Sangat disayangkan jika penyebutan kata Subak atau Budaya Subak, kita membayangkannya sebatas organisasi tradisional dalam hal tata kelola air dan usaha tani saja, dan atau hamparan sawah. Mengapa Subak seakan-akan hanya ada di Bali? Dan seperti apakah makna Sawah (Carik) dalam spirit hidup orang Bali?

——————————

Belakangan ini wacana Subak terus mengemuka dan dikemukakan oleh banyak pihak. Budaya Subak pun sudah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Sehingga pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah; “Masih yakinkan kita bahwa Budaya Subak bisa mendatangkan kesejahteraan bagi Bali?” Dan apa saja idikator kesejahteraan yang kita harapkan dan maksudkan? Kalau yakin maka Perda Subak sangat kita butuhkan. Kalau tidak yakin maka mengapa perlu di perdakan? Dan mengapa pula perlu diwariskan? Dan untuk apa pula dijadikan “Warisan Budaya Dunia?” Hal ini sangat penting untuk keberlanjutan konsep “pewarisan  budaya dunia” itu sendiri.

Mengutip salah satu awig-awig Subak yang ada di Kabupaten Tabanan, disebutkan: “Subak adalah tempat berlindung bagi anggota Subak beserta seluruh keluarganya. Sesuai dengan aturan, Subak ibarat alam semesta (Makro Kosmos) dan Manusianya adalah (Mikro Kosmos). Secara keseluruhan di alam ini, Subak diibaratkan sebagai “tubuh” atau kehidupan yang lengkap, mencakup Parahyangan, Pawongan dan Palemahan (Tri Hita Karana).”

Dalam pengertian Subak diatas jelas Tri Hita Karana  dalam aktivitas Krama Subak menjadi tujuan yang utama dimana dalam aktivitas sehari-hari Krama Subak melaksanakannya dalam bentuk, yaitu; a). dalam hal Parahyangan, yaitu: Meyadnya sebagai bentuk keyakinan akan keagungan Sang Pencipta/Tuhan Yang Maha Esa b). dalam hal Pawongan, yaitu : Mekrama sebuah kesadaran akan tanggungjawab bersama dalam menciptakan keteraturan c). dalam hal Palemahan, yaitu; Mengolah lahan atau bercocok tanam untuk hidup menghidupi semua makluk hidup.

Meyakini spirit Tri Hita Karana, berarti meyakini pentingnya sebuah keseimbangan, keteraturan dalam tata kelola alam, dan kedinamisan hidup yang mensejahterakan. Ada enam sumber kesejahteraan hidup yang masih diyakini dan dipraktekan dalam aktivitas Subak yaitu : Sad Kertih, yaitu:

  1. Wana Kertih : tumbuhan-tumbuhan sebagai sumber kesejahteran. Bisa berupa hutan, padi, palawija, buah, bunga, tanaman obat dan sebagainya;
  2. Segara Kertih : penyucian sebagai sumber kesejahteraan. Hamparan sawah dan atau hijaunya pepohonan menciptakan keindahan, ketenangan, kesegaran, dan seterusnya;
  3. Danu Kertih : air dan aliran air tawar sebagai sumber kesejahteraan. air mengairi sawah, air untuk minum, air untuk energy, dan seterusnya;
  4. Jana Kertih; meguru/belajar secara terus menerus sebagai sumber kesejateraan. Alam secara terus menerus memberi pengetahuan, pembelajaran, dan tuntunan. Krama Subak terus belajar mengelola alam dengan menghormati hukum alam. Alam memberi tuntunan dan pengetahuan hidup.
  5. Atman Kertih : Meyadnya sebagai sumber kesejahteraan. Meyadnya adalah bentuk penghormatan Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Jagat Kertih; mekrama sebagai sumber kesejahteraan. Tanggung jawab mengelola alam adalah tanggungjawab bersama.

