ekspor

Jakarta (Metrobali.com)-

Kinerja ekspor non-migas Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ditargetkan mencapai 300 persen dalam kurun waktu lima tahun kedepan, kendati untuk tahun 2014 ini, ekspor Indonesia malah dikoreksi menjadi 150-152 miliar dolar AS dari target awal sebesar 155-160 miliar dolar AS.

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, secara keseluruhan target ekspor Indonesia ditargetkan sebesar 190 miliar dolar Amerika Serikat, namun, dikarenakan adanya pertimbangan belum pulihnya perekonomian dunia dan turunnya harga komoditas ekspor andalan, target tersebut diturunkan 0,9 persen menjadi 184,3 miliar dolar AS.

Langkah koreksi tersebut, sebagian besar diakibatkan turunnya harga dari komoditas ekspor seperti “crude palm oil” atau minyak sawit (CPO), di mana harga pada awal tahun 2014 lalu tercatat menyentuh 928 dolar Amerika Serikat per metrik ton (MT), namun, saat ini harga komoditas tersebut mengalami terjun bebas 21,7 persen menjadi kurang lebih sebesar 726 dolar AS/MT.

Bukan hanya CPO, batu bara juga mengalami penurunan sebesar 15,4 persen dari 78,6 dolar AS/MT menjadi 66,4 dolar AS/MT, sementara karet juga mengalami penurunan yang cukup tajam mencapai 28,79 persen, dari sebelumnya 2.230 dolar AS/ton menjadi 1.588 dolar AS/ton.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, seusai melakukan serah terima jabatan pada Oktober lalu menyatakan bahwa ekspor Indonesia dalam lima tahun kedepan akan mampu dilipatgandakan paling tidak sebanyak tiga kali lipat dari kinerja ekspor non-migas saat ini.

“Saya mau ekspor naik. Mulai tahun depan, dalam waktu lima tahun akan bisa naik tiga kali lipat,” ucap Rachmat.

Menurut dia, rencana untuk meningkatkan ekspor mencapai 300 persen tersebut nantinya diharapkan mampu ditopang dari seluruh sektor yang ada di Indonesia, dan juga ditambah dengan diversifikasi pasar atau dengan memasuki pasar-pasar non-tradisional yang sudah ada.

“Kalau bisa yang menjadi andalan semua, yang harus kita dorong akan kita dorong terlebih jika ada diversifikasi pasar dan kita harus tahu pasar tersebut harus bisa disuplai dari Indonesia,” tutur Rachmat.

Rencana peningkatan tersebut bukanlah perkara mudah, terlebih kondisi pasar tujuan ekspor Indonesia masih dibayangi oleh pelemahan ekonomi dunia, yang berperan banyak dalam mendorong kinerja ekspor Indonesia.

Menengok Kinerja Ekspor Kebelakang Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu lima tahun terakhir, peningkatan ekspor paling tinggi terjadi pada tahun 2010 lalu, di mana kinerja ekspor non-migas terdongkrak mencapai 33,02 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sementara pada tahun-tahun berikutnya, kinerja ekspor Indonesia khususnya non-migas bisa dikatakan mengalami fluktuasi, di mana ada yang mengalami peningkatan maupun mengalami penurunan.

Pada 2009 lalu, secara total, nilai ekspor Indonesia secara kumulatif Januari-Desember 2009 mencapai 116,49 miliar dolar AS, dimana angka tersebut mengalami penurunan sebesar 14,98 persen jika dibandingkan dengan ekspor tahun sebelumnya.

Sementara untuk sektor non-migas sendiri juga mengalami penurunan sebesar 9,66 persen, atau hanya sebesar 97,47 miliar dolar AS.

Untuk 2010, nilai ekspor Indonesia secara kumulatif selama Januari-Desember 2010 mencapai 157,73 miliar dolar AS, atau naik 35,38 persen dibanding periode yang sama tahun 2009, sementara ekspor non-migas mencapai 129,67 miliar dolar AS atau meningkat 33,02 persen.

Di tahun 2011, nilai ekspor Indonesia secara kumulatif selama Januari-Desember 2011 mencapai 203,61 miliar dolar AS atau naik 29,05 persen jika dibanding periode yang sama tahun 2010, sementara ekspor non-migas mencapai 162,02 miliar dolar AS atau meningkat 24,88 persen.

Pada 2012, nilai ekspor Indonesia secara kumulatif selama Januari-Desember 2012 mencapai 190,0 miliar dolar AS atau turun 6,61 persen dibanding periode yang sama tahun 2011, sementara ekspor non-migas mencapai 153,07 miliar dolar AS atau turun 5,52 persen.

