Di Bali, kebanyakan seni patung telah menjadi benda kerajinan. Sangat sedikit seniman patung yang menggarap karya-karyanya menjadi suatu karya cipta yang khas corak pribadinya. Mereka cenderung menggarap patung-patung pesanan yang diminati pasar. Dan, contek-mencontek bukanlah suatu yang tabu di antara mereka; seniman Bali terkenal sangat lihai dalam hal yang satu ini. Maka, tak bisa dipungkiri bila seni patung di Bali telah terjerumus menjadi kerajinan atau home industri, yang muaranya untuk kepentingan souvenir bagi para turis.

Namun, di tengah hingar-bingar bisnis pariwisata di Bali, kita masih bisa menemui segelintir seniman patung yang masih kukuh untuk tidak hanyut dalam pusaran arus pariwisata itu. Artinya, mereka masih mampu menjalankan fungsinya sebagai seniman, menciptakan karya kreatif yang sebisa mungkin berbeda dengan seniman lainnya. Mereka terus berusaha melahirkan karya-karya yang tidak melulu melayani kepentingan pariwisata.

Bali bersyukur memiliki seniman-seniman patung yang telah melahirkan corak tersendiri, seperti I Cokot, Ida Bagus Nyana, Wayan Pendet, Ketut Muja, Made Sukanta Wahyu. Mereka telah memberikan sumbangan luar biasa bagi seni patung di Bali. Lalu, bagaimana dengan generasi mudanya?

Salah satu pematung muda Bali yang terus gelisah mencari dan menemukan berbagai kemungkinan eksplorasi seni patung adalah Wayan Jana. Dia adalah anak pertama dari pamatung Ketut Muja. Dilahirkan di Br. Mukti, Singapadu, Gianyar, 8 Juli 1968. Selain belajar patung secara akademis di ISI Denpasar, dia juga banyak menyerap ilmu memahat dari ayahnya. Namun, tidak bisa dihindari, pada tahap awal menapaki seni patung, pengaruh ayahnya masih kentara pada karya-karya Jana, terutama pada karakteristik bentuk pahatan. Lambat laun, Jana berusaha keluar dari bayang-bayang ayahnya, dan menemukan coraknya sendiri.

Sejak tahun 1986, Jana telah terlibat dalam banyak pameran bersama. Pameran tunggal perdananya digelar di Griya Santrian Gallery, Sanur, bertajuk “Objecks of Life” pada tahun 2004. Setelah sekian lama jeda pameran tunggal, kali ini Jana kembali menampilkan sejumlah karya patung terbarunya yang dibuat dari kayu nangka, waru, dan jati. Pameran bertajuk “Hasrat” ini merupakan eksplorasi terbaru Jana dalam mengolah kayu menjadi karya-karya patung yang sarat makna.

 Menikmati karya-karya Jana, kita dituntun mengembangkan imajinasi, menyusuri serat, urat, barik dan alur kayu dengan bentuk-bentuk yang unik. Karya-karya Jana yang imajis memungkinkan munculnya berbagai macam penafsiran. Bentuk-bentuk yang dipahatnya merupakan perpaduan realitas dan imajinasi. Sebagai pematung, Jana berhasil menggarap volume kayu menjadi suatu bentuk dan gerak yang ilusif.

Tema “Hasrat” dalam pameran ini mengacu pada suatu hubungan yang mengisyaratkan kerinduan, keinginan, atau kecintaan yang bersumber dari gejolak halus perasaan. Judul-judul karya Jana mengungkapkan bahwa “hasrat” itu berkaitan dengan soal cinta-asmara, seperti yang bisa dilihat pada patung berjudul Kehangatan, Senadung Rindu, Menanti, Terlena, Bersemi, Sehati, Berbagi Rasa.

 Meski kebanyakan karya Jana kali ini berbicara soal cinta asmara, namun dia mampu mempertahankan bentuk-bentuk karyanya agar tak jatuh menjadi verbal. Karya-karya Jana yang terkesan elastik dan dinamis tetap menyediakan ruang imajinasi bagi pemirsanya. Citraan-citraan yang muncul sangat tergantung pada pengalaman dan kekuatan imajinasi pemirsanya.

Jauh sebelumnya, dalam proses kreatifnya menciptakan patung, Jana tidak terpaku pada sebuah bentuk yang baku. Dia pernah memahat kayu dengan mengikuti alur kayu atau merespon bentuk kayu sehingga menghasilkan wujud yang baru. Wujud-wujud yang muncul biasanya tergantung pada imajinasi si pematung pada saat mengamati kayu. Di Bali, teknik ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Cokot ketika ia memahat pokok akar kayu tua menjadi bentuk-bentuk aneh yang menyerupai monster. Kemudian, teknik ini juga dipakai oleh Sukanta Wahyu, Ketut Muja, dan sejumlah pematung lainnya.

Pada pameran kali ini, Jana tidak lagi menampilkan patung yang dibuat dengan teknik merespon kayu. Karya-karya terbarunya cenderung lebih formalis dan akademis. Dia secara sadar memerhatikan unsur-unsur yang membangun keharmonisan suatu karya patung, seperti pembagian bidang, volume, model, dan sebagainya. Wujud-wujud karyanya kali ini merupakan representasi dari citraan-citraan atau pola-pola yang telah terbentuk di alam pikirannya. Pameran ini menunjukkan perkembangan terbaru dari proses kreatif Jana sebagai pematung.

Oleh: Wayan Jengki Sunarta*

*Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.