Denpasar (Metrobali.com)-

Untuk Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, nama-nama yang muncul sebagai calon presiden (Capres) kemungkinan besar masih wajah-wajah lama. Seperti Megawati Soekarno Putri, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, dan H Wiranto.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan kerinduan masyarakat umumnya yang menghendaki munculnya calon-calon alternatif di luar nama-nama yang ada. Guna membedah hal ini, Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB) bekerja sama dengan Pusat Studi Nasional (PSN) dan Seven Strategic Studies (S3) menggelar Forum Diskusi Terfokus (FGD) di Warung Bendega, Denpasar, Minggu (26/8).

Dalam diskusi, yang difasilitasi Ngurah Karyadi ini terungkap bahwa kerinduan masyarakat akan munculnya calon presiden alternatif pada Pilpres 2014 masih sulit diwujudkan. Salah satunya karena sistem pemilihan yang dikonstruksi regulasi yang ada saat ini. Salah satunya, yang bisa mengusung calon hanyalah partai politik atau gabungan partai politik.

“Dengan sistem yang ada saat ini, sangat sulit untuk menghadirkan calon pemimpin di luar yang diusung partai politik. Karena sistem yang diatur regulasi memang seperti itu,” ujar aktivis Bali Setaman, Rai Misno, yang juga ketua KPU Denpasar, saat memberi pandangan dalam FGD dengan tema ‘Kepemimpinan Nasional Baru Menggagas Capres Alternatif 2014’ ini.

Jangankan dalam memunculkan calon alternatif di luar partai, di internal partai saja cukup sulit menghadirkan calon terbaik karena rentang waktu antara Pileg dan Pilpres yang sangat mepet. “Dengan jeda waktu hanya tiga bulan setelah Pileg maka sulit bagi partai untuk menemukan nama baru yang diusung dalam Pilpres selain nama-nama yang ada,” tandasnya.

Dengan jeda waktu tiga bulan tersebut, menurut Dewa Raka Sandi, maka yang sangat mungkin adalah terjadinya koalisi pragmatis. “Sehingga Capres alternatif mesti muncul dalam tahapan verifikasi parpol. Suatu upaya membuat hasil pemilu kita menghasilkan pemimpin yang berkualitas,” ujar Raka Sandi, yang juga anggota KPU Bali.

Hal tak jauh berbeda juga disampaikan peserta diskusi lainnya, Agus Suwesnawa. Selain koalisi pragmatis, diakuinya fakta yang terjadi dalam setiap pemilihan adalah kekuatan uang yang bermain. Hal ini bahkan sudah dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga masyarakat sudah terbiasa.

“Jadi untuk melawan hal ini, tidak cukup hanya dengan protes saja. Harus ada semacam gerakan atau intervensi yang lebih dalam, untuk mengimbangi kekuatan yang dimiliki partai dalam menentukan calon pemimpin. Hanya itu yang bisa dilakukan jika mau memunculkan calon alternatif,” ucap Agus.

Sementara Gusti Putu Artha, mantan anggota KPU Pusat, mengatakan, dalam konteks hari ini memang sangat urgen memunculkan nama baru di luar nama-nama yang beredar saat ini. “Pertama, karena kegagalan pemimpin nasional saat ini,” tegasnya.

Kedua, kata dia, karena masyarakat sudah mengetahui rekam jejak masa lalu dari nama-nama yang muncul. “Dengan dua alasan ini, masyarakat akhirnya menginginkan adanya nama-nama baru sebagai alternatif,” jelas Artha.

Pandangan ini diamini Agus Edy Santoso, yang turut memberikan masukan dalam FGD. “Proses politik di negeri ini tidak lepas dari fenomena neo-liberalise. Sehingga, ketika berbicara soal kepemimpinan baru, dan sekaligus calon alternatif harus dilandasi idiologi, sebagaimana para founding father di masa perjuangan merebut tanah air”, ungkap Agus, sambil mengajak segenap peserta tergerak mendorong wacana dan praksis disemua level proses politik. NK-MB