Sementara di 2013 lalu, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2013 mencapai 182,57 miliar dolar AS atau menurun 3,92 persen dibanding periode yang sama tahun 2012, demikian juga ekspor non-migas mencapai 149,93 miliar dolar AS atau menurun 2,03 persen.

Jika pemerintah berencana menaikkan ekspor non-migas sebesar 300 persen atau menjadi kurang lebih sebesar 456 miliar dolar AS dari sebelumnya 152 miliar dolar AS, maka rata-rata kenaikan ekspor tiap tahun harus mencapai 40 persen.

Dengan data kinerja ekspor dalam kurun lima tahun kebelakang tersebut, rencana Rachmat Gobel bisa dikatakan sangat berat, terlebih secara struktur, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas seperti sawit dan karet di mana harga dari komoditas andalan masih terus anjlok dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir.

Langkah Strategis Untuk mencapai rencana peningkatan ekspor non-migas tersebut, Kementerian Perdagangan tengah mempersiapkan langkah-langkah yang dinilai mampu meningkatkan peluang ekspor Indonesia khususnya untuk produk hasil industri dalam negeri.

Salah satu langkah yang dianggap strategis dan diambil oleh Kementerian Perdagangan adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014 pada 24 Desember 2014 lalu, tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Sebelum dikeluarkannya Permendag tersebut, pada awal tahun 2015, pemerintah berencana untuk menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk produk kayu dan furnitur dari industri kecil menengah (IKM) yang ada di Indonesia.

Pada Permendag No. 64/M-DAG/PER/10/2012 menetapkan bahwa sejak 1 Januari 2013 ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh ETPIK yang telah memiliki sertifikat legalitas kayu (S-LK) kecuali produk mebel.

Namun, rupanya rencana dari era kepemimpinan Presiden SBY tersebut, dinilai akan menjadi sebuah hambatan kinerja ekspor ditengah rencana peningkatan ekspor non-migas yang mencapai 300 persen untuk lima tahun kedepan.

Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sepakat untuk menyederhanakan proses SVLK melalui ‘deklarasi ekspor’ bagi para IKM.

Selain mengeluarkan Permendag No. 97/2014 tersebut, langkah Rachmat juga didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.95/Menhut-II/2014 pada 22 Desember 2014 tentang Perubahan atas Permen Kehutanan No. P43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hak Hutan.

“Pada Permen-LHK tersebut, persyaratan SVLK bagi IKM pemilik Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) mebel atau furnitur menjadi disederhanakan,” tutur Rachmat dalam jumpa pers, di Jakarta, Senin (29/12).

Rachmat menjelaskan, dengan adanya penyederhanaan tersebut ditujukan agar tidak memberatkan atau membebani para eksportir, namun masih tetap mendukung kelancaran ekspor produk kayu yang memenuhi persyaratan SVLK untuk bisa membantu pencapaian target penikngkatan ekspor non-migas 300 persen.

Beberapa hal yang diatur dalam Permendag No. 97/2014 tersebut adalah definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) dengan batasan nilai investasi sampai dengan Rp10 miliar.

Kemudian, IKM pemilik ETPIK yang belum memiliki S-LK dapat melakukan ekspor produk industri kehutanan dengan menggunakan Deklarasi Ekspor sebagai pengganti Dokumen V-Legal, dan setiap satu Deklarasi Ekspor hanya dapat digunakan untuk satu kali penyampaian pemberitahuan pabean ekspor.

IKM pemilik ETPIK mengirimkan Deklarasi Ekspor melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu Online (SILK Online) ke portal Indonesia National Single Window (INSW) secara elektronik, dan ketentuan mengenai Deklarasi Ekspor yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.

Dengan adanya revisi aturan dari Kementerian Perdagangan tersebut, Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) menyatakan dalam waktu lima tahun kedepan ekspor mebel akan meningkat mencapai lima miliar dolar AS.

Jika dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia, ekspor mebel Indonesia masih jauh berada di bawahnya. Ekspor Vietnam saja, saat ini sudah mencapai 5,2 miliar dolar AS, sementara Indonesia baru 1,9 miliar dolar AS.

Selain dengan melancarkan jalan untuk ekspor mebel tersebut, Kementerian Perdagangan juga menyiapkan strategi lain seperti mencari peluang dari negara tujuan ekspor non-tradisional, dan juga memaksimalkan pasar-pasar yang sudah terbuka.

Selain itu, juga memberdayakan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) untuk semakin gencar mempromosikan produk buatan dalam negeri yang tersebar di berbagai penjuru dunia demi mencapai mimpi peningkatan ekspor hingga 300 persen dalam lima tahun kedepan. AN-MB