Kenang kenangan terakhir Maestro Gunarsa bersama presiden RI Jokowidodo/Ist

SUDAH enam bulan lebih, tepatnya Minggu (10/9) tahun lalu, pelukis bergaya ekspresionis era tahun 1970-an, maestro seni rupa Bali, I Nyoman Gunarsa sudah tutup usia. Meninggalkan kita semua, kehidupan kesenirupaan Bali khususnya dan Nusantara (Indonesia) umumnya. Kini, kenangan goresan seni semasa hidupnya bersama seorang istri, tiga anak dan tujuh cucu yang berada dalam Museum Seni Kontemporer miliknya di Jalan Raya Banda Nomor 1-Takmung, Angkan Klungkung telah menjadi sejarah tersendiri di kalangan seniman dunia.

Bahkan, museum yang menyimpan koleksi lukisan klasik Bali sebanyak 400 buah dan punya sejarah panjang serta memiliki kualitas lukisan yang tinggi ini sudah diajukan sebagai warisan budaya dunia berupa benda ke organisasi internasional, UNESCO bidang budaya dan pendidikan.

Sebagai wujud kepedulian pemerintah atas usulan tersebut museum yang berdiri sejak tahun 1990 silam dan diresmikan tahun 1994 oleh Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, Wardiman Djoyonegoro ini sempat dikunjungi presiden Joko Widodo, tepatnya, (4/8) tahun lalu.

Pada kesempatan itu, presiden Joko Widodo pun menganggap Museum Gunarsa ini sangat penting untuk cagar budaya bangsa, dan mengakui bahwa memang siapa pun yang datang ke Bali pasti akan merasakan bahwa seni adalah roh dari kehidupan masyarakat Bali. Makanya, pemerintah wajib menjaga dan memelihara museum Gunarsa ini bersama keluarga besar I Nyoman Gunarsa.

Lantas, bagaimana kisah persahabatan dan pandangan Budayawan, Prof. Dr. I Made Bandem MA, yang juga Guru Besar Etnomusikolog College of the Holy Cross, Massachusetts USA, terhadap mendiangsang maestro I Nyoman Gunarsa, pelukis kelahiran 15 April 1944 silam ini. Berikut petikan wawancaranya bersama koran ini.

Bagaimana kisah Anda mengenal sosok sang maestro Nyoman Gunarsa yang juga dosen institut Seni Indonesia (ISI) Yogjakarta?

Awalnya, ketika menguji Seniman Seni Tari (SST) setingkat sarjana di kampus Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI, kini Institut Seni Indonesia, ISI) Yogyakarta tahun 1976, seorang dosen perguruan tinggi seni menyampaikan bahwa di kampus Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, kini Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta) terdapat seorang dosen seni lukis dari Bali bernamaI Nyoman Gunarsa yang sangat kreatif, tekun, dan loyal kepada mahasiswa dan dosen sejawatnya.

Nah, keesokan harinya saya pun pergi ke kampus ASRI Gampingan, Yogyakarta dan berkenalan dengan Nyoman Gunarsa. Namun demikian, persaudaraan akrab kami baru terjadi pada tahun 1981, ketika Nyoman Gunarsa sedang menunggu sebuah pameran seni lukis dan kriya Bali dalam rangka Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-3 di Taman Budaya Denpasar.

Sebagai seorang seniman lukis, Nyoman Gunarsa termasuk energetik, tetapi santun, bahkan tak segan-segan mengambil sehelai kertas karton dan sekotak pastel dari sebuah tas kulit yang dibawanya dari Yogyakarta. Lantas, meminta saya duduk di atas sebuah kursi plastik dan dengan tangan emasnya dia menggoreskan pastel warna-warni itu di atas kertas karton berwarna coklat yang berukuran double folio. Dalam waktu yang sangat cepat terciptalah sebuah lukisan wajah manis, esentrik, namun berwibawa. Sampai saat ini itulah salah satu lukisan potret diri terbaik yang saya miliki.

Bahkan, Nyoman Gunarsa tidak hanya melukis wajah saya, tetapi juga sejumlah Menteri, Duta Besar, bahkan beberapa orang Presiden Republik Indonesia sudah pernah dilukisnya. Presiden Soeharto bahkan sempat berujar kepada saya ketika beliau meninjau pameran seni lukis “Taksu Bali” di Bali Cliff Hotel, Nusa Dua, tahun 1995, dan Presiden menyatakan kepada saya bahwa Nyoman Gunarsa adalah seorang maestro seni lukis Bali yang memiliki tangan emas, dan Presiden menyebutnya sebagai Afandi-nya Bali.

Karya-karya sang mastro Nyoman Gunarsa tentunya punya sejarah tersendiri dalam kehidupan berkesenian khususnya seni rupa lukis di Bali dan Indonesia, bagaimana menurut Anda?

Sejak kecil di desa Banda Nyoman Gunarsa diperkenalkan dengan “tradisi kecil,” budaya pertanian yang memiliki berbagai bentuk seni tradisi seperti nyanyian, tari, gamelan, dan permainan rakyat. Dalam proses pembelajaran yang sama Nyoman Gunarsa juga diperkenalkan dengan “tradisi besar,” warisan budaya klasik Gelgel dan Klungkung, seperti wayang kulit, topeng, wayang wong, bahasa dengan tata hormatnya, upacara kremasi, gamelan Semar Pagulingan, dan Lukisan Klasik Kamasan.

