Iwan Nurdin

Jakarta (Metrobali.com)-

Masih banyaknya kasus pertikaian dan perebutan lahan di berbagai daerah di Tanah Air, juga mengindikasikan bahwa rasa keadilan agraria belum benar-benar tegak.

Lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat jumlah konflik kasus agraria setiap tahun meningkat, bahkan pada tahun 2014 tercatat 472 kasus atau meningkat 27,91 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

“Jumlah konflik kasus agraria tahun ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya tercatat sebanyak 369 kasus,” ungkap Sekjen KPA Iwan Nurdin dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (23/12).

Bahkan, menurut data KPA, angka tersebut meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 198 konflik (2012), 163 konflik (2011), 106 konflik (2010), dan 89 konflik (2009).

KPA juga menyorot bahwa konflik agraria tertinggi pada tahun 2014 paling banyak terjadi terkait dengan proyek-proyek infrastruktur. “Konflik karena infrastruktur ini kami duga karena tahun 2012 telah disahkan UU Pengadaan Tanah,” ucapnya.

KPA mencatat sedikitnya terjadi 215 konflik (45,55 persen) terkait infrastruktur, selanjutnya antara lain 185 konflik (39,19 persen) terkait perkebunan, 27 konflik (5,72 persen) terkait sektor kehutanan, dan 14 konflik (2,97 persen) terkait pertambangan.

Ia juga mengemukakan bahwa jumlah konflik agraria masih tinggi dari tahun ke tahun. Sepanjang 2014, menurut data KPA, korban tewas terkait konflik agraria mencapai 19 orang, tertembak 17 orang, luka-luka akibat dianiaya 110 orang dan ditahan 256 orang.

“Tingginya angka korban jiwa, kekerasan dan kriminalisasi atas rakyat dalam menunjukkan bahwa keterlibatan oknum Polri/TNI dalam penanganan konflik agraria selama ini, terbukti pemerintah gagal memberikan rasa aman dan menjamin hak hidup rakyat dalam mempertahankan tanahnya,” ucapnya.

Selain itu, pendekatan represif oleh aparat keamanan atau pihak pengamanan perusahaan dan preman lapangan juga berakibat memperparah situasi konflik yang terjadi di lapangan, ujarnya.

Iwan menuturkan bahwa selama melakukan pendampingan dan advokasi konflik agraria, KPA juga mendata ada 263 korban kriminalisasi aparat akibat konflik agraria.

KPA mencatat korban kriminalisasi konflik agraria dari Jawa Barat sebanyak 131 orang, Kalimantan Tengah 44 orang, Sumatera Utara 17 orang, Sulawesi Tengah 15 orang, Sumatera Selatan 14 orang, Jawa Tengah 13 orang, NTT 11 orang, Jawa Timur delapan orang, Bengkulu empat orang, Banten tiga orang, Kalimantan Barat dua orang, dan Kalimantan Timur satu orang.

Pasal-pasal yang kerap digunakan aparat untuk melakukan kriminalisasi rakyat, antara lain Pasal 160 KUHP, Pasal 170 KUHP, Pasal 310 KUHP, dan Pasal 406 KUHP, tentang Penghasutan dan Pengerusakan, paparnya.

Tidak akan tobat Salah seorang aktivis yang pernah dipenjara terkait dengan konflik agraria antara lain adalah aktivis dan pejuang agraria asal Sulawesi Tengah, Eva Susanti Bande yang baru saja mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo.

Eva Bande mengatakan, dirinya tidak akan tobat dalam memperjuangkan hak-hak para petani untuk mendapatkan kembali lahannya dari tangan korporasi besar.

“Saya tidak akan tobat. Grasi adalah awal,” ujar Eva Bande dan menambahkan, masih ada kawan-kawan lainnya yang masih dikriminalisasi terkait konflik agraria.

Eva juga menyatakan kepada Presiden bahwa grasi itu adalah langkah awal untuk melihat konflik-konflik agraria secara utuh, karena masih banyak perusahaan perampas lahan yang merajalela.

Grasi yang diberikan Presiden, ujar dia, juga menjadi “lampu terang” ke depan bagi langkah pembaruan agraria yang lebih baik ke depannya.

Ia mengingatkan bahwa masih ada banyak konflik agraria yang terjadi hampir setiap hari. “Jalan menyelesaikannya adalah membangun organisasi rakyat, cerdaskan rakyatnya,” tegasnya.

Selain itu, Eva juga mengusulkan pembentukan satuan tugas khusus yang bertujuan untuk menangani beragam konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air.

Menurut dia, langkah pembentukan satgas tersebut bermanfaat karena selama ini proses hukum yang berjalan sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan kepada petani kecil.