 

Bagi orang Bali, Sad Kertih adalah pengetahuan Suci, pengetahuan alam universal yang sujati  (wahyu/weda) yang terangkum oleh orang suci pula. Jadi aktivitas pertanian dan tata kelola air hanyalah salah satu dari aktivitas Subak. Atau dengan kata lain, dalam aktivitas Subak lah yang saat ini masih menghormati dan melaksanakan spirit Sad Kertih. Tanpa menyakini kembali spirit Sad Kertih dan Tri Hita Karana, maka sawah tidak lebih dari sekedar hamparan, air tidak lebih dari kebutuhan untuk bertani, dan petani pun tidak lebih dari sekedar profesi dan padi pun tidak lebih dari sekeder komudity. Perbedaan keyakinan, penghormatan dan pengetahuan tentang cara bertani dan atau mengelola alam di Bali dengan daerah lainnya, maka seolah-olah Subak hanya ada di Bali. Padahal sawah dan petani ada dibanyak wilayah di belahan dunia ini.

Lebih jauh. pengertian Sad Kertih diatas memberi gambaran bahwa; Sawah/Carik di Bali adalah sebagai Sri Wana (hutan untuk mencari penghidupan). Sri Wana adalah bagian dari Wana Kertih yang terdiri dari; a). Maha Wana berupa hutan lebat, b). Tapa Wana berupa tempat atau kawasan suci, dan c). Sri Wana berupa hutan kemakmuran antara lain; tegalan dan sawah.

Selanjutnya, jika Wana Kertih adalah bagian dari Sad Kertih, maka Sad Kertih adalah bagian dari Panca Maha Butha. Panca Maha Butha adalah bagian dari Makro Kosmos (Alam) dan Mikro (Tubuh Manusia). Jadi memahami sawah/carik sesungguhnya adalah bagaimana umat manusia (Krama Bali) dalam meyakini dan memahami alam semesta.

Berangkat dari keyakinan  diatas, maka dalam hal Krama Bali/Krama Subak membuat awig-awig/aturan harus merujuk pada aturan alam semesta. Aturan alam semesta disebut dengan “Rta” (Hukum alam/Sikut Gumi). Pengetahuan akan hukum alam inilah yang terangkum dalam keyakinan dan aktivitas Krama Bali menjadi Rerahinan, Wewarigan dan Pawetonan. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas Karma Subak di Bali saat ini, yaitu:

  1. Aktivitas Krama Subak dalam hal Parahyangan? Salah satunya adalah mebanten. Tentu dan pasti membanten bukan hanya di tengah sawah saja. Mencakup membanten di pelangkiran, merajan, pura desa, kayangan jagat, dan seterusnya.
  2. Aktivitas Krama Subak dalam hal Wewarigan? Salah satunya adalah mencari Pedewasaan. Petani mengolah lahan, menanam, memanen, dan seterusnya pasti mencari Padewasaan (hari baik).
  3. Aktivitas Krama Subak dalam hal Pawetonan? Salah satunya adalah menyakini makna “kelahiran”. Krama Subak meyakini bahwa tanaman padi ibarat bayi, ada hari lahirnya (ngawiwit). Dalam hal ini Krama Subak sangat memahami dan meyakini siklus hidup padi. Krama Subak meyakini dan merangkumnya sebagai ilmu pengetahuan sebagai  “Tatawan Padi”.

Jadi sangat jelas, secara kelembagaan Subak bukanlah sebatas “organisasi” semata. Subak bukan pula hanya persoalan pertanian dan petani saja. Subak adalah : “Satu Kesatuan Tubuh Kehidupan”.

 

KRAMA BALI DAN PERDA SUBAK

Aktivitas Subak menyangkut pengetahuan, kawasan, pelaku dan aktivitas. Pelaku Subak adalah Krama Bali. Karena Krama Bali meyakini dan melaksanakan aktivitas Subak, maka wajarlah Subak hanya ada di Bali.

