tenun rang rang

Denpasar (Metrobali.com)-

Kelompok usaha tenun ikat “Waniangun Asri” begitu antusias ketika menerima rombongan dari Bank Indonesia serta puluhan wartawan dari Bali dan Nusa Tenggara saat menginjakkan kakinya di Desa Pejukutan, Nusa Penida, Bali, Sabtu (6/12), pekan lalu.

Waniangun Asri adalah salah satu kelompok usaha tenun ikat binaan Bank Indonesia di Nusa Penida. Nusa (pulau) seluas 202,84 kilometer yang terletak di tenggara Bali yang hanya dipisahkan oleh Selat Badung itu, dihuni sekitar 45.178 orang atau sekitar 26,5 persen dari penduduk Kabupaten Klungkung.

Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani ladang, petani rumput laut, nelayan, buruh serta pedagang dan pengrajin tenun ikat. Pulau tandus dengan tekstur tanah berkapur itu, memiliki keindahan bawah laut yang sangat eksotik dengan beraneka ragam terumbu karang dan beragam macam jenis ikan.

Para wartawan dan rombongan dari Bank Indonesia itu seakan tak lelah menikmati keindahan alam pantai dengan laut yang jernih dari atas kendaraan yang merayap perlahan di atas punggung-punggung bukit jalanan dari Pelabuhan Nusa Penida menuju kampung tenun binaan Bank Indonesia di Desa Pejukutan, sejauh sekitar 15 kilometer.

Kegiatan pemberdayaan sektor riil dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini, merupakan salah satu bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mendukung pembangunan ekonomi kerakyatan, selain ketahanan pangan untuk menjaga tingkat inflasi dari sisi suplai serta mempromosikan produk unggulan sebagai penggerak roda perekonomian.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III Bali-Nusa Tenggara Benny Siswanto mengakui bahwa UMKM memegang peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Bali yang kini sudah mencapai sekitar 239.357 unit.

Hingga triwulan II-2013, kredit yang disalurkan Bank Indonesia kepada UMKM mencapai 39,19 persen dari total kredit perbankan di wilayah Provinsi Bali dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 21,75 persen.

Salah satu pengembangan UMKM berbasis komoditas unggulan yang tengah dilakukan Bank Indonesia Wilayah III Bali-Nusa Tenggara saat ini adalah program pengembangan desa tenun di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, seperti tengah dikembangkan oleh kelompok “Waniangun Asri” di Desa Pejukutan, Nusa Penida untuk mendukung perekonomian rakyat setempat.

“Ini merupakan komitmen Bank Indonesia dalam upaya mendukung perekonomian rakyat serta upaya pemberdayaan rektor riil dan UMKM, seperti halnya dengan tugas lainnya dari Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan stabilisasi sistem keuangan,” kata Benny Siswanto.

Harga Tenun Ikat Kepala Desa Pejukutan Nyoman Yudiyadna mengatakan bahwa usaha tenun ikat di wilayah desanya merupakan warisan leluhur, namun dengan keterlibatan Bank Indonesia sebagai pembina, diharapkan usaha tenun ikat bertambah maju, apalagi dengan dukungan teknologi alat tenun yang lebih modern.

“Ada satu hal yang terus mengganjal perasaan saya, kenapa harga tenun ikat dari Pejukutan tetap saja stabil, sementara usaha tenun ikat di daerah lain di Provinsi Bali, sudah bergerak naik seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang ikut mempengaruhi kenaikan harga benang sebagai bahan dasar pembuatan tenun ikat,” ujarnya.

Tak ada satu pun unsur dari pihak Bank Indonesia yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Hanya satu jawaban yang bisa menggugah usaha merenda benang perekonomian dari Nusa Peninda itu adalah dengan meningkatkan kualitas hasil tenun, baik dengan menggunakan tekonologi modern bantuan Bank Indonesia maupun dengan peralatan tenun tradisional.

