rumput laut

Klungkung  (Metrobali.com)-

Nusa Penida, sebuah pulau tandus yang terletak di tenggara Pulau Bali itu, merupakan tempat pembuangan bagi tahanan dinasti Gelgel dari Bali pada awal abad 18.

Sebelum kekuasaan Majapahit masuk ke Pulau Bali, dinasti Gelgel–salah satu dari kerajaan di Bali–yang menaklukan Nusa Penida setelah membunuh raja terakhir (dalem nusa) Nusa Penida Dimade atau yang lebih populer dengan sebutan Ratu Gede Mecaling Mas seperti yang dikisahkan dalam Babad Blahbatuh.

Nusa Penida yang hanya dipisahkan oleh Selat Badung dengan Pulau Bali itu, tergolong landai dan berbukit tandus. Desa-desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara itu menjadi lokasi yang sangat potensial bagi pengembangan budi daya rumput laut atau penduduk setempat sering menyebutnya “emas hijau”.

Nusa Penida juga merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Klungkung, selain Nusa Lembongan dan Ceningan. Wilayah yang dihuni sekitar 46.749 jiwa atau sekitar 8.543 kepala keluarga itu lebih banyak bergerak di sektor pertanian, perikanan dan kelautan, peternakan, kerajinan tenun ikat serta rumput laut dan pariwisata.

Wilayah pantai timur Nusa Penida yang berhadapan langsung dengan Selat Lombok, merupakan lokasi yang sangat potensial bagi pengembangan budi daya rumput laut. Hampir semua warga desa yang bermukim di sepanjang pantai itu, menggantungkan hidupnya dari usaha rumput laut.

Ketika puluhan wartawan dari Bali dan Nusa Tenggara (NTB-NTT) serta rombongan dari Bank Indonesia melintas di sepanjang jalur tersebut menuju kampung tenun binaan Bank Indonesia di Desa Pejukutan pada Sabtu (6/12), pekan lalu, tampak senyum bahagia menghiasi wajah para petani yang tengah memanen, menenteng dan menjemur “emas hijau” itu di sisi kiri-kanan jalan sepanjang pesisir pantai.

Desa-desa yang menjadi pusat produksi rumput laut di Nusa Penida antara lain Desa Suana, Desa Batununggul, Desa Kutampi Kaler, Desa Ped, dan Desa Toyapakeh. Sesekali para wartawan memotret pemandangan tersebut dari dalam mobil yang ditumpangi, dan ada pula terpaksa berhenti sejenak untuk membidik suasana di sekitarnya.

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Bali, rumput laut yang dikembangkan para petani nelayan di Nusa Penida adalah rumput laut jenis “catony” dan “spinosum”. Kedua jenis rumput laut ini untuk konsumsi dunia. Rumput laut dapat dipanen antara 25-35 hari dengan total produksi antara 40-50 ton.

Nusa Penida menyumbang sekitar 65 persen rumput laut untuk seluruh hasil rumput laut di Bali. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, total produksi rumput laut Bali pada tahun 2013 sebanyak 145.597 ton, atau naik hanya 1 persen dibandingkan dengan 2012, 144.000 ton. Bali merupakan satu dari sembilan provinsi di Indonesia sebagai penghasil rumput laut.

Komoditas rumput laut menjadi bahan baku aneka produk penting seperti pangan dan kosmetik itu kemudian diekspor ke Jepang, Tiongkok, Taiwan dan Korea lewat pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Namun, persoalan yang dihadapi para petani rumput laut, kata Nyoman Sukerta, salah seorang penduduk Nusa Penida, saat pascapanen. Harga rumput laut ditentukan seenaknya oleh para tengkulak, sehingga terkadang membuat para petani menjadi tidak berdaya.

Rumput laut kering, misalnya, dijual dengan harga yang berbeda sesuai dengan jenisnya. Rumput laut jenis “spinosum” yang oleh warga setempat disebut “bulung biasa” hanya Rp5.000/kilogram, sedang rumput laut kering jenis “catony” atau setempat menyebutnya “bulung gondrong” bisa mencapai Rp15.000 per kg.