Lalu siapakah yang dimaksud dengan Krama Bali?  Krama Bali adalah keanggotaan diri pribadi dalam satu komunitas/kelompok yang memikul kewajiban Adat Bali yang bernafaskan Agama Hindu atau Ajaran Weda. Jadi Status Krama Bali adalah “Berhulu Adat”.

Dalam Komunitas Adat Bali jika diurai lebih lanjut maka dapat kita jumpai :1). Diri/Pribadi/Sentana 2). Krama Keluarga Kecil 3). Krama Keluarga Besar 4). Krama Keluarga Dadya 5). Krama Tempekan dan Sekehe 6). Krama Banjar Pakraman 6). Krama Adat Bali.

Disebuah wilayah (wewengkon) komunitas adat lah Krama Bali melakukan aktivitas Subak. Wilayah subak bisa berada dalam satu wilayah pakraman dan atau pakraman bisa berada di wilayah Subak. Bahkan aktivitas Subak bisa berada dalam gabungan wilayah di beberapa pakraman (bisa dijumpai dibeberapa wilayah di Bali).

Adanya kebutuhan Pemerintah Provinsi Bali untuk menetapkan sebuah Peraturan Daerah (Perda) tentang Subak (saat ini masin rancangan), sebagai Karma Bali sudah sepatutnya kita sikapi bersama.

Perda adalah aturan/hukum. Aturan pada dasarnya adalah bersifat mengatur. Artinya sudah ada subyek dan obyek yang mau diatur. Untuk bisa mengatur maka perlu dipahami apa yang diatur. Dimana, dari mana dan kemana aturan itu akan akan ditujukan dan apa pula hasil yang diharapkan? Tanpa meyakini kembali spirit dan budaya Subak yang sesungguhnya, maka hal itu akan sangat sulit diwujudkan.

Dalam Ketentuan Umum Rancangan Perda tentang subak disebutkan,”Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris relegius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang.”

Dari pengertian Subak diatas perlu dijabarkan dan dipahami siapa petani itu? Petani di Bali adalah “Krama Desa Adat”. Jadi wilayah kelola petani di Bali saat ini berada wilayah desa adat. Lalu, apa saja yang menjadi persoalan petani dan usaha tani dalam wilayah desa adat saat ini?

Jika budaya dan pembangunan Bali disebut dan diyakini berasaskan Tri Hita Karana, dan Subak pun merupakan bentuk aktivitas manusia Bali yang berasaskan Tri Hita Karana, berarti wilayah Subak bisa dikatakan berada dalam satu kesatuan utuh di wilayah Provinsi Bali. Karena perkembangan jaman, saat ini berbagai lembaga telah berdiri diatas “wilayah kekuasan dan kelola Subak”, salah satu sebut saja Negara,   maka Krama Bali pun berkedudukan ganda yaitu; sebagai Warga Dinas dan Warga Adat/Warga Subak. Diharapkan aturan atau Perda yang dibuat dapat menghormati keduanya. Dan pola pembangunan pun diharapkan dapat menghormati keduanya.

Jika kita sepakat bahwa dibuatnya Perda Subak dimaksudkan untuk menciptakan keteraturan yang mensejahterakan di Bali, maka ada baiknya kita melihat problema yang menyentuh dan terkait dengan hakekat dan sejarah Subak. Jika dikaji secara kewilayahan,pelaku, dan aktivitas Subak, maka beberapa problema yang patut kita maknai kembali, antara lain:

  1. Secara kesejarahan; Subak diperkirakan mulai ada sejak abad ke VIII. Kini diatas wilayah Subak (Bali) telah tumbuh dan berdiri lembaga lain (kekuasaan lain) sebut saja Kerajaan, Negara, Desa Dinas, Desa Adat/Pakraman dan sebagainya. Negara, Desa Dinas, Desa Pakraman, Banjar, ada jauh setelah budaya Bali ada. Dijamannya kekuasaan, tata laksana dan tata ruang “lembaga lain” tersebut masih menghormati dan selaras dengan spiriti Subak. Sehingga relative membuat kawasan Subak terpelihara dengan baik. Dan kini keselarasan itu mulai memudar. Banyak aturan yang merusak tatanan Subak.

