Oleh : I Made Pria Dharsana

Musim hujan menjelang, banjir terus menerus darang datang takterbilang. tak bisa dihadang dengan berbekal APBD yang besar.. ini salah siapa? ada yang bilang karena air tak segera masuk ketanah bukan dialirkan kelaut.

Banyak peristiwa alam belakangan ini yang sudah berlangsung saban tahun namun selalu banyak pemimpin gagap untuk mengatasi nya sehingga menjadi komuditas politik apalagi digadang-gadang maju jauh nanti di 2024.. padahal seorang pemimpin mestilah dipilih karena rekam jejaknya, kapabelitasnya, integritasnya dan kepeduliannya pada seluaruh warga nya tanpa pandang bulu, tanpa membedakan golongan keyakinannya. Sehingga patut untuk dipilih, bukan karena pertimbangan lain jika kita mau maju.

Perhelatan Demokrasi kembali menguat dengan Pilkada serentak di tahun politik 2020. ada beberapa hal yang perlu di perhatikan ;
Pertama, adalah masalah politik uang. Belajar dari tahun politik Jilid Satu 2019 lalu, . Yang perlu di antisipasi adalah Politik uang dinilai banyak kalangan masih akan menjadi isu utama dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 mendatang. Hal ini bisa diakibatkan masih rendahnya pendidikan politik bagi pemilih menjadi penyebab politik uang masih berkuasa pada Pilkada Serentak September 2020. Kedua, adalah masalah berita bohong atau hoaks serta ujaran kebencian yang berlebih. Masalah hoaks dan ujaran kebencian pada masa Pemilu 2019 sepertinya akan kembali muncul pada pemilihan kepala daerah serentak September 2020. Oleh karena itu, kabar bohong dan ujaran kebencian ini perlu disikapi serius agar tidak terjadi konflik horizontal masyarakat di tingkat lokal. Sementara era media sosial sekarang, salah satu masalah terbesar bagi masyarakat adalah peredaran hoaks.

Semua permasalahan diatas merupakan suatu kasus dari permasalahan yang lebih besar dari masalah lain dalam perhelatan Pemilu, yakni bisa memecah belah anak bangsa. Demokrasi dalam hal ini terancam oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan internet yang melahirkan media sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, kemajuan itu bisa meningkatkan kesejahteraan, sisi lain justru malah bisa menghancurkan. Dari sudut disiplin politik, dalam hal ini terkait ‘political will’ atau kebijakan politik pemerintah menjadi satu kunci pemecahannya. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah bahwa masalah kebijakan terkait penyebaran berita bohong atau hoaks serta ujaran kebencian mempunyai aspek sosio kemasyarakatan bahkan menjurus kepada permasalahan keyakinan warga negara dimana keduanya bisa mempengaruhi secara tajam. Dengan demikian, bagi Saya, penggunaan pendekatan Sosial Politik dan Keagamaan menjadi sangat mendesak.

Kearifan kultural untuk memenangkan aspirasi yang menjadi tanggungjawab para balon yang bersangkutan itulah tolok ukur utama kualitas Pemimpin Daerah. Bukan sekadar “Keberanian Vokal” yang sensasional demi popularitas kelompok ataupun pribadi para balon Pemimpin Daerah.

Sistem kultural politik kita telah memliki kerangka budaya politik kedaerahan. Demokrasi lokal adalah dasar dari sistem politik kita. Tidak ada demokrasi yang sekonkret dalam politik lokal atau akrab disebut “Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)”. Di tingkat lain pada kenyataannya sebenarnya tidak banyak warga yang begitu dekat dengan politik. Tidak ada tingkatan lain yang secara langsung dipengaruhi oleh keputusan politik. Dan tidak ada level lain di mana mereka dapat mempengaruhi politik dengan kuat, langsung dan efektif.

Beberapa data menarik dari hasil survey pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2017 ke 2018 naik tipis. Pilkada serentak awal 2017 menurut Survey BPS sepertinya menekan indeks demokrasi di 2016. Tekanan bukan oleh negara, melainkan oleh masyarakat sendiri. BPS menyebutkan, Demokratis itu tak selalu identik dengan berisik. Setidaknya, tak semua provinsi yang mencatat indeks demokrasi Indonesia (IDI) tertinggi punya tabiat temperamental secara politik. Dari lima provinsi yang meraih IDI tertinggi 2018, yakni DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bali, Kalimantan Utara (Kaltara), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), boleh jadi hanya dua yang disebut pertama yang berisik secara politik, selebihnya kalem-kalem saja.
Kelima provinsi itu memperoleh penghargaan dari Menteri Kordinator Polhukam (Politik, Hukum, dan Keamanan) Wiranto di Jakarta. Acara yang berlangsung di Hotel Sari Pan Pasifik Jakarta, Kamis (26/9/2019). Angka Indeks demokrasi Indonesia itu bergerak dari skor 0 sampai 100. Predikat baik disematkan pada daerah dengan IDI di atas 80. Predikat sedang skornya antara 60–80, dan di bawah 60 masuk kategori buruk. Secara nasional, skor IDI mencapai 72,39, naik tipis dari 72,11 pada 2017. Lima provinsi yang meraih penghargaan itu semuanya meraih skor IDI di atas 80. Yang tertinggi adalah DKI Jakarta (85,08), lalu Bali (82,37), NTT (82,32), Kaltara (81,07), dan DIY (80,82). Provinsi dengan angka IDI terendah disandang oleh Papua Barat yang mencatat skor 58,82. Pada 2018, IDI Papua Barat anjlok, dan posisinya disalip oleh Provinsi Papua yang naik kelas dengan IDI 61,34. Secara umum, provinsi di Indonesia mencatat IDI di sekitar angka 70.
Cerminan Indeks demokrasi secara nasional selama lima tahun (2014-2018) belum merefleksikan perkembangan tren yang konsisten. Pada 2014, IDI nasional mencapai 73,04 sempat menurun sedikit dan naik lagi ke 72,39. Dari tiga aspek utamanya, tidak satu pun yang kinerjanya bisa stabil. Flustuasi yang tajam terjadi pada aspek Kebebasan Sipil, Hak-Hak Politik, maupun Lembaga Demokrasinya. Titik terendah IDI dalam 5 tahun terakhir terjadi 2016 yakni sebesar 70,11. Pada tahun itu, kebebesan sipil, kebebasan politik maupun kinerja lembaga demokrasi mengalami penurunan serentak. Boleh jadi, itu adalah dampak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang digelar 15 Februari 2017, yang suhu politiknya telah memanas sejak pertengahan 2016. Pilkada serentak itu meliputi 101 daerah kabupaten, kota dan provinsi, termasuk DKI Jakarta.

