KTP

Denpasar (Metrobali.com)-

Ombudsman Perwakilan Bali tidak setuju dengan wacana pengosongan agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) elekronik karena akan menimbulkan permasalahan baru.

“Wacana pengosongan agama bagi masyarakat yang menganut keyakinan atau kepercayaan tertentu di luar ketentuan enam agama yang diakui pemerintah itu akan menimbulkan permasalahan baru seperti masuknya paham ISIS (Islamic State of Iraq and Syria),” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Bali, Umar Ibnu Alkhattab di Denpasar, Senin (10/11).

Menurut dia, sesuai dengan undang-undang, warga negara Indonesia pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Cu (Confusius), wajib hukumnya dicantumkan dalam kolom KTP elektronik.

Selanjutnya, dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 Ayat (1), disebutkan bahwa KTP elekronik mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP elektronik tersebut.

Oleh karena itu, pihaknya tidak sepaham dengan wacana pengosongan agama bagi penganut keyakinan atau kepercayaan tertentu di luar ketentuan enam agama tersebut. “Jika itu dibiarkan kosong, maka besar peluang penganut paham radikal menyusup di sejumlah wilayah di Indonesia,” ujarnya.

Menurut dia, itu hanya salah satu contoh dampaknya dan masih banyak dampak lain yang akan muncul jika diizinkan mengosongkan agama pada KTP elektronik tersebut.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan warga Negara Indonesia penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah boleh mengosongi kolom Agama di KTP elektronik.

“Itu kepercayaan, sementara kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera ketemu Menteri Agama untuk membahas ini. Pemerintah tidak ingin ikut campur pada WNI yang memeluk keyakinannya sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum,” kata Tjahjo.

Dengan demikian, artinya WNI pemeluk keyakinan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan dan Malim, namun di KTP tertera sebagai salah satu penganut agama resmi boleh mengoreksi kolom agama mereka.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam KTP elektronik adalah agama resmi yang diakui Pemerintah.

Sehingga, untuk mengisi kolom agama dengan keyakinan memerlukan waktu untuk melakukan perubahan atas UU tersebut. AN-MB