Buleleng, (Metrobali.com)-

Sebagai penggugat, Desak Putu Semadi (72), Dewa Putu Susrama Ariawan (53), Dewa Made Panca Putra (37) yang sama-sama beralamat di Jalan SAM Ratulangi, Kelurahan Penarukan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Bali menggugat oknum Notaris berinisial GPKW beralamat di Jln Diponegoro, Seririt, Kelurahan/Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali dan I Wayan Adrian Rainartha Nugraha (21) beralamat di Jalan Pulau Buru, Denpasar, Lingkungan Pekambingan, Desa Dauh Puri, Kecamatan Denpasar Barat, Kodya Denpasar, Bali, sebagai tergugat 1 dan tergugat 2.
Para penggugat ini merasa dijebak menandatangani kertas kosong yang kemudian muncul Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli No. 07, Tertanggal 12 Oktober 2018, dan Akta Kuasa Menjual No. 08, Tertanggal 12 Oktober 2018, serta Kwitansi Pembelian atas sebidang tanah pertanian, sertipikat hak milik No. 15 dengan Luas 7000 meter persegi. Sebidang tanah ini dianggunkan sebagai jaminan meminjam uang Rp. 150 juta selama 3 bulan dengan bunga Rp 100 juta.
Selaku kuasa hukum penggugat, I Nyoman Sardana, SH,MH dan rekan yang berkantor di Jalan Teleng No. 19A Singaraja secara tegas mengatakan kasus ini sudah masuk kepersidangan di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja pada Senin (29/6/2020) denga agenda sidang pembacaan surat gubatan, dengan Ketua Majelis Hakim A.A Sagung yuni wulantrisna,SH
Agenda sidang: pembacaan Surat Gugatan.bahwa dibalik semua ini, terkesan ada mafia tanah yang perlu diberantas. Karena sudah banyak yang menjadi korban. “Kita ingin mengetuk hati teman-teman yang ada di Majelis Pengawas Notaris Kabupaten Buleleng. Karena di Singaraja ini menurut pengamatan saya banyak oknum notaris yang membantu mafia tanah. Jadi mereka yang duduk di pengawas notaris, agar jangan hanya bermain di hukum formal. Mereka harus bermain hukum yang lebih progresif yang ada manfaatnya. ” harapnya.
Karena mereka yang berniat jahat, kelihatan di bantu oleh notaris.”Logikanya dimana, kok pinjaman Rp 150 juta bisa menguasai tanah yang nilainya Rp 2,1 miliar. Ini kan jelas mafia. Dan setelah saya maju perkara ini di pengadilan, banyak perkara dimana orang ini banyak modusnya, kalau nggak salah sampa 3-4 perkara. Di kepolisian, saya juga diskusi dengan teman di Polres Buleleng. Ada 2 laporan yang sama kasusnya dan juga orangnya sama. Korban banyak di Singaraja. Nah, di tegaskan supaya majelis pengawas notaris itu, mulailah mengadakan pengawasan yang agak lebih ketat dan serius. Begitu juga, jangan hanya bermain di hukum formal. Ya mulailah kepada hukum progresif biar lebih bermanfaat di masyarakat.” jelasnya.
Lebih lanjut diungkapkan, kronologis kasus ini, berawal dari penggugat kesulitan masalah dana. Selanjutnya berkeinginan pinjam uang, di bantulah oleh beberapa orang yang mungkin sebagai perantara. Saat meminjam uang, dapat ketemu orang namanya Ketut sugiarta dia notaris di Denpasar.
Disepakati pinjam uang Rp 150 juta dalam tenggang waktu 3 bulan, mengembalikan Rp 250 juta.”Selama 3 bulan, belum mampu melunasi hutangnya, diperpanjang 1 bulan. Disaat mau melunasi Rp 250 juta, bertemu dengan notaris yang membawa belangko perjanjian jual beli. Pada saat itu pak dewa sedana dengan anak anaknya tetap ngotot tidak tanda tangan, karena ini urusan hutang piutang bukan jual beli. Namun tetap disuruh tanda tangan saja. Akhirnya mau tanda tangan tetapi di tegaskan lagi “tyang niki kan pinjam uang”, dijawab oleh notarisnya “nggih”. Hal ini, disaksikan banyak orang termasuk perantara.”Tempo yang 1 bulan belum selesai, sudah dapat uang dani pak dewa mau mengembalikan Rp 250 jt, namun tidak di kasi, katanya sudah di balik nama sertifikatnya itu menurut notaris.” Ujarnya.” Dalam akta jual beli dicantumkan Rp Rp 150 juta. Sedangkan harga tamah secara keswluruhan Rp 2,1 miliar. Logikanya dimana, nilai tanah Rp 2,1 miliar hanya dengan Rp 150 juta diambil begitu saja.” ujar geram Sardana. GS