Ilustrasi-Korupsi

Denpasar,  (Metrobali.com) –

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomitmen bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendalikan gratifikasi karena tindakan itu merupakan akar permasalahan terjadinya korupsi.

“Hampir seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK berawal dari gratifikasi,” kata Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti, ditemui pada Pendidikan Jurnalistik Keuangan OJK di Bali, Selasa (12/5).

Menurut dia, definisi gratifikasi berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada dua hal.

Dalam arti luas di antaranya pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap. Khususnya apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,” ujarnya.

Oleh sebab itu, jelas dia, tindak gratifikasi tersebut wajib dikendalikan dengan Program Pengendalian Gratifikasi sesuai rencana strategis OJK Bidang Governance bahwa tahun 2015 adalah tahun penguatan integritas OJK.

Program pengendalian gratifikasi itu juga didukung oleh revitalisasi “Whistle Blowing System” (WBS).

“Upaya itu dilakukan dengan peningkatan pengelolaan pengaduan dan tindak lanjutnya. Selain itu dengan optimalisasi penggunaan WBS OJK oleh pemangku kepentingan,” tuturnya.

Meski demikian, tambah dia, penerapan WBS sudah diberlakukan sejak tahun 2013. Akan tetapi karena dikelola sendiri maka pada umumnya pelapor segan. Oleh sebab itu, OJK melakukan inventarisasi dan membuat sistem canggih.

“Hal itu dilaksanakan dengan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga. Dengan begitu, tidak tahu siapa yang melaporkan,” ujarnya.

Di sisi lain, sebut dia, walaupun WBS direvitalisasi mulai 31 Maret 2015 hingga kini total pelaporan mencapai 10 pengaduan. Dari jumlah itu dua di antaranya pelaporan yang salah alamat karena mengadu tentang pelanggaran industri dan produk keuangan.

“Padahal, pengaduan melalui WBS itu idealnya tentang pelanggaran oleh insan OJK,” ucapnya.

Ia melanjutkan, di antaranya korupsi, kolusi, nepotisme, kecurangan (fraud) termasuk penipuan, penggelapan aset, pembocoran informasi, pencurian. Kemudian, melakukan pelanggaran, benturan kepentingan, serta perbuatan melanggar hukum dan peraturan internal OJK.

“Namun, dari 10 pengaduan itu umumnya adalah pelaporan yang terkait benturan kepentingan. Pelaporan itu ada yang menyasar deputi dan dewan komisioner di mana mayoritas disebabkan ketidaktahuan pelapor karena pejabat di OJK boleh merangkap fungsi ketika mendapat tugas khusus,” katanya. AN-MB