Amitav Acharya

Jakarta (Metrobali.com)-

Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara “emerging power” yang mempunyai institusi demokrasi kuat berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus stabilitas politik, demikian kata profesor hubungan internasional dari American University, Amitav Acharya.

Acharya hadir di Jakarta pada Rabu (13/8)  untuk meluncurkan buku baru yang berjudul “Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power.” “Di antara calon negara-negara kuat baru (emerging power), Indonesia paling lemah dalam hal militer dan ekonomi. Namun negara ini justru paling dipercaya oleh komunitas internasional untuk diajak bekerja sama,” kata Acharya merujuk pada anomali realitas politik internasional Indonesia yang menjadi pertanyaan utama dalam bukunya.

Acharya berkesimpulan bahwa meskipun Indonesia tidak memiliki kekuatan ekonomi dan militer sebesar Tiongkok, Jakarta tetap menjadi rujukan penting negara-negara lain karena mempunyai “soft power” bernama demokrasi.

Faktanya pada 2013 lalu Tiongkok mencatatkan total produk domestik bruto sebesar 9,24 trilyun dolar AS atau lebih dari sepuluh kali lipat kekuatan ekonomi Indonesia. Sementara untuk belanja militer, Beijing pada tahun ini menganggarkan 132 milyar dolar AS sedangkan Jakarta hanya 8,1 milyar dolar AS.

Namun dengan demokrasi sebagai “soft power”, Indonesia menurut Acharya juga berpotensi menandingi Tiongkok karena demokrasi dapat diterjemahkan menjadi kekuatan moral besar untuk menjadi pendorong terciptanya perdamaian dan munculnya konsensus di organisasi-organisasi internasional seperti ASEAN.

Indonesia juga berhasil menjalankan demokrasi tanpa harus mengorbankan pembangunan ekonomi maupun stabilitas politik.

“Negara-negara di Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia pada umumnya tidak percaya pada demokrasi karena dinilai akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Namun Indonesia membuktikan sebaliknya dan oleh karena itulah sejumlah negara ASEAN seperti Myanmar serta Vietnam mulai membuka keran politik untuk sistem ini,” kata Acharya.

Persepsi negatif terhadap demokrasi di kawasan Asia Tenggara disebabkan karena negara-negara ASEAN banyak mencontoh praktik Indonesia pada masa Orde Baru di mana penekanan berlebihan terhadap stabilitas politik berhasil melambungkan laju pertumbuhan ekonomi meskipun mengorbankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan aspirasi masyarakat, demikian penjelasan Acharya.

Namun Indonesia pasca-reformasi berhasil menciptakan stabilitas dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai contoh, pemberontakan di Aceh dan konflik horizontal di sejumlah daerah–seperti Ambon dan Maluku–diselesaikan tanpa melibatkan militer.

Indonesia juga berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi tinggi dengan rata-rata enam persen setiap tahun.

Paradigma Konstruktivisme Acharya adalah pemikir hubungan internasional dari kalangan “konstruktivis”.

“Konstruktivme” adalah paradigma dalam studi hubungan internasional yang menekankan pentingnya identitas negara dalam konstruksi global. Paradigma ini menantang asumsi “neorealis” yang beranggapan bahwa politik luar negeri selalu merupakan refleksi atas kepentingan nasional.

Paradigma “konstruktivis”–yang dimulai oleh Alexander Wendt–berpendapat bahwa perdamaian tidak selamanya terbentuk dari perimbangan kekuatan dalam permainan “zero sum game” di mana masing-masing negara mengejar kepentingan sendiri.

Seperti ditunjukkan pada era pasca-Perang Dingin di mana kekuatan relatif terpusat pada satu negara, perdamaian justru terbentuk bukan karena perimbangan kekuatan melainkan karena sosialisasi ide-ide demokrasi dan kuatnya badan-badan internasional yang mendukung sistem itu.

Sederhananya, jika negara A menilai negara B kooperatif (demokratis), maka semakin besar kemungkinan A bekerja sama dengan B.

Itu sebabnya Acharya menilai bahwa demokrasi di Indonesia adalah modal “soft power” penting di kancah global karena politik internal yang diterapkan Jakarta akan meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional.

Kritik Namun pandangan Acharya itu tidak lepas dari kritik. Peneliti dari Pusat Strategi dan Kajian Internasional (Center for Strategic and International Studies/CSIS), Phillips Vermonte, mengatakan bahwa modal “soft power” demokrasi dari Indonesia harus diterjemahkan dalam keuntungan praktis untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia.

“Pertanyaan yang muncul setelah membaca pemikiran Acharya adalah; apakah Indonesia mendapatkan keuntungan ekonomi yang terukur dari prestis di mata internasional akibat baiknya demokrasi di negara ini?” kata Vermonte.

Vermonte menjelaskan bahwa sejauh ini pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak disebabkan secara langsung oleh kepercayaan dunia internasional terhadap demokrasi di Indonesia.

Alih-alih kepercayaan internasional, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak mendapat kontribusi dari konsumsi domestik dan ekspor bahan-bahan mentah. Sementara ekspor barang-barang dengan nilai mata rantai yang lebih tinggi– menunjukkan tingkat industrialisasi dan juga dapat digunakan sebagai kekuatan politik seperti di Tiongkok–justru defisit.

Kritik juga muncul dari kepala redaksi harian The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat.

“Saya setuju demokrasi dapat digunakan ‘soft power’. Tetapi sistem ini hanya membuat semua orang menyukai Indonesia karena tidak mempunyai sikap yang jelas” kata dia.

Dalam pengamatan Meidyatama, politik luar negeri Indonesia sejauh ini tidak mempunyai sikap yang jelas dalam sejumlah persoalan internasional– misalnya dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan–karena terlalu menekankan prinsip mediasi dan pembangunan konsensus.

Selain itu, Medyatama juga mempertanyakan keberlanjutan politik luar negeri yang aktif di masa pemerintahan baru mendatang.

Dalam bukunya, Acharya mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memanfaatkan “soft power” demokrasi dengan karakternya yang “gentle, open, and active.” “Keberhasilan politik luar negeri Indonesia sepanjang delapan tahun terakhir lebih banyak ditentukan oleh karakter pemimpin sekarang. Namun apa jadinya jika kepemimpinan telah berganti?” tanya Medyatama.

Menurut dia, pemerintahan yang baru harus menciptakan struktur politik yang menjamin keterlibatan aktif Indonesia pada level internasional tanpa bergantung pada karakter pemimpin. AN-MB