ilustrasi korupsi

Jakarta (Metrobali.com)-

Hanya menyebut tiga menteri, Andi Mallarangeng, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik, saat mereka menjabat, yang terlibat korupsi adalah terlalu sedikit untuk menggambarkan komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun terakhir ini dalam pemberantasan korupsi.

Yudhoyono yang bakal mengakhiri dua periode pemerintahannya pada tanggal 20 Oktober 2014 sejak awal memang berkomitmen memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Itu sudah terbukti, tidak hanya menimpa sejumlah menteri atau kader Partai Demokrat yang dipimpinnya atau kepala daerah dan anggota DPR RI, DPRD, atau pejabat negara lain, tetapi juga besannya, Aulia Pohan, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia.

“Berulang kali saya tegaskan, tidak ada yang kebal hukum di negeri ini, dan tidak ada tebang pilih kepada mereka yang melakukan tindak pidana korupsi,” kata Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI pada tanggal 15 Agustus 2014 dalam rangka HUT Ke-69 Proklamasi Kemerdekaan RI.

Yudhoyono menyebut selama pemerintahannya, periode 2004–2014, terdapat 277 pejabat negara, baik pusat maupun daerah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang ditangani KPK terkait dengan tindak pidana korupsi. Jumlah sebanyak itu tidak termasuk perkara yang ditangani oleh Polri dan kejaksaan.

Presiden juga telah menandatangani ratusan surat izin pemeriksaan bagi kepala daerah dan pejabat yang dicurigai melakukan kasus korupsi dan tindak pidana lainnya.

“Tanpa sedikit pun melihat apa jabatannya, apa partai politiknya, dan siapa koneksinya,” kata Kepala Negara.

Tentu saja ini merupakan prestasi luar biasa dalam pemerintahan Yudhoyono yang berani mengungkap dan menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.

“Korupsi telah kita perlakukan sebagai kejahatan luar biasa, yang penanganannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula,” kata Yudhoyono.

Penegakan hukum adalah kunci dari upaya pemberantasan korupsi yang menjadi musuh reformasi dan juga merugikan kepentingan rakyat.

Yudhoyono mengakui bahwa di satu sisi, merebaknya berbagai kasus korupsi mencerminkan gejala buruk bahwa korupsi tetap menjadi tantangan utama dalam kehidupan bernegara. Namun, di lain sisi, hal ini membuktikan bahwa hukum mampu menjerat siapa pun yang melakukan pelanggaran tanpa pandang bulu.

“Inilah yang membuat saya optimistis bahwa upaya pemberantasan korupsi jika terus dilaksanakan secara konsisten, akan dapat melahirkan pemerintahan yang jauh lebih bersih pada masa depan,” kata tokoh yang meraih segudang prestasi dan penghargaan atas pencapaian kinerjanya, termasuk “Antara Achievement Award 2013”.

Sosok Yudhoyono memang banyak mengukir prestasi, sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu 2004, presiden pertama yang dua kali terpilih oleh rakyat pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.

Kotak Pandora Namun, keberhasilan pemerintah, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen, dalam mengungkap berbagai kasus korupsi ibarat membuka kotak pandora seperti dalam mitologi Yunani.

Setelah dibuka dari kotak itu bermunculan berbagai macam kasus korupsi dan tetap tersebar di berbagai lingkup.

Satu kasus dibuka, merembet ke kasus lain yang melibatkan orang lain dalam rantai kejahatan korupsi.

Selain itu, tidak ada efek jera bagi pelaku korupsi. Ironisnya, barangkali hanya ada di Indonesia, seorang tokoh publik yang tertangkap karena kasus korupsi tetapi masih tersenyum, bahkan tertawa saat disorot berbagai media. Belum terlihat adanya kesan menyesali perbuatan dan kasus yang terungkap itu tidak menjadi pembelajaran bagi pihak lain untuk tidak melakukan hal serupa.

Yudhoyono mengakui bahwa memberantas korupsi bukan perkara mudah. Oleh karena itu, pemerintah terus mendukung dan memberikan ruang gerak yang luas bagi KPK untuk memberantas korupsi. Presiden juga memberikan apresiasi kepada KPK, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan yang telah bekerja bersama-sama melakukan penegakan hukum walaupun diakui bahwa hal ini tidak selalu mudah dilaksanakan di lapangan.

Padahal, berbagai perangkat perundang-undangan sudah cukup mengingatkan dan memberikan ancaman hukuman bagi pelaku korupsi. Akan tetapi, antara praktik korupsi dan pemberantasan korupsi seolah saling berkejaran. Berbagai pemberantasan korupsi terungkap, tetapi banyak pula praktik korupsi yang terjadi di berbagai sektor.

