bakau

“Bakau ini adalah tanaman Gusti Allah,” ujar Djoko Suwondo, Kepala Pengelola Ekowisata Hutan Mangrove, Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur.

Jemari tangan kirinya merangkul erat keempat bibit bakau sembari menjelaskan kepada pengunjung cara menanam tanaman penangkal abrasi itu.

Semangatnya terlalu besar hingga mengelabui keriput di wajah pria yang sebetulnya mulai senja.

Sontak mulut pengunjung membulat dan memadukan suara “ooo” ketika umbi bakau ditarik, lantas menunjukkan potongan kerucut yang sempurna.

Bentuk dan ukuran kerucut itu sangat presisi dengan “tutup” umbi di atasnya, seperti telah diukir dengan hati-hati.

Kerucut itu lah yang nantinya akan menjadi tunas pohon bakau dan menyatu menjadi rimbunan hutan mangrove.

“Ini yang saya bilang tanaman Gusti Allah, Allah benar-benar menciptakan sempurna, benar-benar pas kalau orang mana bisa ‘ngukir’ sepas dan serapi ini,” tuturnya.

Tunas itu tidak ditancapkan, tetapi justru ia harus diposisikan di atas yang akan tumbuh menjadi batang dan daun.

Lawan dari tunas yang sama-sama lancip itu lah yang ditancapkan ke tanah berlumpur dan akan mengakar hingga kedalaman 200 meter.

Ajak Bertaubat Kepedulian Djoko terhadap bakau dimulai pada 2006 silam ketika ia tidak sengaja menyusuri sungai dan melihat pembalakan besar-besaran.

Bakau diincar para pembalak untuk dibuat arang karena lebih tahan lama dibandingkan kayu-kayu yang lain.

“Keunggulannya ini, api bisa menyala walaupun dalam keadaan basah,” ujarnya.

Khawatir akan dampak buruk abrasi yang semakin mengikis daratan, Djoko mulai terjun menanami bakau.

Pria lulusan Teknik Sipil Universitas Atma Jaya itu rela menanggalkan profesinya sebagai kontraktor di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mulai menanam pohon yang bernama latin “Rhizopora racemosa” itu.

“Kalau tidak ditanami bakau, abrasi ini sampai Ahmad Yani (pusat Kota Pahlawan), di situ saya terpanggil,” ucapnya.

Ia pun mulai mengajak pembalak-pembalak liar untuk “taubat”, berbalik arah menanami bakau.

Awalnya memang sulit, karena pembalak pembalak liar itu mendapatkan sedikitnya Rp50.000 per hari dari aksi ilegalnya itu.

Djoko pun mau tidak mau mengimingi penghasilan yang lebih besar dari menanam pohon bakau, tak ayal ia harus merogoh koceknya sendiri karena sebagian besar pembalak di sana termasuk dalam golongan keluarga miskin (gakin).

Selain persoalan materi, ia pun harus ikut menyelami kehidupan para pembalak yang tingkat pendidikannya masih rendah.

“Saya harus menanggalkan intelektual saya, cuci tangan harus ikut cuci tangan di tambak, Bismillah saja, buktinya sehat sampai sekarang,” tutur pria yang mirip dengan Pakar Kuliner Bondan Winarno itu.

Upaya yang Djoko lakukan itu pun bertujuan lebih meyakinkan para pembalak bahwa ia betul-betul ingin menyelamatkan lingkungan bersama, bukan menangkap mereka.

Ayah empat anak itu memang dikenal dekat dengan aparat kepolisian setempat, karena itu ia pun didapuk menjadi Ketua Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat.

Lambat laun, pesisir laut yang tergerus abrasi mulai menghijau hingga sepanjang 200 hektare.

Bantuan-bantuan pun mulai mengalir, seperti dari PT Pertamina yang menyumbang 30.000 pohon bakau sejak 2011 serta mendirikan dua gazebo dan satu alat pantau senilai Rp150 juta sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Lahan yang terkikis pun mulai berubah menjadi tempat yang menyenangkan untuk berwisata, mulai dari anak-anak sekolah untuk “study tour” hingga ibu-ibu dharma wanita yang menggelar arisan.

Pejabat-pejabat daerah pun mulai berdatangan mengunjungi Ekowisata Mangrove yang berlokasi di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Pantai Timur Surabaya itu.

“Tapi jujur, saya kurang begitu senang karena para pejabat itu hanya seremonial saja, nanti tidak akan ke sini lagi untuk memantau, niat saya bukan itu, bukan untuk dilihat,” tukasnya.

Gaung keberhasilan Djoko dalam menyelamatkan lingkungan pun sampai ke telinga Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.

Wakil Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Kristen F Bauer dan VJ Daniel pun sempat bertandang ke ekowisata tersebut.

“Pihak Amerika ingin menyumbang, tapi enggak bisa karena harus melalui pemerintah daerah (government to government),” ungkap Djoko.

Sejumlah penghargaan pun diraih, seperti Juara II Objek Wisata Terbaik Kategori Kreatif dan Inovatif pada 2012 dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan dari salah satu agen pariwisata.

