Yerusalem (Metrobali.com) –

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (17/2) menyatakan keyakinan bahwa permintaan dari negara-negara di dunia terhadap teknologi canggih Israel akan memungkinkan negara itu mengepung negara-negara yang termasuk dalam kelompok pro-Palestina, yang menganjurkan boikot ekonomi terhadap negara Yahudi itu.

“Saya pikir sangat penting bahwa para pemboikot itu harus tahu siapa mereka – Mereka hanyalah para anti-Semit klasik dalam pakaian modern. Dan saya pikir kami harus melawan mereka,” kata Netanyahu dalam pidatonya di sebuah konferensi para pemimpin Amerika Serikat keturunan Yahudi.

Ketika Netanyahu menyebutkan para pemboikot, ia mengacu pada gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) yang disponsori oleh para intelektual dan blogger pro-Palestina, yang berkampanye untuk memboikot semua produk buatan Israel dan mempertanyakan legitimasi Israel.

Sementara itu, Netanyahu mengutip pernyataan para pemimpin perusahaan teknologi tinggi internasional yang ia temui, khususnya mengenai industri “cybersecurity” Israel, ia mengatakan, “mereka semua menginginkan tiga hal yang sama: teknologi Israel, teknologi Israel, dan teknologi Israel”.

“Kapasitas untuk berinovasi adalah harta besar yang memiliki nilai ekonomi mendalam di dunia saat ini. Dan hal itu adalah sesuatu yang lebih besar dari yang bisa diatasi oleh para pemboikot ini,” katanya.

Dalam situsnya, kelompok gerakan BDS menuduh Israel telah menyangkal “hak-hak fundamental kebebasan, kesetaraan, dan penentuan nasib para warga Palestina melalui pembersihan etnis, penjajahan, diskriminasi rasial dan pendudukan militer”.

Dalam pidato pada konferensi yang sama pada hari sebelumnya, Menteri Keuangan Yair Lapid menegaskan kekhawatiran bahwa Israel akan disalahkan jika pembicaraan damai dengan Palestina yang saat ini ditengahi pihak AS gagal. Sebagai hasilnya, Israel bisa menghadapi sanksi ekonomi dari Eropa.

Sebelumnya, pada sebuah forum keamanan di Munich dua pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS John Kerry “menyentuh saraf” pihak Israel dengan menyebutkan adanya kampanye “peningkatan de-legitimasi” melawan Israel secara internasional dan “pembicaraan mengenai rencana boikot” jika konflik Israel-Palestina tidak berakhir.

Kepala tim perunding perdamaian Israel Tzipi Livni menggambarkan pembicaraan tentang boikot, yang dimulai pada Juli itu, sebagai suatu keadaan dimana “tembok yang bisa menghentikan gelombang” boikot ekonomi.

Selain itu, ia pun memperingatkan bahwa Israel bisa menghadapi jenis isolasi yang dikenakan pada Afrika Selatan selama bertahun-tahun pada masa apartheid.

Perusahaan-perusahaan mitra ekonomi terbesar Israel di Uni Eropa sudah mulai menunjukkan sinyal keprihatinan mereka.

Sebuah perusahaan dana pensiun Belanda, PGGM, pada bulan lalu menyatakan pihaknya mengalami divestasi (pengurangan modal) dari lima bank milik Israel karena adanya urusan bisnis terkait dengan pembangunan permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, wilayah yang direbut Israel dalam perang Timur Tengah pada 1967.

Pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah tersebut dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional, dan hal itu masih menjadi perselisihan bagi Israel. (Ant/Reuters)