Sejak awal Yudhoyono memimpin negeri ini pada tahun 2004 dan mendeklarasikan dirinya berada di barisan terdepan dalam pemberantasan korupsi, telah membuat begitu banyak peraturan. Dari awal, misalnya visi pemberantasan korupsi tercermin dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. Hingga terakhir pada Inpres Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Belum lagi dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012, misalnya, menyatakan bahwa strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012–2025) adalah terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas. Adapun untuk jangka menengah (2012–2014) bervisi terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas. Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil, maupun dunia usaha.

Pakta Integritas pun telah digaungkan di mana-mana dan ditandatangani oleh setiap pejabat publik. Namun, apa yang tertera di atas kertas itu tidak sejalan dengan praktik dan pelaksanaan tugas sehari-hari.

Namun, toh, kasus korupsi masih berlangsung terus. Kian banyak deretan nama yang terjerat korupsi.

Pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi juga kerap dipersoalkan sebagai bentuk pemberantasan korupsi yang belum berjalan sungguh-sungguh. Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tanggal 7 September lalu mengemukakan bahwa setidaknya 38 terpidana korupsi selama 10 tahun pemerintahan Yudhoyono memerintah mendapat pembebasan bersyarat.

Pembebasan bersyarat itu pernah diperoleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhim Dahuri, mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi BI Aulia Pohan, mantan Gubernur Aceh Abdullah Bupteh, pengusaha Artalyta Suryani, mantan Mendagri Hari Sabarno, hakim niaga Pengadilan Jakarta Pusat nonaktif Syarifuddin, pengusaha Hartati Murdaya, mantan Gubernur Kaltim Abdul Fatah, dan mantan Dubes RI Malaysia Rusdihardjo.

Selain itu, mantan Bupati Minahasa Utara Vonnie Panambunan, mantan Wali Kota Medan Abdillah, mantan Deputi BI Maman H. Somantri, mantan Deputi BI Bun Bunan Htapea, mantan Deputi BI Aslim Tadjuddin, mantan Gubernur Riau Saleh Djasit, mantan Wali Kota Makassar Baso Amiruddin Maia, mantan anggota DPR Abdul Hadi Djamal, mantan Wakil Wali Kota Cirebon Sunaryo, mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono, mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam, pengusaha Sukotjo S. Bambang, mantan Wali Kota Madiun Djatmiko Royo Saputro, mantan Gubernur Jabar Danny Setiawan, politikus Partai Golkar Hamka Yandhu, mantan anggota DPR Udju Djuhaeri, mantan anggota DPR Endin Soefihara, Dudhie Makmun Murod, Yusuf Erwin Faisal, dan Panda Nababan.

Pembebasan bersyarat terbaru diperoleh beberapa waktu lalu untuk terpidana korupsi Hartati Murdaya, pengusaha yang juga kader Partai Demokrat. Pembebasan bersyarat itu menjadi kontroversi. Bagi ICW, pembebasan bersyarat harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti berkelakuan baik dan telah menjalani dua pertiga masa pidananya, menjadi “justice collaborator”, dan mendapat rekomendasi dari KPK.

Transparency International (TI) yang merupakan lembaga antikorupsi internasional yang berdiri sejak 1995, tiap tahun merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) juga menempatkan Indonesia pada posisi negara yang masih banyak kasus korupsi. Di antara 177 negara untuk 2013, misalnya, Indonesia berada pada peringkat 64 dengan skor 32. Meskipun posisi Indonesia itu lebih baik ketimbang pada tahun 2012 yang berada pada peringkat 60, masih menempatkan negeri ini banyak korupsinya.

Skor itu jauh berbeda dengan Singapura yang menduduki peringkat 173 dengan dengan skor indeks 86. Singapura berada di posisi lima negara paling bersih versi TI, sedangkan Malaysia menduduki peringkat 125 negara korup dengan skor 50. Atau, dengan kata lain, Malaysia berada di posisi 52 di jajaran negara paling bersih.

Menurut TI, makin kecil skor indeksnya maka tingkat korupsi di negara itu semakin tinggi. Lima negara paling korup versi TI adalah Afghanistan (skor 8), Korea Utara (8), Somalia (8), Sudan (11), dan Sudan Selatan (14), sedangkan lima negara dengan skor tinggi, artinya semakin bersih dari korupsi adalah Denmark (91), Finlandia (91), Selandia Baru (89), Swedia (89), dan Singapura (86).

Indonesia setiap 9 Desember juga memperingati Hari Antikorupsi untuk menggugah kesadaran masyarakat tidak melakukan korupsi. Akan tetapi, korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung di mana pun.

Pencegahan korupsi menjadi sangat penting untuk menumbuhkembangkan kepedulian semua pihak untuk tidak melakukan korupsi. Siapa berani mencegah korupsi, dialah pahlawan sesungguhnya bagi negeri ini karena berani menutup kotak pandora itu. AN-MB