Saat ini 36 karyawannya pun mendapat penghasilan yang lebih baik, sedikitnya Rp75.000 sampai Rp100.000 ditambah dengan uang makan Rp8.000 per hari.

“Dulu yang susah sekali diajak, sekarang malah tidak mau libur,” ujarnya, sambil tersenyum.

Lingkungan sekitar juga diberdayakan dengan membentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang membuat es mangrove, dan menyediakan makanan untuk setiap pengunjung yang ingin makan-makan di gazebo.

Pengunjung dikenakan biaya masuk Rp15.000 untuk anak-anak, dewasa Rp25.000 dan sudah termasuk menanam bakau, sementara bagi yang ingin menyewa perahu dikenakan Rp300.000 yang bisa memuat enam orang.

Namun, Djoko tidak mematok harga harus seperti yang tertera di papan informasi, terkadang ia pun menggatiskan siswa-siswi yang kurang mampu.

“Ada yang dari SD ke sininya pakai angkot, ongkos buat angkot saja kurang, ‘yowis’ (ya sudah) enggak usah ‘mikirin’ tiket, uangnya buat bayar angkot saja,” ujarnya.

Sayangnya, program penyelamatan lingkungan itu tidak selamanya berjalan mulus, beberapa tahun lalu salah satu gazebo terbakar yang diduga disengaja oleh oknum-oknum yang Djoko sendiri kenal.

“Saya tidak melaporkannya, tapi justru saya bantu, saya kasih modal agar ia tersadarkan bahwa ini bukan untuk kepentingan saya, haram buat saya makan hasil ekowisata ini,” tegasnya.

Sehari-hari, Djoko dan keluarganya hidup dari penghasilan usaha “minimarket” atau toko swalayan.

“Saya tidak merasa bekerja di hutan mangrove ini, seusia saya apalagi yang dikejar, saya hanya mengharapkan ridho Gusti Allah, dan saya yakin bagi siapapun yang menanam bakau, imbalannya itu surga,” ujarnya.

Dia berharap Pemerintah Pusat maupun daerah lebih peduli terhadap hutan mangrove yang merupakan embrio dari penyelamatan lingkungan laut dan darat itu.

100 Juta Pohon Penanaman bakau di Ekowisata Hutan Mangrove Wonorejo merupakan salah satu program CSR unggulan PT Pertamina (Persero) dari Program Menabung 100 Juta Pohon untuk mengurangi dampak buruk dari pemanasan global.

Cusrtomer Relation Officer MOR-V Pertamina Alih Istik Wahyuni mengatakan program tersebut dimulai sejak 2011 dan sudah menyumbangkan 30.000 pohon bakau atau penambahan bibit sebanyak 30 persen.

“Satu pohon itu dihargai Rp5.000,” katanya.

Dari 200 hektare, lanjut dia, luas wilayah hutan Mangrove yang ditanami Pertamina seluas 500 meter.

“Mangrove ini memang sulit untuk tumbuh, dari 100 bakau yang ditanam, yang tumbuh 30 pun sudah bagus,” ungkapnya.

Pengunjung tercatat meningkat, yakni jumlahnya sebanyak 21.000 pada 2012 atau dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Dengan adanya penambahan tanaman bakau, spesies burung hingga saat ini bertambah menjadi 148 jenis dibandingkan pada 2010 yang hanya 137 jenis.

Pihaknya menargetkan menanam 50.000 pohon bakau pada 2016 dan diharapkan bisa menyumbang 10.000 pohon setiap tahunnya.

Selain penanamn mangrove, dalam program peduli lingkungan, Pertamina juga menyumbangkan sejumlah tanaman serta komposter (alat pembuat pupuk kompos) kepada RW 09 Kelurahan Perak Utara, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya yang terletak di depan Terminal BBM Surabaya.

Melalui program tersebut, Alih mengatakan pihaknya ingin mengajak masyarakat untuk peduli terhadap pengolahan sampah yang menjadi isu nasional.

Saat ini terkumpul 528 kader, masing-masing RW beranggotakan 25 orang yang aktif dalam kegiatan daur ulang dan mengumpulkan sampah ke bank sampah.

Alih mengatakan dipilihnya wilayah tersebut karena awalnya kumuh, kurang penghijauan dan tidak adanya alat pengelola sampah.

Salah satu kader Cressa mengatakan meski baru dimulai Juni 2014, masyarakat sudah antusias menyumbangkan botol bekas untuk dikumpulkan ke pengepul atau pun diubah menjadi hiasan cantik.

“Dulunya tidak mau peduli lingkungan, tapi dipancing dengan bantuan ini, akhirnya Alhamdulillah masyarakat menyambut,” katanya.

Diharapkan kepedulian lingkungan terus berkelanjutan dan tidak muncul hanya karena ada bantuan, tetapi terketuk dari dalam hati, seperti pesan dari Djoko Suwondo “Hanya keikhlasan yang bisa menyelamatkan lingkungan.”  AN-MB