I Gde Sudibya
Makna hari raya Tumpek Wariga / Uduh / Bubuh / Pengatag adalah sebagai ungkapan terima kasih umat manusia terhadap alam khususnya berbagai tanaman dan tumbuhan yang telah memberikan limpahan kenikmatan kehidupan. Umat Hindu di Bali sejak dulu sangat menghargai dan mencintai alam, dan kecintaan pada alam ini dituangkan dalam berbagai bentuk termasuk dalam hari raya Tumpek Wariga. Makna hari raya tumpek wariga ini sangat erat kaitannya dengan hari raya Galungan yang jatuh pada Sabtu (21/8) ini yakni 25 hari menjelang Hari Raya Galungan. Lalu, bagaimana dan apa perhatian pemerintah Bali terhadap sektor pertanian dalam arti luas?
Data statistik menunjukkan bahwa di atas 35 % penduduk Bali bekerja di sektor pertanian. Di mana sekitar  14 % sumbangannya terhadap PDB Bali. Namu hanya 2 % alokasi anggaran dari APBD untuk sektor pertanian. Data di atas self explanation, menjelaskan dalam dirinya sendiri tentang ketidakadilan di sektor pertanian.
Oleh karena itu, ditunggu kebijakan dari elite dan pemangku dan pemegang kebijakan di Bali mulai dari wali kota, Bupati dan Gubernur untuk meningkatkan porsi anggaran dalam APBD tidak sebatas 2 % apabila kita melihat peningkatan kontribusi dalam pembentukan PDB Bali di atas 14 %. Di sini diperlukan kebijakan kongkrit terukur, program aksi yang jelas,  tidak sebatas wacana, himbauan normatif, janji angin “sorga”  yang tidak pernah jadi kenyataan.
Sudah terlalu lama sektor pertanian menderita dan diperlakukan tidak adil. Tulisan Prof Windya di  atas buktinya.
Fenomena Membuka Indonesia untuk Turis Asing https://atnews.id/portal/news/6040

Pak Windya diberbagai kesempatan terus mengingatkan. Inteletual ternama negeri ini di masa lalu yang dekat juga mengingatkan dengan gigih, menyebut beberapa nama: Masri Singarimbun, Rudolf Sinaga, Mubyarto, Sritua Arief, Adi Sasono dan juga Widjojo Nitisastro.

Dalam artikel tersebut dijelaskan, data sektor pertanian di Bali: 35 % penduduk bekerja di sektor ini, 14% sumbangannya dalam PDB., alokasi anggaran dalam APBD Bali kurang dari 2%.  ( Re tulisan Prof.Windya ). Jadi realitasnya, ada rasio: 35 %: 14 % : kurang dari 2 %.

Data di atas menerangkan dengan sendirinya ( self explanation ) dari proses ketidakadilan yang dialami masyarakat petani. 35 % penduduk bekerja di sektor ini, porsi  perolehan pendapatannya hanya 14 %.
Lebih ironisnya lagi, berdasarkan data di atas, alokasi anggaran dari APBD Bali kurang dari 2 %. Untuk menjawab kondisi real keadaan pertanian dan petani di Bali  diperlukan langkah berani, radikal dan cerdas untuk melakukan koreksi.

Pemerintah daerah Bali juga bisa meniru dan menyaring kebijakan pro rakyat dari Pemkab Kulonprogo, DI.Jogjakarta yakni pemberian proteksi bagi pengusaha lokal dalam perdagangan, perlindungan bagi petani dalam stabilisasi harga pangan, pengembangan industri berbasis sumber daya lokal dan pengaturan distribusinya. Bentuk kebijakan nasionalisme yang kongkrit.
Terlebih di era musim paceklik pariwisata dewasa ini, ada kebijakan tegas untuk stabilisasi harga komoditas pangan, dan sejumlah komoditas yang mempunyai daya ungkit ( multiplier effect ) ekonomi yang tinggi, seperti: Vanili, Cengkeh, Kakao
Diperlukan upaya dan tindakan strategis dalam stabilisasi harga komoditi lainnya: kelapa, salak dan aneka buah lainnya, untuk mempertahankan daya beli petani, ( pilihan kebijakannya ada, diperlukan kecerdasan dalam perumusannya berbasis data lapangan yang akurat ). Meminjam istilah dalam manajemen Jepang Genchi Genbutsu: kebijakan berbasis data akurat di lapangan dan pengambilan solusinya yang tepat.
Pengambil kebijakan di sektor pertanian, semestinya merujuk ke peringatan para ekonom: ” devils always in details ” , “setannya” ada pada rincian detailnya. Pesan moralnya, kebijakan pertanian tidak cukup dalam lingkup makro, diperlukan rincian per komoditi, tantangan persoalan yang dihadapi dan pencarian solusinya berbasis data akurat lapangan, serta dilandasi sikap empati ke kepentingan komunitas petani.
Beberapa hal yang dikoreksi adalah dalam kebijakan fiscal, porsi anggaran kurang 2 % untuk masyarakat petani terlalu amat kecil. Alokasi anggarannya ditingkatkatkan, fokus untuk peningkatan kesempatan kerja dan produktivitas di perdesaan, terutama produktivitas kaum perempuan.
Bantuan dana untuk Desa Adat, separuhnya untuk peningkatan kesempatan kerja, produktivitas krama Bali yang miskin, rentan menjadi miskin dan kaum perempuan, terlebih-lebih mereka yang juga berperan sebagai kepala keluarga.
 Kita mesti belajar dari keberhasilan luar biasa Grameen Bank di Bangladesh, yang jadi rujukan dunia, peningkatan kesejahteraan kaum perempuan berkontribusi signifikan kepada peningkatan ekonomi masyarakat kecil.
Hari Raya Tumpek Wariga / Uduh / Bubuh / Pengatag adalah sebagai ungkapan terima kasih umat manusia terhadap alam dan lingkungan khususnya berbagai tanaman dan tumbuhan yang telah memberikan limpahan kenikmatan kehidupan perlu direfleksi kembali. Betapa luhurnya, warisan yang ditanamkan oleh leluhur kita dahulu terhadap negeri ini. Jika kita tidak ikut menyelamatkan lingkungan Bali, betapa dosanya kita kepada generasi mendatang.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ) dan Ketua FPD ( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar.