“Menjinakkan” Para Naga
Oleh: Ngurah Karyadi
Periode pertama program pedaftaran kekayaan dan pengampunan pajak (repatriasi asset dan tax amnesty) sudah berakhir. Soal capaian ini, Presiden Joko Widodo nampak penuh senyum pada Jumat malam (30/09/2016). Sebuah kebijakan yang dianggap seperti Ritual “Sarpahoma”, atau Yadnya Sharpa, guna “Menjinakkan” Para Naga.
Sudah tentu penuh kompromi, karena tidak harus menyebut asal-usul kekayaan yang didaftarkan. Sekaligus mengundang sejumlah kritik, dan berpotensi dijadikan alat penguasaan baru atas bumi, air dan kekayaan alam negeri ini, dengan mengabaikan dan menindas para punakawan, atau rakyat kebanyakan..
Tidak tahu kenapa tanggal 30 September di jadikan patokan? Kita tahu, peristiwa 30 September 1965 merupakan titik balik sejarah, dari negara merdeka (Pro-klamasi 1945), menjadi negara yang dikendalikan “pengusaha China” (maaf, tidak bermaksud rasis), yang kini menggelar berbagai proyek MP3EI (Pro-re-klamasi), dan berpotensi menjadi ‘Master Plan Percepatan Pemiskinan Ekonomi Indonesia’. Namun, bisa menjadi mementum dalam upaya pemulihan hak-hak rakyat, yang tertindas, miskin dan ditidak-adilkan.
Sebelum tutup periode pertama tax amnesty, Presiden mengumumkan harta yang didaftarkan dan dilaporkan kepada negara dalam rangka tax amnesty sudah menembus Rp 3.500 triliun. Presiden bahkan memastikan angka itu akan terus menanjak hingga penutupan pemberlakuan program tax amnesty pada 31 Maret 2017 mendatang.
“Terima kasih kepada seluruh wajib pajak, dunia usaha, masyarakat, yang telah berpatisipasi dalam program tax amnesty,” ujar Presiden di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat malam. Sudah tentu disertai sindirian, ‘yang tidak ikut tanggung sendiri akibat nantinya’.
“Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh petugas pajak, aparat pajak yang dalam tiga bulan terakhir bekerja betul-betul dan sebulan terakhir ini kerja sampai tengah malam,” ucap Jokowi. Seakan lupa dengan para Gayus, Gayas dan sejenisnya, yang bekerja ala gorong-gorong, goreng-goreng dan garong-garong pendapatan negeri.
Sepekan sebelum senyum Presiden merekah di kantor pajak, pemerintah mengundang orang-orang superkaya Indonesia untuk “makan malam” di Istana Negara. Turut hadir, Aquan, yang disebut-sebut sebagai kepala dari Sembilan Naga -sebuah sebutan untuk kartel bisnis negeri ini. Mudah-mudahan tidak menjadi ‘makan malam terakhir’, seperti kukisan Leonardo Da Vinci “The Last Supper”, yang terkenal.
Undangan makan malam itu tentu bukan tanpa maksud. Presiden meminta para konglomerat itu untuk ikut program repatriasi asset dan tax amnesty. Sebuah kompromi, sehingga banyak menuai pro dan kontra.
Namun, permintaan itu tidak langsung diiyakan oleh para pengusaha. Pemilik Sriwijaya Air, Chandra Lie mengungkapkan, para pengusaha meminta pemerintah untuk memperpanjang tarif tebusan 2 persen tax amnesty hingga akhir 2016.
Sayangnya, permintaan pengusaha juga tidak bisa dikabulkan pemerintah. Sebab, ketentuan tarif 2 persen sudah tertera sangat detail dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak dan hanya berlaku sampai 30 September 2016.
Dari salah satu foto yang dirilis oleh Kantor Sekretariat Kepresidenan, tampak Menteri Keuangan Sri Mulyani dikelilingi oleh para pengusaha besar di Indonesia di sela-sela makan malam itu. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu seakan menjelma menjadi Srikandi, dalam melancarkan “segala kesaktian” untuk membujuk para konglomerat untuk ikut program tax amnesty dan repatriasi.
Akhirnya, pemerintah dan pengusaha mencapai titik temu. Tarif tebusan 2 persen tidak diperpanjang, tetapi pemerintah memberikan izin para pengusaha melengkapi berkas administrasi hingga akhir tahun sepanjang membayar tarif tebusan sebelum periode pertama berakhir.
Paska makan malam itu, para konglomerat langsung turun gunung, dan berbaris di depan kantor pajak di segenap belahan negeri. Sejumlah konglomerat datang ke kantor pajak melaporkan hartanya dalam rangka tax amnesty secara terbuka kepada publik. Sebuah pemandangan baru, dimana dulunya menyerahkan pada konsultan dan petugas pajak untuk ‘mengatur’ semua itu.
Para konglomerat itu ialah bos Sriwijaya Air Chandra Lie, bos Bakrie, Aburizal Bakrie, bos Indofood Anthoni Salim dan Franky Welirang, bos Sinarmas Franky Widjaja, dan bos Alfamart Djoko Susanto. Saat memberikan pernyataan kepada wartawan, hampir semua konglomerat itu mengungkapkan bahwa keputusannya ikut tax amnesty sebagai tindak lanjut dari acara makan malam di Istana Negara.
