Yasonna Laoly

Jakarta (Metrobali.com)-

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly berjanji mengatasi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan.

“Ternyata masalah yang paling berat soal ‘overcrowding’ di Indonesia adalah kejahatan narkoba terutama pemakai. Di mana-mana, baik rutan, lapas punya masalah ‘overcrowding’ yang sangat tidak manusiawi, termasuk di Rutan Cipinang salah satunya. Kita sedang merumuskan kebijakan-kebijakan terkait ‘overcrowding’,” kata Yasonna seusai melakukan inspeksi di Rutan Cipinang Jakarta Timur pada Rabu (29/10) malam.

Yasonna menjelaskan pemerintah tidak ingin melanggar hak warga binaan.

“Mereka memang napi (narapidana) tapi mereka punya hak-hak fundamental. Saya punya filosofi sedikit berbeda karena ‘background’ saya adalah kriminolog,” katanya.

Ia mengaku akan merumuskan kebijakan dan menindaklanjuti konsep rehabilitasi untuk pengguna narkoba.

“Selanjutnya bagaimana melakukan redistribusi 200 orang di sini. Daerah yang kosong kita kirim ke sana. Memang ada persoalan kadang keluarga keberatan, tapi ini kan kebijakan negara, dari pada mereka berpanas-panasan di sini. Kita buat ‘random’, jadi tidak ada preferensi misalnya karena tidak membayar terus dipindah,” kata Yasonna.

Namun, katanya, untuk melakukan hal itu, membutuhkan tambahan dana.

“Rehabilitasi selanjutnya dengan pembebasan bersyarat dengan sistem peraturan-peraturan yang menunjuk pada ‘victim less crime’. Kalau pemakai narkoba yang coba-coba harus kita kasihani. Kalaupun kita belum mempunyai kemampuan besar soal itu, sistem pembebasan bersyarat harus kita ubah dan kita percepat,” kata Yasonna.

Ia juga menjelaskan telah rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Tedjo Edhi Purdijatno, membahas tentang kemungkinan pemakai narkoba direhabilitasi.

“Boleh dia (pemakai narkoba, red.) menjalani proses (hukuman, red.) tiga tahun atau berapa biar kapok, kemudian baru direhab sebelum keluar. Atau kita memakai sistem kontrol elektronik karena di sini kan kita biayai dan kita kasih makan, karena narkoba dalam kriminologi itu ‘victim less crime’, ia tidak mematikan orang tapi mematikan dirinya sendiri bagi pengguna, tapi kalau pengedar wajib (dihukum, red.),” katanya.

Opsi untuk menambah rutan, katanya, sulit karena anggaran yang terbatas.

“Satu rutan (biayanya, red.) ratusan miliar karena ada standar yang harus dipenuhi. Jadi di Amerika sendiri persoalan ‘over’ kapasitas karena masalah narkoba juga banyak. Mereka harus menerobos soal pembebasan bersyarat tetapi dengan aturan-aturan yang berlaku misalnya, kenapa kita dengan aturan-aturan khusus ini menekan pengguna narkoba,” kata Yasonna.

Cara lain, katanya, dengan memakaikan kontrol elektronik kepada pengguna narkoba sehingga mereka dibiarkan bebas, tapi bila kembali melakukan kesalahan maka dimasukkan ke penjara dan diperberat hukumannya.

“Saya tadi juga berpikir bagaiamana bekerja sama dengan universitas swasta untuk membuka kelas di sini. Saya juga akan mengoordinasikan dengan Menteri Pendidikan supaya mereka tidak bosan. Di sini mereka kuliah, keluar-keluar sudah sarjana. Ini inspirasi saya dari kunjungan ini di samping mengecek betul persoalan ‘overcrowding'” katanya.

Ia mengatakan solusi lain adalah penambahan tunjangan risiko bagi petugas rutan.

“Dulu waktu saya di Komisi 3 DPR, di Sumatera Utara, yang meninggal saat menjinakkan bom hanya mendapat Taspen. Orang-orang yang ekspose ke soal-soal seperti ini kita perhatikan,” kata Yasonna. AN-MB