DALAM balutan warna serba putih, gerakan sosok tubuh itu tampak serasi dengan alunan musik yang mengiringinya di atas panggung yang mampu menarik perhatian penonton.

Gerakan tari kontemporer (modern), namun tetap terbingkai dalam nuansa ritual, karena penggarapannya tetap berangkat dari akar tradisi dan kekentalan seni budaya Bali yang diwarisi secara turun temurun.

Sosok I Nyoman Sura, S Sn. Msn (37), koreografer yang sukses dalam pentas kegiatan internasional “Malaka art Performance and Festival (Mapfest) di Malaysia akhir tahun 2012 itu kini telah tiada.

Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu telah pergi untuk selama-lamanya akibat penyakit infeksi paru-paru dan tumor pankreas. Pria kelahiran Kesinam, Kota Denpasar, 10 April 1976 menghembuskan nafas terakhir dalam perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Denpasar pada hari Jumat (9/8).

Civitas akademika ISI Denpasar hingga musisi nasional Dwiki Dharmawan merasa kehilangan atas kepergian I Nyoman Sira untuk selama-lamanya. Ratusan sahabat dekat almarhum yang terdiri para dosen, mahasiswa dan artis Bali menggelar doa bersama, sekaligus aksi lelang lagu dan lukisan di kampus ISI Denpasar Selasa malam (13/8).

Rektor ISI Denpasar Dr Gede Arya Sugiartha menilai, almarhum adalah seniman muda yang kreatif, enerjik dengan belasan karya cipta tarinya, sekaligus menumbuhkembangkan minat dan bakat masyarakat luas terhadap seni kontemporer khususnya seni tari, dibanding tari klasik dan kreasi yang kini sudah memasyarakat di Pulau Dewata.

Nyoman Sura lulusan terbaik dalam menyelesaikan pendidikan S-1 di di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) tahun 1996, yang kini berabah menjadi ISI Denpasar, kemudian menyelesaikan jenjang S-2 di ISI Surakarta tahun 2011.

Pria yang masih membujang itu memang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan seni budaya Bali, tentu sangat berat baginya dalam menggarap dan menciptakan karya seni tari yang menyimpang dari nilai-nilai tradisi.

Hampir seluruh karyanya beraliran kontemporer, namun akar pijakannya tetap pada seni budaya Bali, berbeda dengan rekan seprofesinya yang tetap bertahan pada garapan tradisi tari dan gamelan Bali.

Berkat keberanian dan kemampuan tampil beda dengan kebanyakan seniman Bali, Nyoman Sura mampu meraih sukses dalam berbagai kegiatan di tingkat lakal, nasional dan internasional.

Bahkan kemampuannya dinilai sejajar dengan seniman dari Taiwan, Jepang, Belanda, Australia saat mewakili Indonesia dalam Indonesia Dance Festival-IDF”, sebuah ajang festival tari internasional yang cukup bergengsi.

Salah seorang dari tujuh koreografer terbaik Indonesia tampil dengan tari tunggal kontemporer yang diberi judul “Bulan mati/laku Sang Bulan” yang terinspirasi dari kegiatan ritual umat Hindu di Pulau Dewata.

Kegiatan yang berlangsung di gedung Natya Mandala Kampus ISI Denpasar pertengahan 2011 itu mampu “menghayutkan” penonton dalam “samudera kontemplasi” yang tampil di atas pentas dengan balutan kain panjang berwarna putih, Ornamen artistik Nyoman Sura dalam pementasannya itu memang mampu menyihir setiap mata, kiblasan kain yang dikenakan menjelma sebagai ornamen artistik dan menghasilkan keindahan tersendiri, menyatu dengan gerak tarian.

Penampilannya sangat serasi dengan unsur tari Bali yang khas dalam gerak lembutnya. Gerakan lain, tangannya menyembah, bergerak dan berputar dalam poros pinggang menunduk.

Sura, koreografer ISI Denpasar, oleh berbagai kalangan dinilai sukses menciptakan tari-tari modern (kontemporer), di tengah kentalnya nilai tradisi budaya Bali dalam kehidupan kampus.

