Buleleng Dogen

Ada yang menarik dalam Buleleng Dogen, komunitas dunia maya yang menunjukkan spesifikasi orang-orang Buleleng, atau paling tidak komunitas orang-orang yang peduli terhadap Buleleng, kabupaten yang memiliki teritori dan penduduk terbesar diantara kabupaten dan kota se Bali. Ada komentar rame-rame tentang baliho calon pasangan Gubernur (Gub) dan Wakil Gubernur (Wagub) Bali 2013-2018 dari PDIP Bali, Puspayoga-Sukrawan. Dalam baliho itu, selain terpampang gambar besar pasangan CaGub dan Wagub, dalam gambar yang lebih besar juga terpampang gambar atau foto Pak Bupati maupun Wakil Bupati dalam masing-masing baliho.

Singkat kata, dalam masing-masing baliho itu, pak bupati dan wakilnya, memberi pesan kepada publik bahwa mereka berdua mendukung Cagub dan Cawagub dari PDIP. Karena itu muncul komentar-komentar seperti dibawah ini: “sebagai seorang kepala daerah yang menjadi milik masyarakat buleleng tidakkah punya rasa malu jika mesti pamer dukungan terhadap kandidat tertentu dalam pilgub Bali 2013..??? mumpung aturan ga melarang, mumpung tidak pakai platform jabatan…, mumpung tidak ada teguran dari kpu/panwaslu, mumpung sedang berkuasa sehingga hal seperti ini dianggap wajar.. tanggung jawab moral sebagai pengayom masyarakatnya dimana..??? apa ada jaminan tidak ada pengaruh terhadap birokrasi pemkab buleleng..???See More
— with Putu Artha and 25 others at Buleleng.”1 Ada juga yang berkomentar begini:
“Made Suaryasa Yang mencari pembenaran dg mengatasnamakan loyalitas partai…..hahaha…..dueg saje sakewala ngerti sing. Suba sai orain, yen ngalih nak dueg2 model kene anggon ngae jembatan sepanjang singaraja denpasar sedeng saking liu ada, ne ngerti langah
Kadek Mertayasa bupati buleleng kok justru dukung wakil gubernur ya? padahal waktu mencalonkan diri sebagai bupati tahun 2012, pas mangku pastika simakrame di gedung kesenian justru pendukung pas yang banyak hadir ikut simakrame, karang kok pindah dukungan hanya gara2 partai,brati pak bupati cinta partai ketimbang pigur orang”.
1 http://www.facebook.com/buleleng.dogen#!/buleleng.dogen/friends_mutual diunduh tanggal 4 Maret 2013

Kesadaran Moral

Presiden AS john F. Kennedy tahun 1961 mengingatkan bahwa; “My loyality to the party end when loyality to the state began”, atau kira-kira kalau diterjemahkan berarti, loyalitas saya kepada partai berakhir ketika tuntutan loyalitas kepada Negara sudah dimulai. Suatu peringatan yang paling sering dikutip untuk mengingatkan para penyelenggara Negara yang berasal dari partai politik untuk menyadari diri akan peran yang dijalankan. Walau sering diingatkan, nyatanya terlalu sering juga para penyelenggara Negara itu lupa atau pura-pura lupa karena ada agenda kepentingan pribadi yang lebih perlu diselamatkan. Kepentingan pribadi dalam hubungannya dengan jaminan kelangsungan hidup. Untuk kasus baliho pak Bupati dan Wakil Bupati Buleleng, yang penyelenggara Negara pada tingkat kabupaten, kedua beliau itu mungkin lupa atau pura-pura lupa akan perannya sebagai penyelenggara Negara. Atau mungkin kerangka berpikirnya dilandasi pemikiran bahwa dalam baliho itu, peran yang dijalankan sebagai pribadi semata, yang tidak ada kaitannya dengan perannya sebagai penyelenggara Negara. Kalau begitu, seperti komentar Made Suaryasa; “…mencari pembenaran”, atau seperti kata Putu Artha, mumpung ga ada aturan yang melarang. Walau ga ada aturan yang melarang, tetap diingatkan kepada beliau berdua yang penyelenggara Negara pada tingkat kabupaten itu, bahwa model-model seperti itu akan menyangkut tanggung jawab dan etika moral, yang harus diawali dengan basis kesadaran moral.
Persoalan berikutnya menjadi semakin rumit kalau kedua penyelenggara itu balik bertanya, apa hubungannya dengan moral?. Kedua beliau itu begitu yakin bahwa hal itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan moral. Semata hal itu sebagai bentuk loyalitas pribadi dua orang kader PDIP yang menunjukkan baktinya kepada partainya. Justru kalau dipaksa bahwa hal itu ada kaitannya dengan moral, kedua beliau itu akan mengatakan bahwa secara moral, justru kami berdua sudah menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada partai. Pada bagian terakhir inilah letak tidak bermoralnya kedua beliau ini, karena mereka lupa bahwa sejak dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati, sejak saat itu mereka berdua menjadi penyelenggara Negara yang secara moral dituntut untuk meninggalkan loyalitasnya kepada partai. Kalau tidak bersedia meninggalkan loyalitas kepada partai serara ekstrem atau radikal, at least, janganlah terlalu gegabah dan demonstrative menunjukan kepada public tentang „warna‟ golongan mereka, ditengah-tengah tuntutan public yang sangat mengharap mereka berdua sebagai pemimpin semua golongan. Pada bagian inilah kesadaran moral itu dituntut, karena jabatan Bupati maupun Wakil Bupati sebagai penyelenggara Negara terus melekat kemana dan dimanapun mereka berada, termasuk keberadaannya dalam baliho itu.

