Denpasar, (Metrobali.com)

Diberitakan Budayawan Made Wianta meninggal Jum’at 13 Desember 2020 di Denpasar, dan diperoleh info akan dibuatkan upakara Senin, 16 Desember 2020 di desanya Apuan, Tabanan Bali.

Wianta dikenal luas, bahkan mendunia terutama di kalangan seniman dan peminat kesenian, bahkan diberikan sebutan sang maestro. Sebutan besar, yang belum tentu disenangi oleh sang seniman, yang hakekat dasarnya rendah hati, berasal ” Ibu ” kebudayaan yang sangat dicintainya – Kebudayaan Bali -.

Dalam sebuah diskusi tentang Kebudayaan Bali yang diselenggarakan Harian Bali Post di awal dasa warsa tahun 90’an, seniman ini begitu risau tentang kooptasi komersialisasi berlebihan dari industri pariwisata terhadap proses berkebudayaan, dan dampaknya terhadap totalitas prilaku masyarakat Bali. Kerisauan yang sangat tampak dari gesture yang bersangkutan pada saat menyampaikan pendapat dan kekhawatiran yang amat sangat dalam proses berkebudayaan masyarakat.

Dalam pertemuan yang kebetulan, kurang lebih 2 dasa warsa kemudian, dalam suasana jalan santai pagi hari di pantai Sanur, kekhawatiran yang sama diungkapkannya kembali, yang memberikan penggambaran terhadap komitment dan kecintaannya terhadap ” Ibu ” kebudayaannya – Kebudayaan Bali -. Dalam gesture yang memendam duka dan kecewa. (Mungkin saja penulis salah membaca gesture, tetapi itu yang sangat tampak ).

Menyimak pendapat Wianta tentang kebudayaan Bali di awal tahun 90′ an ini, dan melihat realitas kehidupan terutama kehidupan berkebudayaan masyarakat Bali di hari-hari ini,  penulis menjadi teringat akan pendapat dari budayawan Romo Mangun ( Y.B.Mangunwijaya ) dalam makalahnya pada Kongres Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, tahun 1987 di Jakarta.

Budayawan ini kurang lebih mengatakan senimanlah yang merupakan kelompok masyarakat yang pertama melihat perubahan, ufuk timur perubahan, diikuti oleh para pedagang, kalangan inteletual, agamawan, masyarakat umum dan terakhir para politisi.

Satu, dua tahun lalu, sebagaimana diberitakan Harian Kompas, seniman ini melakukan pameran kalau tidak salah di London dengan tema Pulau Rum, sebuah pulau kecil dalam gugusan pulau di Halmehera Utara. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pulau ini di era penjajahan dikuasai oleh Belanda sebagai penukar dari Pulau Manhantan yang diserahkan ke pemerintah  Inggris.

Kita mengetahui dewasa ini, pulau Mahantan dimana kota New York berada, menjadi simbol dari puncak peradaban komtemporer yang menggambarkan kejayaan kapitalisme, industrialisme dan globalisme. Sedangkan Pulau Rum, konon, nyaris hampir sama kondisinya dibandingkan masa lalu.

Pemilihan Wianta dalam pamerannya di London dengan tema Pulau Rum, apapun latar belakang pemikirannya, memberikan penggambaran dari kecerdasan dan kepekaan budayawan ini dalam menyimak trend peradaban dalam perspektif kesejarahan. Kecerdasan dan kepekaan kebudayaan  yang relatif langka dewasa ini.

Dari sosok Wianta, para seniman muda dapat belajar tentang arti pendidikan, arts by training, pentingnya belajar berkepanjangan dari diskusi tanpa henti, keaktifan dalam.organisasi, kecerdasan membangun jaringan, promosi otentik melalui hasil karya gilang-gemilang.

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, penulis buku: Hindu & Budaya Bali ( Bunga Rampai Pemikiran ), Baliku Tersayang, Baliku Malang, Potret Otokritik Pembangunan Bali Satu Dasa Warsa ( dasa warsa 90’an ).