Linda Amalia Sari kaget

Jakarta (Metrobali.com)-

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menilai merokok merupakan “pintu masuk” dari penggunaan alkohol dan narkoba.

“Rokok itu juga ‘pintu masuk’ dari penggunaan alkohol dan narkoba,” kata Linda dalam sambutannya pada diskusi yang bertajuk “Urgensi Aksesi FCTC untuk Perlindungan Anak” di Jakarta, Senin (15/9).

Pada umumnya, lanjut dia, penggunaan alkohol dan narkoba diawali dengan merokok.

“Meskipun, tidak semua orang seperti itu, tetapi kita lihat kecederungannya, rokok itu ‘mengizinkan’ penggunaan itu terjadi,” katanya.

Ditambah, saat ini rokok sangat dijual bebas dengan harga yang sangat murah bahkan bisa eceran, sehingga bisa dibeli oleh anak-anak.

“Sekarang kalau kita lihat di jalan-jalan, anak-anak merokok, hari ‘gini’ masih banyak yang merokok, padahal pendidikan sudah meningkat, informasi tentang bahaya merokok di mana-mana,” katanya.

Linda juga menyayangkan masih banyaknya iklan, baliho dan rokok di mana-mana, dan imbauan bahaya merokok tidak membuat perokok jera.

“Stereotip perokok di iklan-iklan itu seolah-olah mereka ‘macho’, keren dan modern, itu ‘kan pemikiran yang salah, karenanya harus diberikan pemahaman kalau rokok itu berzat kimia yang mematikan,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Heri Chariansyah menilai rokok di Indonesia dipersepsikan dengan hal yang sangat biasa, bahkan untuk anak-anak.

“Di mana lagi negara yang ada ‘baby-smoker’-nya, di Indonesia ini sudah jumlah perokoknya tertinggi di dunia,” katanya.

Selain itu, dia mengatakan rokok diiklankan dengan sangat baik padahal kenyataannya jauh sekali dengan itu karena bisa merusak kesehatan, bahkan menimbulkan kematian.

“Di Indonesia harga rokok murah sekali Rp10.000 per bungkus dan bisa diecer, sementara di Singapura bisa sampai Rp100.000 per bungkus, gimana enggak banyak anak-anak muda merokok karena harganya terjangkau, ditambah bisa diecer,” katanya.

Heri mengimbau perlu adanya regulasi yang tegas dari pemerintah terkait rokok, sehingga penggunaannya bisa dikendalikan untuk memperbaiki generasi penerus bangsa ini.

“Menghadapi bonus demografi ini, Indonesia dalam hal rokok itu masih jauh tertinggal dengan Malaysia, Singapura dan Tiongkok. Kalau tidak segera ditangani, maka bukan terjadi bonus, tetapi musibah demografi,” katanya. AN-MB