Bentara Budaya Bali (BBB) menjalin kerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Aarunya Art Foundation dalam sebuah program Timbang Pandang. Agenda yang berlangsung pada Kamis (02/01/2020).

GIANYAR (Metrobali.com)-

Mengawali tahun 2020, lembaga kebudayaan Bentara Budaya Bali (BBB) menjalin kerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Aarunya Art Foundation dalam sebuah program Timbang Pandang. Agenda yang berlangsung pada Kamis (02/01/2020) bertempat di Auditorium A.A. Djelantik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini berangkat dari buku kumpulan puisi karya dr. Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa bertajuk “Autobiografi Kejahatan”, diterbitkan Bali Mangsi Foundation (2019).

 

Adapun program timbang pandang kali ini mengetengahkan tajuk “Sains, Seni, dan Upaya Kreasi Lintas Bidang”. Tampil sebagai narasumber timbang pandang yakni Hartanto Yudho Prastyo (pengamat dan pegiat seni budaya), dr. I Nyoman Sutarsa, MPH, FHEA (dokter, akademisi, pengamat sastra) dan Warih Wisatsana (penyair, kurator).

 

Selama ini sains dan seni kerap dipandang sebagai dua kutub yang berlawanan. Namun, boleh dikata proses kreatif serta pengalaman yang diselami oleh dr. Sthiraprana Duarsa atau yang lebih akrab disapa Ary Duarsa, justru membuktikan bahwa antara sains dan seni, khususnya sastra, dapat berjalan beriringan dan saling menopang.

 

Selain seorang dokter, Ary Duarsa dikenal tekun menulis puisi, serta aktif berkesenian sedari remaja. Bukunya yang pertama berjudul “Bagian dari Dunia” terbit tahun 1994, lalu disusul “Pulang Kampung” (2008) dan kumpulan cerpen “Rumah Kenangan” diterbitkan 2014.

 

Ketiga narasumber bukan hanya berbagi perihal bagaimana sains dan seni bertemu serta melahirkan ragam kreasi yang bersifat lintas bidang, namun juga fenomena bentuk-bentuk kesenian masa kini yang lintas batas serta memerlukan sebuah upaya kolaborasi yang selaras jiwa zaman.

 

I Nyoman Sutarsa, seorang dokter yang juga kandidat PhD dalam bidang Health System and Policy di The Australian National University, mengungkapkan bahwa sesungguhnya antara sains dan seni senantiasa beririsan, tinggal bagaimana hal tersebut disikapi.

 

Apa yang disampaikan Sutarsa sesungguhnya bisa dilacak lebih jauh melalui sejumlah fenomena sejarah yang menunjukkan adanya keterhubungan antara sains dan seni. Misalnya pada era di mana Copernicus dan Galileo memulai revolusi sains yang berpuncak pada karya Leonardo da Vinci, Michelangelo, dan Rembrandt (pelukis terbesar dalam sejarah Eropa). Atau dalam revolusi teori relativitas Einstein yang memperluas mekanika Newton dari konsep “ruang dan waktu” menjadi “ruang-waktu”. Revolusi sains akibat teori relativitas Einstein membuka cakrawala baru berpikir dari yang konsep absolut ke konsep relatif.

 

“Dokter Ary Duarsa mampu menyelami wilayah abu-abu antara sains dan seni, sebuah wilayah yang saya kira seharusnya diselami semua  dokter atau calon dokter dan melakukan eksplorasi yang bersifat lintas bidang didasari kesadaran yang terukur serta terarah,” ungkap Sutarsa.

 

Ia menambahkan bahwa melalui puisi-puisi dalam buku “Autobiografi Kejahatan”, Ary Duarsa mampu melukiskan kejadian sakit yang tidak lagi hanya dibaca peristiwa biologis tunggal tapi sebuah patologis sosial yang berasal dari faktor-faktor di luar tubuh, semisal kondisi ekonomi dan politik.

 

“Bagi seorang dokter atau calon dokter, kepekaan sosial bisa dibentuk dengan menyelami karya seni atau sastra. Kejernihan berpikir dan integritas bisa dibentuk melalui seni dan kesanggupan empati digenapi melalui persentuhan dengan karya seni dan budaya, “ tuturnya.

 

Sementara itu, Hartanto dari penerbit Bali Mangsi Foundation, yang juga mengikuti proses kreatif Ary Duarsa sedari muda, mengungkapkan bahwa puisi-puisi surealis dari antologi ini bukanlah surealis teks semata tapi konteks yang lebih perlu dipahami oleh penikmat.

 

“Saya mengikuti perjalanan Ary sejak mahasiswa, itu seperti sebuah observasi tentang konten surealis dalam karya-karyanya”, ujar Hartanto.

 

Ia pun menambahkan bahwa bila dirunut sejak masa STOVIA, sesungguhnya institusi kedokteran telah banyak melahirkan intelektual-intelektual yang bukan hanya peduli pada masalah-masalah kedokteran, namun juga di bidang seni budaya. Bahkan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sendiri banyak pula lahir dokter yang juga intelektual dan budayawan, semisal A.A. Djelantik.

 

Penyataan Sutarsa dan Hartanto ditegaskan pula oleh Warih Wisatsana, yang menyebutkan bahwa memang diperlukan dokter-dokter yang mempunyai kesadaran lintas bidang. Lebih jauh ia menyoroti pula seputar tematik dan sumbangsih puisi-puisi Ary Duarsa bagi Bali.

 

“Dalam konteks humanisme dan kapitalisme, Ary Duarsa melalui puisi-puisinya menunjukkan bahwa ia cenderung tidak hidup soliter sebagai penyair, tapi juga memiliki wilayah solider atau berbagi.  Kita bisa melihat kritiknya yang kuat terhadap kehidupan sosial kultural di Bali. Tema-tema dalam puisinya susah ditemukan dalam karya-karya penyair Bali lain, atau bentuk-bentuk kesenian lain. Puisi-puisinya menawarkan hal-hal yang selama ini dianggap tabu dalam kehidupan keseharian masyarakat kita, “ ungkap Warih.

 

Acara dihadiri oleh sejumlah sastrawan Bali, sebut saja Tan Lioe Ie, Oka Rusmini, Arif Bagus Prasetyo, Mas Ruscitadewi, GM Sukawidana dan lain-lain, juga mahasiswa kedokteran dan penikmat sastra. Memaknai diskusi, ditampilkan pula pembacaan puisi oleh Laksmi Padma Kemala, Sukma dan Siswan Dewi.

 

Sumber : Bentara Budaya Bali