Jakarta, (Metrobali.com) –

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan donor plasma konvalensen dan penggunaannya untuk penanganan pasien COVID-19 bisa menjadi “game changer” atau pengubah keadaan dalam upaya penanganan pandemi di Indonesia.

“Donasi plasma konvalesen secara nasional terus meningkat. Saya harap ini bisa menjadi faktor pengubah dan kita bisa menggerakkan semangat donor plasma konvalesen ini agar dapat menjadi faktor pembeda dari proses upaya kita untuk menangani COVID-19, selain vaksin dan 3T,” ujar Menko PMK dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (11/2/2021).

Muhadjir Effendy mengatakan bahwa sejak dicanangkan, donor plasma konvalesen mengalami peningkatan empat kali lipat. Sementara berdasarkan laporan Ketua Bidang Unit Donor Darah PMI Pusat, Linda Lukitari, data PMI Pusat per-9 Februari 2021 mencatat jumlah pemenuhan kebutuhan plasma konvalesen sebanyak 15.738 kantong.

Menko PMK mengajak para penyintas COVID-19 agar mau menjadi pendonor. Sebagai informasi, rata-rata rumah sakit (RS) yang menyelenggarakan donor plasma konvalesen mengaku masih terkendala sulitnya mencari pendonor, sementara jumlah pasien yang membutuhkan donor semakin banyak.

Tenaga kesehatan dr. Shinta Vera Renata Hutajulu, Sp.An-KIC dari RS Mayapada mengungkap yang seringkali menjadi penyebab sulitnya mencari pendonor, yakni calon pendonor tidak memenuhi kriteria. “Yang masih jadi pertanyaan juga saat ini, yaitu apakah penyintas COVID-19 yang pernah mendapatkan terapi plasma konvalesen bisa menjadi pendonor,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Putu Moda mengungkapkan bahwa pada uji klinik yang dilakukan pada 50 orang pasien di RS. dr. Saeful Anwar Malang, orang yang diberikan terapi plasma konvalesen dibandingkan dengan yang diberikan placebo (tidak diberikan) menunjukkan bahwa untuk pasien dengan gejala ringan yang mendapat TPK sembuh 100 persen.

“Yang tidak diberikan jatuh pada level severe dan critical. Namun demikian, pemberian TPK terhadap pasien dengan severe dan critical ill masih memberikan efek yang bagus, karena TPK selain membunuh virus juga sebagai immunomodulatory,” kata dia.

Akan tetapi, sebut Putu, biaya untuk skrining calon pendonor plasma konvalesen mahal, sehingga untuk menghemat biaya tidak semua penyintas COVID-19 menjadi donor. Penyintas yang memenuhi untuk menjadi donor tidak lebih dari dari 30 persen. Syarat agar donor harus tidak ada gejala demam, sesak, pneumonia, sedangkan untuk orang tanpa gejala (OTG) hasil skrining semua negatif.

Berdasarkan hasil studi kasus pada uji klinik terapi plasma konvalesen, hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi plasma konvalesen adalah waktu pemberian, dosis awal, dan kadar titer antibodi dalam plasma konvalesen. Adapun waktu yang paling tepat untuk terapi plasma konvalesen adalah 14 hari pertama sejak gejala timbul atau 72 jam pertama sejak sesak timbul terutama untuk pasien yang masih ada komorbid.

Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir menyampaikan bahwa Kemenkes telah memberikan bantuan empat paket alat kesehatan untuk percepatan pelayanan plasma konvalesen, yaitu mesin apheresis, refrigerator, centrifuge dan plasma aggresis sudah didistribusikan ke enam UTD PMI, yaitu PMI Pusat, UDD PMI Jakarta, UDD PMI Medan, UDD PMI Bandung, UDD PMI Sulawesi Selatan, dan UDD PMI Jayapura, serta 49 Rumah Sakit.

“PMI Pusat perlu berkoordinasi dengan UDD PMI yang sudah menerima bantuan alat dari Kemenkes untuk optimalisasi pemanfaatan alat tersebut. Selain itu, identifikasi kembali berapa alat yang masih diperlukan dan rencana distribusi,” kata Menko PMK. (Antara)