orang tua dan anak
Tuli Kongenital merupakan kesulitan pendengaran pada satu maupun kedua telinga yang dialami sejak bayi karena terinfeksi bakteri maupun virus ketika berada di dalam kandungan.

Selain karena terserang campak dan parotitis (gondong), beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik yang dikonsumsi ketika sedang mengandung berpotensi menyebabkan gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea) bayi.

Keluhan pendengaran ini juga sering ditemukan pada bayi prematur serta bayi yang lahir dengan berat badan di bawah 1.500 gram.

Pendengaran anak yang terganggu sejak lahir ini akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk berbicara, yang mana suara maupun bunyi tidak mampu diterima dengan baik, sehingga yang terbaca hanya gerak mulut lawan bicara tanpa mendengar bunyinya.

Anak-anak dengan keluhan ini tidak mendengar bunyi dan hanya mendengar suara dengan kualitas buruk.

“Anak yang sejak kecil terbiasa dengan pendengaran yang terbatas itu akan berpikir bahwa orang normal juga tidak mendengar, padahal sebenarnya anak yang bersangkutan mengalami gangguan pendengaran,” ujar Kepala Departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorok Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Trimartani di Jakarta, 16 Januari 2015.

Artikulasi kata yang tidak pernah dikenal akan membuat ucapan mereka hanya terdengar seperti sedang bergumam atau lebih dikenal dengan “gagu” ketika berusaha berbicara, tambahnya.

Kelainan pendengaran itu kemudian menghalangi komunikasi dan interaksi mereka dengan orang lain, yang dapat menghambat perkembangan kognitif, psikologi dan sosial anak kelak, sehingga penderita akan bergantung pada orang lain dan dapat menjadi beban keluarga.

“Dengan perkembangan waktu dan tanpa disertai latihan bicara, mereka akan cenderung menyendiri karena tidak dapat berkomunikasi, masalah sosial ini akan semakin parah ketika mereka beranjak remaja dan akhirnya dewasa,” kata ia.

Terkait hal tersebut, peran orang tua menjadi sangat penting untuk mendorong anak-anak ini dapat berkomunikasi dan berinteraksi agar mereka tidak terisolir di dalam lingkungan.

Fasilitas alat bantu pendengaran, menurut Trmartani, menjadi salah satu langkah untuk mengenalkan suara pada penderita Tuli Kongenital ini.

Kemajuan teknologi membuat alat ini tersedia dalam beberapa bentuk, di antaranya ditempelkan pada telinga, ditanamkan pada tulang, maupun pemasangan implan melalui operasi.

“Tentu saja ada fasilitas alat bantu dengar yang membuat mereka mengenali suara, namun bukan hanya alat itu yang anak-anak ini butuhkan, orangtua harus aktif mengajak anak-anak berbicara agar kata-kata yang mereka keluarkan menjadi jelas dan tidak terbata-bata,” kata ia.

Deteksi Dini Sosialisasi mengenai deteksi dini Tuli Kongenital ini mulai gencar dilakukan, karena World Health Organization (WHO) memosisikan Indonsia menjadi negara keempat di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi berdasarkan hasil penelitian “WHO Multi Center Study” pada 1998.

Data tersebut membuat Badan Kesehatan Dunia ini mencanangkan program Sound Hearing, yakni kesehatan telinga dan pendengaran masyarakat di Asia Tenggara diharapkan telah optimal pada 2030.

Anjuran itu kemudian dijawab Pemerintah Indonesia dengan mendirikan Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) dan mengimbau sejumlah instansi masyarakat untuk melaksanakan usaha pencegahan kasus-kasus gangguan pendengaran dan ketulian tersebut.

Menurut Trimartani, pemberitahuan terkait pemeriksaan dini keluhan telinga ini telah banyak disosialisasikan rumah sakit maupun sejumlah kelompok kesehatan, namun sejumlah orang tua yang terlambat mendeteksi Tuli Kongenital pada anak masih kerap ditemukan hingga saat ini.

“Pemeriksaan pendengaran sangat penting dilakukan saat bayi lahir, kalau keluhan dikenali sejak dini kita dapat lebih mengintervensi atau merehabilitasi sisa kemampuan mendengar yang ada, sehingga pendengaran bisa berkembang menjadi optimal,” ujar Trimartani.

Namun, dampak Tuli Kongenital ini masih asing bagi sebagian orang tua, yang mana gangguan ini diperiksakan ketika balita tidak lancar berkomunikasi pada umur dua tahun.

Bahkan, menurut ia, terdapat juga sejumlah kasus dimana kesulitan anak untuk berbicara, baru akan dilihat orangtua ketika telah menginjak usia tiga hingga empat tahun.

Padahal, perkembangan bicara bayi telah dimulai sejak tujuh atau delapan bulan, yang mana di usia tersebut bayi telah dapat mengucapkan satu suku kata, sehingga pemeriksaan pada umur dua tahun lebih sudah sedikit terlambat.

“Sebaiknya memang sudah harus mulai tumbuh kesadaran bagi para orang tua untuk memeriksa kualitas pendengaran anak sejak bayi agar dapat cepat dibantu dengan alat dengar sehingga kemampuan komunikasinya juga sudah terlatih sejak kecil,” ucapnya.

Libatkan Kerabat Sementara itu, Pemilik PT Kasoem Hearing dan Speech Center M Hatta Kasoem mengatakan kegiatan untuk melibatkan serta kerabat dalam kegiatan interaksi ini dinilai tidak kalah penting.

Pemerhati yang telah menggeluti dunia gangguan pendengaran dan bicara anak selama 26 tahun ini menuturkan bahwa interaksi penderita gangguan pendengaran dengan kerabat seusianya menumbuhkan rasa percaya diri untuk membangun komunikasi yang cair.

“Penderita gangguan pendengaran ini dapat bermain seperti anak normal di lingkungannya, ketika kakak, adik, maupun orang yang tinggal di sekitarnya juga aktif menerapkan pengajaran bahasa dan berbicara, bukan hanya orang tua,” kata ia.

Selain itu, memasukkan anak pada sekolah umum juga menjadi salah satu stimulus bagi orang tua agar anak menjadi mandiri dan tidak merasa dibedakan.

“Dengan masuk sekolah umum dia tidak merasa beda, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik juga kemudian menjadi lebih besar,” ujar pria yang mengembangkan terapi audiometry verbal untuk penderita gangguan pendengaran di Cochlear Training and Experience Center Indonesia.

Ia juga menyarankan orang tua untuk aktif berkomunikasi dengan para ahli gangguan pendengaran dan bicara, maupun rekan yang mempunyai pengalaman sama, sehingga pengetahuan mengenai penanganan dan belajar anak terus berkembang dan membaik. AN-MB