Harga tenun ikat “endek” khas Nusa Penida, misalnya, dijual dengan harga Rp250.000-Rp300.000/lembar, sedang tenun ikat yang bahannya dari benang sutra dijual dengan harga Rp500.000-Rp600.000/lembar. Harga ini masih tetap saja stabil, sehingga membuat Ketua kelompok usaha tenun ikat “Waniangun Asri” Wayan Sukarda selalu saja risau dalam permenungan.

Hasil kerajinan tenun ikat dari kampung tenun binaan Bank Indonesia itu umumnya dijual ke Denpasar dan Kota Semarapura, ibu kota Kabupaten Klungkung untuk memenuhi permintaan wisatawan dan pegawai pemerintah dan swasta yang sudah diwajibkan untuk mengenakan tenun ikat khas Bali saat berdinas pada hari-hari yang sudah ditentukan.

Kampung tenun binaan Bank Indonesia, tidak hanya di wilayah Bali, tetapi juga di wilayah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, terdapat empat kampung tenun binaan Bank Indonesia yang menyebar di wilayah Kota Kupang dengan mengacu pada dasar etnis, yakni kampung tenun Timor, Rote, Sabu dan Alor.

Sementara, di Nusa Tenggara Barat, Bank Indonesia menyasar di daerah penghasil tenun ikat Songket untuk suku Sasak, yakni di Dusun Bun Mudrak, Desa Sukarara, Lombok Tengah. Dusun ini, merupakan sentra kerajinan Songket terbesar di Lombok Tengah, NTB.

Target utama Bank Indonesia dalam membina kelompok pengrajin tenun ikat ini, tidak hanya berfokus pada upaya pemberdayaan semata, tetapi juga meningkatkan kualitas hasil tenun agar produk yang dihasilkan bisa memiliki nilai jual yang tinggi seperti yang diinginkan para pengrajin.

Walau bagaimana pun, para pengrajin tenun ikat dari Desa Pejukutan, Nusa Penida sudah mulai merenda benang perekonomiannya untuk menggapai tingkat kesejahteraan yang lebih sepadan, seperti yang dilakukan pula oleh para pengrajin di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Para pengrajin tenun ikat boleh merenda hari-harinya dengan penuh senyum seiring dengan berbagai bentuk pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap sektor ekonomi kreatif ini, karena sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dan diyakini dapat menekan angka inflasi.

“Jika sektor ekonomi kreatif itu mampu menekan angka inflasi maka tingkat kesejahteraan para pengrajin pun akan meningkat. Inilah peran yang harus dibangun oleh Bank Indonesia seperti mengambil peran dalam hal sosial kapital kebudayaan,” kata Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III Bali-Nusa Tenggara Ananda Pulungan.

Pembinaan yang dilakukan Bank Indonesia tidak hanya sebatas pada pemberian teknologi pemintalan dan penenunan modern, tetapi juga menyiapkan tenaga expert untuk pelatihan-pelatihan bagi perajin tenun, seperti cara mencelup benang akan memiliki kekuatan warna yang tajam, cara mendesain serta proses pengerjaan yang lebih rapi dengan teknologi modern.

Dalam pandangan Bank Indonesia, pengembangan sektor ekonomi kreatif seperti usaha tenun ikat tersebut, tidak hanya sekadar untuk mengejar nilai ekonomi dari hasil yang dicapai, tetapi lebih dari itu untuk memperkuat serta mempertahankan budaya lokal di tengah desarnya arus perubahan global.

Kain “endek” khas Nusa Penida, misalnya, tidak hanya dipakai oleh kalangan tertentu dan pada momentum tertentu seperti pada masa lampau, tetapi saat ini sudah memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta menjadi tumpuan perekonomian para pengrajin di Nusa Penida, dan Bali pada umumnya.

Para pengrajin di Nusa Penida, sudah merenda benang perekonomiannya dengan baik untuk menompang ekonomi keluarga. Nusa Penida yang setiap bulannya dipadati umat Hindu dari Pulau Bali untuk beribadah sekaligus wisata rohani di Pura Penataran Agung Ped di Sampalan, dapat membawa pulang kain tenun hasil kreasi kelompok “Waniangun Asri” sebagai tanda mata bahwa di Nusa Penida ada hasil tenunan Bali yang lebih menggoda. AN-MB