Sebelumnya, para konglomerat lainnya sudah mengikuti program tax amnesty sebelum pertemuan di Istana Negara, di antaranya bos Gemala Grup Sofyan Wanandi, bos Lippo Grup James Riyadi, bos Mahaka Grup Erick Thohir, dan bos Adaro Energy Garibaldi Thohir. Tidak ketinggalan, keluarga Cendana yang di wakili Hutomo Mandala Putra, atau yang biasa disebut Tommy Soeharto.
Namun, tidak nampak nama Tommy Winata (TW) dalam barisan. Ada apa dengan Tommy? Termasuk para menteri, polisi, gubernur, bupati dan sejenisnya, yang diduga berekening gendut. Mungkin sedang bertranformasi menjadi Sang Astika, yang menjegal dan menggagalkan langkah Presiden? Entahlah. Seperti kisah Raja Jnanamejaya -pengganti Parikesit, yang mati karena gigitan Naga Tatsaka- saat menggelar Yadnya Sharpa (Sarpahoma) dalam “menjinakkan para naga”, yang dijegal Naga Tatsaka, melalui Sang Astika.
Upacara Sarpahoma ini konon pernah dilakukan di Bali, namun tidak ada catatan pasti. Yadnya Sharpa ditujukan untuk membumi hanguskan seluruh naga yang membelenggu negeri. Akan tetapi dalam cerita, semua itu dihalangi oleh kekuatan tapanya Sang Astika, yang dapat membebaskan Naga Taksaka dari Yadnya Sarpa itu. Karma dari tapa itulah yang dapat membebaskan leluhurnya yang berada di Ayatana menuju Moksa, menyatu dengan Tuhan.
Kisahnya kurang lebih sebagai berikut:
“Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Setelah menginjak dewasa, Raja Janamejaya menikah dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Selama masa pemerintahannya, Raja Janamejaya memerintah Hastinapura dengan adil dan bijaksana, sebagaimana ayahnya, sehingga kerajaan Hastina menjadi kuat, aman dan tenteram.
Pada suatu saat, setelah Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka yang juga berasal dari desa setempat, datang menghadap Raja Janamejaya. Sang Uttangka menyatakan, bahwa ia sangat membenci Naga Taksaka. Sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena digigit Naga Taksaka.
Raja Janamejaya kemudian meneliti kebenaran cerita tersebut dan ternyata para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja kemudian dianjurkan mengadakan upacara Sharpahoma (Yadnya Sharpa, Bali?), sebagai pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka. Raja Janamejaya setuju untuk mengadakan upacara pengorbanan ular yang dikenal dengan sebutan Sarpahoma, guna membasmi seluruh ular dari muka bumi.
Mendengar niat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Naga Taksaka kemudian mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja.
Astika yang menerima tugas tersebut, lalu pergi ke tempat upacara pengorbanan ular dilaksanakan, di tepi sungai Arind, di daerah Bardan. Untuk menandai tempat upacara tersebut, raja Janamejaya, membangun sebuah kolam batu yang disebut Parikshit Kund. Para brahmana sebenarnya tahu bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang brahmana, namun mereka tidak menyampaikan kepada Sang Raja.
Raja Janamejaya kemudian memerintahkan untuk menyiapkan segala kebutuhan upacara dengan mengundang para brahmana dan ahli mantra untuk membantu persiapan upacara Sarpahoma. Setelah sarana dan prasarana lengkap, Sang Raja memerintahkan untuk segera memulai upacara pengorbanan ular. Api di tungku pengorbanan, berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan oleh para brahmana, beribu-ribu ular (naga) yang melayang di langit, bagaikan terhisap dan lenyap ditelan api pengorbanan.
Pada saat upacara sedang berlangsung, muncullah seorang brahmana yang bernama Sang Astika. Ia kemudian segera menemui Raja Janamejaya dan setelah menghaturkan sembah sujud kepada Sang Raja, Astika dengan hati tulus mohon kepada Sang Raja untuk menghentikan upacara pengorbanan ular tersebut. Ia mengatakan bahwa upacara tersebut tidak pantas untuk dilakukan.
Karena merasa terharu akan ketulusan Astika dan digerakkan dengan rasa belas-kasihannya, Maharaja Janamejaya, akhirnya menghentikan upacara tersebut. Setelah upacara tersebut dihentikan, Sang Astika segera mohon diri untuk kembali ke Nagaloka dan Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Begawan Byasa, kakek buyutnya untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra. Karena Begawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Begawan Wesampayana diminta untuk mewakilinya. Beliau adalah murid Begawan Byasa..”
Demikian kisah”Menjinakkan Para Naga” penulis tutup. Dengan harapan, dapat menjadi ‘cermin retak’ dalam mencermati langkah Presiden dan jajaran dalam program pendaftaran kekayaan dan denda pajak (repatriasi dan tax amnesty) yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Sekaligus mewaspadai dan melawan geliat para naga (sembilan) naga dalam berbagai proyek Pro-re-klamasi, dan sejenisnya. Kisah kegagalan sudah berulang, bahkan sejak Presiden Soekarno, saat berupaya melakukan repatriasi atas asset Raja-raja Pro Belanda.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.