Ia mencontohkan, bila ada situasi konflik agraria seharusnya dihentikan dulu klaim dari perusahaan yang mencaplok lahan. “Tapi tidak terjadi walau ada berlembar-lembar surat dari Komnas HAM untuk menghentikan klaim tersebut,” ucapnya.

Menurut dia, konflik agraria sudah masuk dalam tahap akut sehingga pemerintah harus menyelesaikan ini dengan melibatkan pihak-pihak yang kredibel agar petani tidak lagi semakin banyak kehilangan lahan.

Sekjen KPA, Iwan Nurdin mengatakan, terkait penyelesaian konflik agraria, sesungguhnya dari sisi kelembagaan telah banyak lembaga negara yang dibentuk mulai dari BPN, Kementerian Kehutanan, Komnas HAM, Ombudsman, hingga DPR.

“Lembaga-lembaga tersebut terbukti tidak efektif dan tidak mampu menyelesaikan konflik agraria secara tuntas,” tuturnya.

Menurut dia, rekomendasi-rekomendasi penyelesaian yang dihasilkan tidak tuntas karena tidak bersifat mengikat para pihak untuk sungguh-sungguh menuntaskan konflik agraria.

KPA juga mendesak segera dibentuk pengadilan khusus agraria untuk menangani beragam kasus perselisihan pertanahan. “Perlu segera dibentuk peradilan khusus bagi konflik agraria, yaitu Pengadilan Khusus Agraria atau Pengadilan Agraria,” kata Sekjen KPA.

Iwan memaparkan bahwa Pengadilan Agraria dapat menjadi bagian atau satu kamar dari peradilan Umum di Mahkamah Agung (MA) yang bertugas khusus menangani dan menyelesaikan konflik agraria.

Keputusan Pengadilan Agraria itu, ujar dia, harus bersifat mengikat semua pihak dan memiliki kekuatan hukum yang tetap untuk dipatuhi dan dijalankan.

“Penyumbang” konflik KPA juga menyatakan bahwa Riau merupakan provinsi yang terbanyak menjadi tempat terjadinya konflik agraria yang rata-rata berbentuk perampasan lahan dari petani oleh korporasi.

“Dalam catatan KPA 2014, sepuluh besar provinsi ‘penyumbang’ konflik agraria pertama Riau sebanyak 52 konflik agraria,” kata Sekjen KPA Iwan Nurdin.

Setelah Riau, diikuti Jawa Timur (44 konfilk), Jawa barat (39 konflik), Sumatera Utara (33 konflik), Sumatera Selatan (33 konflik), Jawa Tengah (26 konflik), DKI Jakarta (25 konflik), Banten (20 konflik), Sulawesi Selatan (19 konflik), dan Jambi (17 konflik).

Menurut Iwan Nurdian, realitas Riau menempati posisi pertama dalam sebaran konflik agraria sepanjang 2014, menunjukkan maraknya ekspansi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit yang melakukan praktik-praktik perampasan tanah yang selama ini dikuasai dan dikelola rakyat.

Ia berpendapat hal tersebut adalah akibat dari banyaknya konsesi yang diberikan pejabat publik kepada korporasi yang berada dalam wilayah kelola masyarakat.

Selanjutnya, ujar dia, adalah seluruh provinsi di pulau Jawa yang menempati posisi tertinggi konflik agraria, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta dan Banten.

“Masalah agraria di Jawa memperlihatkan bahwa monopoli hutan Jawa oleh Perhutani, operasi PTPN dan proyek-proyek perluasan pembangunan infrastruktur telah mengakibatkan ledakan konflik agraria di Pulau Jawa,” tukasnya.

Sekjen KPA mengingatkan bahwa di sektor infrastruktur telah terjadi peningkatan konflik agraria dari 105 konflik pada 2013 menjadi 215 konflik pada 2014, atau berarti mengalami peningkatan yang signifikan hingga sebesar 104 persen.

Ia juga menungkapkan para pihak yang terlibat dalam konflik agraria, yang terbesar adalah konflik antara warga melawan perusahaan swasta sebanyak 221 konflik.

Kemudian diikuti oleh jenis konflik agraria antara warga melawan pemerintah (baik pusat maupun daerah) 115 konflik, dan warga berhadapan dengan warga 75 konflik.

Selain itu, lanjutnya, jenis konflik agraria antara warga melawan perusahaan negara 46 konflik, dan warga melawat aset milik TNI/Polri sebesar 18 konflik.

“Pasangan Jokowi-JK telah berkomitmen untuk menyelesaikan konflik agraria. Maka dari itu, realitas kronisnya ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria harus segera dijawab pemerintahan Jokowi-JK di awal pemerintahannya,” pungkasnya.AN-MB

activate javascript