Perpaduan kedua budaya itulah yang menjadikan Nyoman Gunarsa sebagai seniman yang memiliki prinsip continuity in change. Terlebih lagi, setelah menamatkan pelajaran di SMA Negeri Klungkung, berbekal tekad dan semangat besar untuk  menjadi seniman terkenal, Nyoman Gunarsa pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi seni ternama yang bernama ASRI Yogyakarta.

Tak hanya itu, bahkan setelah secara gemilang memperoleh gelar B.A. di kampus itu, Nyoman Gunarsa menikah dengan seorang wanita cantik keturunan Cina dari Magelang, tahun 1972. Nah, semakin lengkaplah nilai-nilai budaya yang melekat pada diri Nyoman Gunarsa, yaitu nilai budaya padi, nilai budaya kerajaan, nilai budaya modern, dan nilai kewirausahaan, membekali Nyoman Gunarsa sebagai seorang pelukis untuk menghadapi dunia global.

Ketokohan Nyoman Gunarsa semakin terasa, di mana sekitar pengujung tahun 1970 silam sempat terjadi perseteruan antara Kubu Yogyakarta yang berkiblat pada seni lukis perjuangan dengan paham realis-nya melawan Kubu Bandung yang menjunjung modernisme. Dan, Nyoman Gunarsa muncul dengan maszab penengah continuity in change dengan melahirkan mazab Sanggar Dewata Indonesia (SDI).

Saat itu, dia dibantu oleh seniman-seniman Bali lainnya seperti Made Wianta, Wayan Sika, dan Nyoman Supada yang tengah belajar di Yogyakarta untuk terus menggelorakan mazad ini ke tengah publik seni yang sedang gundah dan tegang saat itu.

Akhirnya, SDI pun muncul dengan gaya seni lukis modern, namun mengangkat nilai-nilai budaya Bali ke dalamnya. Mazab ini mendengungkan tradisi dan modernitas, merupakan sebuah kesinambungan nilai-nilai budaya Bali ke dalam budaya modern. Nyoman Gunarsa lahir sebagai seorang “pahlawan kebudayaan” – a culture hero.

Kini SDI bahkan berkembang menjadi mazab pluralis, sebuah mazab yang mendengungkan seni multikultur yang merupakan ikon masyarakat mondial. Lahirlah tokoh-tokoh besar dalam seni lukis Bali, seperti Wayan Sika, Made Djirna, Mas Riadi, Suta Wijaya, Made Sukadana, Pande Taman, menyebut beberapa diantaranya, mengikuti jejak pendiri-pendirinya. Nyoman Gunarsa, tentu juga Made Wianta namanya telah mendunia, berhasil membawa seni lukis Bali diterima mazab kontemporer dunia.

Atas dasar itulah tidak berlebihan, menyebut Nyoman Gunarsa sebagai seorang pahlawan kebudayaan, karena kegigihannya membangun SDI dan memperjuangkan eksistensi seni lukis modern Indonesia ke kancah dunia internasional.

Hebatnya lagi, sebagai seorang pahlawan, perjuangan Nyoman Gunarsa tidak terhenti di situ. Dia juga mendirikan sebuah Museum Seni Lukis Klasik Bali yang menyimpan koleksi terbaik mengenai lukisan gaya itu. Selain memamerkan lukisan, museum itu juga memajangkan sejumlah barang-barang antik lainnya seperti patung, keris, wayang kulit, dan gamelan. Gamelan Semar Pagulingan yang dimiliki oleh Nyoman Gunarsa adalah warisan budaya adiluhung dari kerajaan Karangasem.

Museum Seni Lukis Klasik Bali itu dilengkapi pula dengan sebuah perpustakaan kecil yang menyimpan sejumlah buku-buku penting mengenai kesenian tradisional dan modern yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai seni dan budaya. Meneruskan gagasan “tradisi kecil” yang dia pahami, Nyoman Gunarsa menanam sejumlah pohon berhasiat di lingkungan museumnya sebagai bahan obat-obatan yang menuruti aturan  pengobatan tradisional “ayurvedic.”Nyoman Gunarsa menujukkan totalitas bakat dan pengabadiannya lewat revitalitas seni rupa, seni pertunjukan, dan aspek-aspek budaya lainnya.

 Sang maestro Nyoman Gunarsa kabarnya sempat melakukan upaya pengajuan Museumnya sebagai Warisan Budaya Dunia, dan Anda juga termasuk dalam tim pengusulnya, bagaimana tindaklanjutnya?

Saat ini, Tim Pengusul yang terdiri dari Prof. Dr. Wardiman, dan Prof. Dr. Hedi Hinzlertermasuk saya sendiri kini masih sedang menyusun sebuah buku katalog profesional yang bersifat internasional untuk mendukung pengusulan NGM (Nyoman Gunarsa Museum) memperoleh Memory of the World (MoW) UNESCO.

Sebanyak 200 buah lukisan klasik Bali yang tersimpan di NGM telah selesai dideskripsikan oleh Prof, Dr. Hinzler sebagai bagian utama dari katalog tersebut. Di mana, katalog itu juga harus dilengkapi dengan foto-foto profesional agar bisa diterima dengan baik oleh UNESCO.

Sampai saat ini NGM belum memiliki katalog profesional. Sebanyak 650 halaman katalog berbahasa Inggris sedang kami kerjakan bersama dan mudah-mudahan kami mendapat dana untuk mencetak katalog ini.

Kami juga sudah meminta dukungan dari Sydney National Museum (Australia) dan Museum Seni di Holand dan Jerman untuk memberi dukungan NGM memperoleh MoW UNESCO. Harapan kami bahwa pada bulan Mei 2018 usulan sudah bisa masuk ke UNESCO. Semoga berhasil.

Penulis : Wija Bagus