Denpasar (Metrobali.com)-

Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali meminta dilakukan revisi Perda Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman atau desa adat untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan memperkuat pengakuan dari pemerintah.

“Usia perda sudah 10 tahun sehingga masih banyak hal yang sesungguhnya perlu diatur lagi. Walaupun dulu penyusunannya sudah melalui proses berpikir dan pembahasan yang panjang, tidak bisa dimungkiri ada saja yang ketinggalan,” kata Petajuh (Wakil Ketua) MUDP Bali Ida I Dewa Gede Ngurah Swastha di Denpasar, Jumat (28/6).

Menurut dia, revisi itu diharapkan dapat tersusun aturan komprehensif yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat di desa adat.

Swastha menyebut beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam revisi perda yakni aturan investasi di desa adat (desa pakraman), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), hingga penyelesaian kasus-kasus adat.

“Memang sudah ada Perda LPD, tetapi bagi kami banyak hal yang diatur belum memuaskan. Harapan kami itu bisa disatukan saja dalam Perda Desa Pakraman karena sesungguhnya LPD sebagai lembaga keuangan tidak bisa dipisahkan dari desa adat,” katanya di sela-sela menjadi pembicara pada Semiloka Tinjauan Perda Provinsi Bali tentang Desa Pakraman.

Demikian juga dengan laju investasi yang makin marak masuk ke desa pakraman, jika diatur dalam perda, maka hak dan kewajiban antara desa pakraman dengan investor menjadi lebih jelas. “Masyarakat bisa sejahtera dengan adanya investasi dan investor pun aman untuk mengembangkan usahanya,” katanya.

Swastha juga melihat dalam penyelesaian kasus-kasus adat, tidak sedikit yang harus berujung pada penyelesaian di ranah hukum. Sepanjang persoalan hukum adat murni, itu menjadi kewenangan MUDP Bali untuk menyelesaikan dan tidak boleh ada intervensi negara.

“Jika desa pakraman mendapat pengakuan yang tepat dari pemerintah maupun pihak luar lainnya, harapannya desa pakraman bisa menjalankan perannya secara optimal sehingga berimbas pada kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Ia menambahkan, masukan-masukan yang didapat dari peserta semiloka tersebut kemudian akan dijadikan bahan pertimbangan untuk mengajukan usulan revisi perda kepada pihak eksekutif dan legislatif Bali.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali Made Arjaya mengatakan sependapat dengan MUDP memang perlu dilakukan revisi karena terdapat berbagai isu penting di desa pakraman yang memerlukan pengaturan kembali.

“Desa pakraman jangan membiarkan LPD ditarik-tarik menjadi lembaga keuangan mikro, koperasi, BPR dan Badan Usaha Milik Desa. LPD memang sudah memiliki payung hukum berupa perda, tetapi lembaga itu posisinya di dua perda yakni di Perda LPD sendiri dan Perda Desa Pakraman, sehingga berpotensi menimbulkan konflik,” katanya.

Pihaknya menginginkan aturan LPD agar disatukan saja ke dalam Perda Desa Pakraman karena merupakan lembaga keuangan milik desa yang berbasis komunitas adat.

“Demikian juga perlu payung hukum mengenai tanah druwe (milik) desa. Selama ini karena desa pakraman tidak merupakan subjek hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, maka tidak dapat mendaftarkan hak miliknya ke Badan Pertanahan Kabupaten/Kota untuk mendapatkan sertifikat. Akibatnya kepemilikan tanah desa adat di Bali jadi mengambang,” katanya. INT-MB

Politisi PDIP itu menambahkan “tabuh rah” atau ritual yang mirip dengan sabungan ayam di pura juga perlu diatur dalam Perda Desa Pakraman sehingga jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

“Tabuh rah di setiap desa di Bali berbeda-beda penerapannya, kalau memungkinkan ritual itu bisa juga untuk menunjang pariwisata, tentu saja tidak boleh ada unsur judinya seperti tajen,” kata Arjaya.