1. Dari segi kewilayahan; Saat ini diatas wilayah Subak (Bali) pemaanfaatan dan pengelolaan lahan tidak lagi merujuk pada Spirit Sad Kertih dan Tri Hita Karana. Hal ini bisa dilihat dari pesatnya alih fungsi lahan Subak untuk hal-hal yang tidak selaras lagi dengan spirit Subak. Spirit dan system Subak adalah aturan, menyangkut potensi dan batasan, hak dan kewajiban. Termasuk daya dukung dan potensi di suatu wilayah.

2. Dari segi Pelaku. Pola kekuasaan (politik) sekarang cendrung tidak membuka ruang-ruang perenungan atau membangun kepekaan/kepedulian (pengrasa). Sehingga keputusan-keputusan politik pun sering kali terburu-buru. Sehingga aturan yang dibuat dan dijalankan tidak lagi selaras dengan penghormatan dan perlindungan Subak yang kini sudah jadi “Korban”. Wilayah Subak sudah didominasi dan dijejali oleh kepentingan dan kekuasan “lembaga lain”. Krama Subak pun seolah-olah hanya melaksanakan kewajiban memelihara alam (salah satunya air). Sementara hak dan kekuasaanya terus di kebiri dan tidak dihormati. Maka tidak mengherankan, aturan yang berangkat dari niat dan maksud baik pun pun sering kali berujung pada konflik kepentingan.

3. Dari segi aktivitas; saat ini banyak dijumpai aktivitas pembangunan dan bangunan yang merusak lahan dan hakekat Subak. Jangan heran pola pembangunan seperti ini akan menimbulkan kesembrautan, kemacetan, kriminalitas, kepadatan penduduk,  kumuh, pengangguran, bencana, krisis air, kebodohan, bahkan kemiskinan (tidak sejahtera). Penduduk pun meninggalkan desa. Generasi muda tidak mau lagi jadi petani dan bertani. Produk pertanian lokal pun tidak dihargai. Aktivitas disebuah kawasan tidak seimbang lagi, spirit Tri Hita Karana pun memudar. Sebuah kondisi dan tantangan yang harus dijawab oleh Perda Subak.

Dari empat hal diatas, maka tidak tepatlah dikatakan Subak mengalami masalah. Yang bermasalah adalah kita atau lembaga lain yang berdiri dan berada diwilayah Subak yang tidak lagi beraktivitas dan atau meyakini spirit Subak, baik dalam kehidupan  bernegara, desa dinas, desa adat, banjar atau aktivitas lainnya. Munculnya ketidak selarasan pelaku dan prilaku lebih diperparah lagi karena belum selarasnya spirit Subak dengan aturan dan atau perundang-undangan.

Perda Subak hendaknya dapat mengingatkan dan menjadi rujukan bersama dalam penataan dan pemanfataan ruang diatas wilayah Subak. Karena boleh dikatakan, spirit dan hakekat Subak adalah aturan “Tata Ruang alam Bali” itu sendiri.  Karena masalah ini cendrung dan mencakup seluruh wilayah Bali, maka dapat dikatakan hal ini adalah masalah peradaban di Bali, akhirnya terkait juga dengan kepentingan nasional (NKRI),  bahkan Internasional dalam hal isu “Pewaris, Ahli Waris dan Warisan Budaya Dunia.”

