargaan kepada gubernur, bupati/walikota, rektor, guru, kepala sekolah, dan tokoh masyarakat. Sebagai bentuk apresiasi dari Kemendikbud terhadap lembaga dan perorangan yang telah menunjukkan komitmen tinggi dan kerja keras dalam pembudayaan pendidikan inklusif. Proses selektif nominator penerima penghargaan ini dilakukan oleh tim juri independen dan profesional.

Penghargaan ini digagas atas kerjasama antara Direktorat Pembinaan PKLK Dikdas dengan Helen Keller International perwakilan Indonesia. Dalam tahun ini terdapat sembilan kepala daerah berhak atas penghargaan Inclusive Education Award bersama para tokoh pendidikan lainnya. Di antaranya gubernur DKI Jakarta Dr. Ing. Fauzi Bowo atau lebih dikenal dengan sebutan Foke dan Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin. Sedangkan, dari kategori bupati/walikota diberikan kepada Aceh Besar, Payakumbuh, Sukabumi, Jogyakarta, Sidoarjo, Lembata, dan Enrekang.

Lebih jauh, Direktur Pendidikan Khusus Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Mudjito berharap keterlibatan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai pemegang mandat otonomi daerah untuk senantiasa ditingkatkan dalam memberikan layanan pendidikan inklusif.

Diakuinya, OSN ABK Disdik merupakan upaya pemerintah dalam menggugah para orang tua pemilik ABK agar lebih percaya diri untuk meningkatkan prestasi anaknya. Sementara itu, para anak disabilitas merasa hidupnya lebih berarti karena punya kesempatan untuk mengembangkan bakat dan potensi dirinya dalam keterbatasan fisik.

Menurutnya, penguatan satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif memerlukan komitmen dari pemerintah (pusat dan provinsi serta kabupaten/kota) serta pelaksana pada satuan pendidikan. Selain itu, juga butuh alokasi dana untuk peserta didik bagi ABK memang besar dibandingkan dengan pelayanan pendidikan bagi anak lainnya. IJA-MB