Kebebasan sipil mengalami tekanan di tahun 2016, lalu naik di tahun 2017 dan sedikit turun lagi di 2018. Kebebasan sipil yang dimaksud itu mencakup kebebasan berkumpul dan berserikat, berpendapat, berkeyakinan dan bebas dari diskriminasi. Menjelang Pilkada serentak 2017, tekanan kepada kebebasan sipil itu cukup terasa.

Catatan BPS menyebutkan, gangguan itu bukan dilakukan oleh negara, melainkan oleh satu kelompok masyarakat kepada kelompok yang lain. Gangguan terhadap hak-hak sipil itu itu tak pelak lagi berlanjut pada gangguan pada kebebasan politik. Ditambah pula adanya penurunan kinerja dan reputasi lembaga demokrasi, maka secara umum IDI pun merosot. Dengan selesainya proses panjang Pilpres 2019, BPS yakin bahwa IDI akan terus menguat pada tahun 2019 dan 2020.

Memang ada perkembangan cukup baik dalam alam demokrasi di Indonesia, kaitannya dengan keterlibatan masyarakat dewasa ini yang secara aktif ikut andil besar ikut mensukseskan jalannya pesta demokrasi pemilu tahun lalu. Tapi harus dipahami, agar hal lain yang tak boleh berlama-lama dibiarkan. Karena bisa jadi akan ada polaritas ekstrim yang otomatis menimbulkan friksi, perpecahan dan segala hal yang harus dihindari. Lalu luapan demokrasi seyogyanya dibungkus dengan kegembiraan dan kedewasaan dalam berdemokrasi yang santun, saling menghormati untuk mewujudkan Pilkada yang aman dan damai dan menghasilkan pembangunan masyarakat yang sejahtera..

Bagaimana dengan Pilkada di beberapa kabupaten kota termasuk di Bali? harusnya masyarakat memilah dan memilih pemimpin nya dengan cerdas. peta kekuatan partai politik di kabupaten kota di Bali dikuasai PDIP, dengan penguasaan suara yang begitu dominan dikhawatirkan akan tidak ada lawan yang berani mengikuti kontestasi pada pilkada 2020. jika hal nya demikan apakah dapat disebut parpol selain PDIP tidak berhasil menghasilkan kader politik yang mumpuni untuk ditawarkan sebagai alternatif calon.. bagaimanapun perubahan sangat dibutuhkan oleh masyarakat.. Pembangunan yang dihasilkan tidak serta merta dapat dilihat dari kemenangan yang dominan pada pilkada.. fakta nyata dapat dirasakan oleh masyarakat kabupaten kota. Keberhasilan bupati dan walikota tidak cukup diukur dari banyaknya memperoleh penghargaan atau rekor muri jika pembangunan politik pencitraan nya tidak dapat menumbuhkan kesejahteraan kepada masyarakat nya..
Dalam pilkada 2020 ini kejelian, kecerdasan dan kedewasaan masyarakat dalam berpolitik diuji, apakah akan tetap memilih calon-calon bupati dan walikota yang seperti sekarang adanya? Tawaran calon pemimpin daerah harus jelas, mau dibawa kemana pembangunan 5 tahun kedepan. Harus ada “gagasan tentang kemajuan” ( the idea of progres). Bali tidak cukup hanya mengandalkan pada Pariwisata, yang sangat rentaln dengan tekanan global, seperti adanya terorisme, juga sekarang ini dengan adanya virus corona. Kemajuan yang diyakin akan mendorong munculnya demokrasi dari partisipasi kesadaran masyarakat karena pilihan nya akan membawa kesejahteraan.. demokrasi yang tidak menghasilkan perubahan, yang tidak bertanggung jawab akan kehidupan warga masyarakatnya berarti gagal..
sebagaimana tersirat dari apa yang ditulis Dr. Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi (2003)..apakah demokrasi yang dibangun melalui pemilu dan atau pilkada 2020 memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi? saling silang sebagai panglima bagi bangsa Indonesia antara ekonomi atau politik menjadi kan kedua hal tersebut seharusnya tidak dapat dipertentangkan.. Tahap Awal pertumbuhan ekonomi bisa mengganggu, bukan mendukung , proses demokrasi. Hal ini sekarang bisa kita rasakan tantangan global mempengaruhi pengambil keputusan di tingkat seorang kepala daerah, terlebih diberlakukannya otonomi daerah. Disinilah diperlukan kecerdasan, keteladanan seorang pemimpin yang akan mampu memberikan peningkatan partisipasi warga nya untuk bersama-sama membangun daerahnya.. Jadi apakah kita akan memilih pemimpin seperti gambaran diatas pada 2020? Semoga

Literasi PDC, Prabu Capung Mas, Sukra, 6 Maret 2020