Guru Besar ISI Denpasar, Prof Dr I Wayan Rai.S pernah memuji atas prestasi yang diraih Nyoman Sura yang mampu mengangkat citra dan mengharumkan kampus di tingkat nasional maupun internasional.

Garapan karya tari kontemporer yang diberi judul “waktu itu” diangkat dari kehidupan manusia yang penuh lika-liku dan tantangan untuk ditampilkan dalam festival yang berlangsung di Medan, Sumatera Utara.

Ia mampu tampil dengan menyuguhkan garapan tari modern jauh lebih baik dan menarik dibanding penampilan seniman dari Jogyakarta, Bandung, Aceh, Pekanbaru, Jakarta dan tuan rumah Medan.

Sura saat itu tampil ke atas pentas “tanpa busana” untuk menghadap Sang pencipta, yang kemudian seluruh tubuhnya dibalut dengan kain putih.

Pementasan yang durasi 25 menit itu mendapat sambutan meriah dari masyarakat penonton, yang umumnya dari kalangan akademis, kenang Prof Wayan Rai yang sempat mendampinginya dalam pementasan di Sumut itu.

Sejumlah karya tari kontemporer lainnya diberi judul Lakuku (1999), Seribu Wajah (2001), Dua-1 (2002), Bulan Mati (2003), That Time (2004), Lanying (2005), Merah (2006) dan Soul of Ravana (2007), Selain itu juga karya berjudul Sri Tanjung (2009), The Lost (2010), dan Kepala Kelapa (2011) dan sejumlah karya yang digarap tahun 2012 serta meraih penghargaan sebagai koreografer terbaik dalam Lomba Cipta Karya Gerak se-Jawa-Bali (1995), dan pementasan tari di Gedung Kesenian Jakarta (1999).

Demikian pula sukses berkolaborasi dengan penari balet Marcia Haydee dalam pentas Ramas Sinta di Jerman (2000), berperanserta dalam Singapore Art Festival (2001), pentas “Calonarang” di Tokyo, Jepang (2002), Indonesia Dance Festival di Jakarta (2004) serta berkolaborasi dengan Tropical Transit Band di Bedog Art Festival, Yogyakarta (2009).

Dosen yang enerjik dan kreatif itu juga pernah bekerja sama dengan Garin Nugroho dalam garapan film berjudul Opera Jawa (2006) dan Under The Three (2008).

Sering ke luar negeri Dr Arya Sugiartha menjelaskan, sosok Nyoman Sura dalam aktivitasnya menggeluti seni kontemporer setiap tahun tiga hingga empat kali mengadakan lawatan ke mancanegara untuk kepentingan pentas atau lokakarya dan sejenisnya.

“Ia sebagai dosen tidak pernah lupa minta izin keberangkatannya ke luar negeri itu dan saya pernah mendapat cindera mata berupa sebuah pena tajam dan bola dunia kecil sebagai oleh-oleh dari luar negeri,” kenang Arya Sugiartha.

Ia mengenal sosok Nyoman Sura selama 17 tahun terakhir dan memberikan julukan sebagai seorang pengabdi seni tanpa pamrih yang mampu mengantarkan dirinya menjadi salah seorang dosen ISI yang mendunia.

Musisi nasional Dwiki Dharmawan, sahabat dekat almarhum dalam proses berkesenian mengaku merasa sangat kehilangan atas meninggalnya Nyoman Sura. Ia mengenal sosok teman dekatnya itu sejak tahun 2004 dan pernah melakukan pagelaran kolaborasi sebanyak enam kali di dalam dan luar negeri.

Tarian yang diciptakan almahur selalu mendapat apresiasi penonton, karena sangat menarik dan mengesankan. Dalam doa bersama itu berhasil melelang lagu milik gitaris Wayan Belawan terkumpul dana sekitar Rp35 juta ditambah lelang lukisan milik Wayan Sujana Suklu yang juga dosen ISI senilai Rp30 juta.

Sebelumnya juga terkumpul dana dari para donator sebesar Rp18 juta yang keseluruhannya akan diserahkan kepada keluarga almarhum. AN-MB