Nyoman Candra, seorang petani rumput laut secara jujur mengakui bahwa penjualan rumput laut kering sangat tergantung pada selera para tengkulak.

“Kami tidak bisa menjual langsung kepada eksportir ataupun pengolah rumput laut karena kapasitas produksi tiap petani yang terbatas, sementara eksportir butuh dalam jumlah banyak. Kami juga tidak bisa menjual melalui pemasaran bersama karena mereka tidak bergabung dalam kelompok petani,” ujarnya.

Ketua Yayasan Nusa Penida Wayan Sukadana juga mengakui bahwa persoalan terbesar yang dihadapi para petani rumput laut setempat adalah pada saat pascapanen. “Pemerintah perlu mengambil alih pemasaran agar para petani setempat benar-benar menikmati adanya emas hijau dari hasil olahannya sendiri,” katanya menambahkan.

Ia malah berharap pemerintah mengundang investor untuk membangun pabrik pengolahan rumput laut di Nusa Penida agar tidak lagi menjual ke Surabaya lewat jasa para tengkulak. “Jika sudah ada pabrik, tentu harganya lebih tinggi lagi. Dan ini, membuat para petani lebih pasti untuk meraih keuntungan,” tambahnya.

Adanya kesan “pembiaran” dari pemerintah daerah terhadap usaha “emas hijau” di pantai timur Nusa Penida mungkin karena pesatnya pengembangan sektor pariwisata di pulau tersebut. Kesan ini, seakan membuat rasa kuatir para pembudi daya “emas hijau”, karena pesatnya perkembangan pariwisata dapat menggeser usaha mereka.

Rasa kuatir tersebut cukup beralasan, karena situasi yang sama juga dialami oleh para petani rumput laut di Nusa Lembongan, akibat pesatnya pembangunan hotel, vila, atau fasilitas pariwisata lain, sehingga membuat mereka akhirnya jadi tergusur.

Nusa Penida juga memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Wilayah ini termasuk dalam segitiga terumbu karang dunia (the global coral triangle) yang saat ini menjadi prioritas dunia untuk dilestarikan. Keanekaragaman ikan karang dan biota laut lainnya mencapai sekitar 576 jenis ikan.

Perairan Nusa Penida termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Kondisi perairan Nusa Penida dipengaruhi oleh arus dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang ikut mempengaruhi sebaran plankton, kelimpahan ikan, dan struktur komunitas terumbu karang.

Berdasarkan kajian ekologi laut secara cepat yang dilakukan oleh ahli karang dunia Dr Emre Turak dari Australia pada November 2009, ditemukan sekitar 296 jenis karang di perairan Nusa Penida dengan luas hutan bakau sekitar 230 hektare. Ada sekitar 13 jenis mangrove tujuh jenis tumbuhan asosiasi di kawasan tersebut.

Hutan mangrove selain berfungsi sebagai sumber perikanan, juga sebagai ekowisata, pelindung alami pantai dan penyerap karbondioksida. Kelompok ikan yang terdapat di perairan Nusa Penida adalah ikan karang, ikan pelagis dan ikan dasar. Mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba juga kadang melintasi di perairan Nusa Penida.

Di perairan Nusa Penida, terdapat pula dua jenis penyu, yakni penyu hijau (green turtle) dan penyu sisik (hawksbill turtle), selain jenis ikan laut dalam seperti Mola-Mola (sunfish) yang muncul setiap bulan Juli sampai September setiap tahunnya.

Kekayaan hayati laut Nusa Penida telah membawa manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi Nusa Penida. Terumbu karang (coral reef), hutan bakau (mangrove), ikan pari manta (manta ray), ikan mola-mola (sunfish), penyu (sea turtle), lumba-lumba (dolphin), hiu (shark) dan paus (whale) merupakan atraksi menarik bagi wisata bahari.

Nusa Penida bukan hanya dikenal karena keelokan pariwisatanya, seperti juga di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan serta Bali pada umumnya, tetapi juga rumput lautnya, sehingga para petani setempat ingin tetap menatap “emas hijau” tersebut meski kehidupan pariwisata di pulau itu terus menggeliat dan tidak terbendung lagi. AN-MB