Selain itu, kedua beliau itu sepertinya begitu mudah melupakan kebaikan hati Gubernur Bali, Mangku Pastika yang menjadi calon lawan dari calon yang didukung kedua beliau itu, yang saat itu dalam kondisi pisik belum terlalu pulih pasca operasi, bersedia untuk mengulangi proses hukum melantik ulang kedua beliau itu menjadi Bupati dan Wakil Bupati yang syah menurut hukum. Sebelumnya, kedua beliau itu sempat menjadi Bupati dan Wakil Bupati “pura –pura” beberapa hari karena dilantiknya juga dengan pelantikan “pura-pura” yang cacat hukum, karena dilantik oleh Wakil Gubernur Puspayoga. Ketika itu, seorang pejabat pusat berkomentar; “ Pak Mangku terlalu baik hati. Mau-maunya melantik. Kalau saya, tak biarin aja dulu, biar kedua orang itu celingak-celinguk, karena pelantikan yang dilakukan oleh Wagub tidak syah menurut hukum, dan mereka tidak berhak melakukan apa-apa sebelum pelantikan syah menurut hukum” Wagub yang melantik saat itu, pada saat ini sudah menjadi Cagub dari PDIP. Jangan-jangan baliho dukungan terhadap Cagub dan Cawagub dari PDIP itu, sebagai bagian dari ucapan terima kasih atas pelantikan “pura-pura “ waktu dulu itu, tetapi justru menjadikan sakit hati pendukung nya Mangku Pastika yang begitu berbaik hati menyelamatkan mereka dari kondisi cacat hukumnya. Potensi Konflik Selain kesadaran moral, yang tidak kalah penting untuk disadarai oleh kedua pucuk penyelenggara Negara di Bueleng itu adalah, dampak tindakan demonstrativenya yang menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu golongan. Baliho dukungannya terhadap salah satu calon berpotensi melahirkan konflik social antar pendukung.
Ironis, Bupati yang seharusnya menjadi Ketua Tim Terpadu Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri menurut Inpres Nomor 2 Tahun 2013, hasil penjabaran Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS), justru menjadi penyebar awal bibit-bibit konflik social didaerahnya, karena baliho yang tidak cerdas itu. Pada kondisi seperti ini, Pak Kapolres, Pak Dandim, Pak Kajari dan pejabat di Kabupaten Buleleng yang akan tergabung dalam Tim Terpadu Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri pada lingkup kabupaten, perlu mawas diri dengan pemahaman Pak Bupati dan Wakil Bupati menyangkut konflik social dan keamanan dalam negeri yang masih meragukan itu. Jangan-jangan pencegahan konflik social yang harus dilakukan secara terus menerus di lingkup kabupaten, justru secara terus menerus juga dimunculkan oleh beliau berdua itu karena perintah partai. Denger-denger, katanya pelantikan „pura-pura‟ dulu itu juga karena perintah partai. Baliho itu juga katanya perintah partai. Jangan-jangan, menciptakan berbagai konflik social, juga karena perintah partai. Oh..moral, yang seharusnya membangun, ini justru „nguwugang’. Sampunang kayun Jro…

I Putu Paculgati

Warga Buleleng