Beberapa hal yang perlu menjadi prioritas adalah;

  1. Mengormati “keteraturan” (trepti/kearifan lokal) yang ada dan hidup di wilayah Desa Pakraman. Jaman sekarang jika Desa Pakraman tidak teratur/trepti, maka sulit melindungi eksistensi Subak.
  2. Menata kembali keteraturan dalam wilayah Desa Pakraman, apa bila saat ini sedang mengalami permasalahan. Termasuk meningkatkan kapasitas SDM prajuru adat dalam memberikan informasi dan pelayanan publik.
  3. Pemanfataan lahan dan sumber daya Subak harus mendapat ijin/restu Desa Pakraman dan lembaga Subak.
  4. Membangun pola insentif kepada Krama Subak sebagi bentuk penghargaan terhadap “Nilai Budaya” yang telah banyak dinikmati oleh mereka yang : “Non Subak”

 HARAPAN TERHADAP PERDA SUBAK PROVINSI BALI

 Inisiatif pemerintah Provinsi Bali untuk membuat Perda Subak patut kita hormati. Sepanjang hal itu dimaksudkan untuk menghormati, melindungi hak-hak Subak, baik dari segi kawasan, pelaku dan aktivitasnya. Dengan Perda Subak sangat diharapkan kedepan akan terbuka dan dibukanya kembali proses-proses untuk mempelajari dan menghormati hakekat Subak yang sesungguhnya.

Rancangan Ranperda Subak Provinsi Bali Tahun 2012, perlu dikaji apakah sudah mengarah pada penghormatan dan perlindungan hak-hak Subak secara keseluruhan? Rumusan pasal demi pasal dalam Perda Subak jangan sampai “menyempitkan/mengaburkan” makna Subak yang sesungguhnya. Membaca Draf Rancangan Perda Subak nampaknya masih belum jelas apa yang mau dituju. Apakah membuat Perda Subak atau Perda Lembaga Subak atau Perda Pertanian/petani?

Dalam rancangan Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 nomor 4, disebutkan;

Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang.

Kalau yang dimaksudkan adalah Perda Subak, kami usulkan ketentuan/pengertian sebagai berikut :

  1. a.  Subak adalah; tempat berlindung bagi anggota Subak beserta seluruh keluarganya. Sesuai dengan aturan, Subak ibarat alam semesta (Makro Kosmos) dan Manusianya adalah (Mikro Kosmos). Secara keseluruhan di alam ini, Subak diibaratkan sebagai “tubuh” atau kehidupan yang lengkap, mencakup Parahyangan, Pawongan dan Palemahan (Tri Hita Karana).
  2. b.   Lembaga Subak adalah: organisasi tradisional yang memelihara dan memanfaatkan kawasan yang selaras alam utamanya dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang.

Sementara Bab II asas dan Tujuan Pasal 3 disebutkan :

Tujuan Subak adalah:

  1. a.  memelihara dan melestarikan organisasi persubakan;
  2. b.   mensejahterakan kehidupan petani;
  3. c.   mengatur pengairan dan tata tanaman;
  4. d.  melindungi dan mengayomi petani; dan
  5. e.   memelihara serta memperbaiki saluran air ke sawah.

Kami usulkan :

Tujuan Lembaga Subak adalah: menciptakan keteraturan dan kesejahteraan dalam pemanfaaatan dan pengelolaan kawasan baik dalam aspek Parayangan, Palemahan dan Pawongan, dengan segala aktivitasnya, antara lain : Memelihara dan memanfaatkan kawasan alam yang seimbang berdasarkan hakekat Sad Kertih dan Tri Hita Karana, memelihara dan melestarikan organisasi persubakan; mensejahterakan kehidupan petani; mengatur pengairan dan tata tanaman; melindungi dan mengayomi petani; memelihara serta memperbaiki saluran air ke sawah, dan Sebagainya.

Akhir kata, semoga Perda Subak Provinsi Bali bisa sebagai “pintu masuk” dalam menciptakan keteraturan dan kesejahteraan serta memperbaiki kerusakan alam Bali. Perda Subak hendaknya bisa mengembalikan “kekuasaan Subak” dan atau mendatangkan kekuasaan baru yang benar-benar meyakini dan melaksanakan spirit Subak. Hal itu  akan terjadi jika aturan dibuat tetap merujuk pada hukum alam (Rta) jagat Bali. Sekian.

 

Oleh: Made Nurbawa

Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali.

Tinggal di Tabanan