Ilustrasi-Pura Luhur Uluwatu/ist

PADA tahun politik ini ada suatu keistimewaan bagi umat Hindu Bali khususnya dan nusantara pada umumnya, di mana pada bulan Maret tahun ini, tepatnya Sabtu (17/3) merayakan hari suci keagaman secara bersama, yakni Nyepi tahun caka 1940 dan Saraswati, peringatan turunnya ilmu pengetahuan.Selain itu, juga secara berturut-turut akan merayakan serangkaian hari suci keagamaan seperti Banyu Pinaruh, Come Rebek, Sabuh Mas, dan Pagerwesi.

Tentunya, dengan bersatunya perayaan hari suci keagamaan ini dapat dimaknai sebagai upaya menguatkan nilai kebersamaan (toleransi) di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat yang menjunjung tinggi semangat pluralisme dan multikulturalisme.

Terlebih lagi, kita melihat pedoman dari bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang mempunyai pengertian berbeda-beda tetapi tetap menjadi satu. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dalam menjaga persatuan dari kebhinekaan bangsa, Dimana pedoman itu telah tercantum pada lambang Negara yang didalamnya telah terangkum dasar Negara juga.

Hal ini patut ditekankan mengingat ancaman yang dihadapi sekarang bukan lagi hanya serbuan dari negara lain, tetapi ancaman baru berupa gerakan ekstremisme, radikalisme, terorisme, perdagangan manusia, kejahatan narkoba, penyelundupan senjata dan kejahatan siber.

Bahkan memasuki tahun politik ini, yang akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, yakni  27 Juni 2018 di 171 daerah, yakni 17 Provinsi, 39 Kota, 115 Kabupaten di seluruh Indonesia, Presiden Joko Widodo mengajak semua pihak untuk terus kerja bersama merawat kematangan demokrasi Indonesia, demi tewujudnya Indonesia Raya. Apalagi Bali juga menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati.

Maka itulah, melalui “Catur Berata Penyepian”, yaitu melaksanakan “amati geni” (tidak ada nyala api atau yang menimbulkan cahaya), “amati karya” (tidak bekerja atau istirahat dan menenangkan diri), “amati lelungaan” (tidak keluar rumah), dan “amati lelanguan” (tidak menikmati hiburan, tontonan juga tidak boleh ada kebisingan apalagi keributan) umat Hindu khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya dapat lebih mawas diri (introspeksi) dalam menghadapi tahun politik ini.

Dengan kata lain, mampu mengalahkan enam musuh dalam diri, yakni sad ripu, seperti hawa nafsu, kelobaan, kemarahan, kebingungan, kemabukan dan sifat iri hati. Termasuk juga “Sapta Timira”, yaitu tujuh kegelapan diri atau kemabukan karena ketampanan/kecantikan, kekayaan, kepandaian, kebangsawanan, keremajaan, keberanian, dan kemenangan.

Intinya, perpaduan kedua hari suci keagamaan ini diharapkan bisa membuat diri seseorang itu bertambah spiritualnya, kebijaksanaannya, moralitasnya, dan aura positifnya. Sekaligus membersihkan seluruh aura-aura negatif serta pikiran negatif dalam dirinya, serta memunculkan benih-benih kebaikan dan kedamaian di masa mendatang agar lebih yakin, tulus, dan ikhlasdalam menjalani kehidupan ini.

Sementara itu, terkait teknis pelaksanaan dari perayaan hari suci keagamaan Nyepi dan Saraswati tersebut, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali melalui pesamuan (rapat) telah memutuskan bahwa perayaan Hari raya Saraswati tetap akan dilaksanakan pada hari yang sama, Saniscara Umanis Watugunung. Namun, pelaksanaannya dimajukan, bisa dimulai dari pukul 03.00 Wita hingga pukul 06.00 Wita. Setelah itu umat bisa dengan tenang memulai perayaan Nyepi hingga pukul 06.00 Wita keesokan harinya.

Sedangkan, Banyu Pinaruh (rangkaian Saraswati) yang biasanya umat melukat ke sumber mata air atau pantai pukul 04.00 sampai 06.00 Wita, diundur menjadi setelah pukul 06.00 Wita atau setelah kulkul dibunyikan tanda Nyepi telah berakhir.

Seperti biasanya menjelang perayaan Nyepi dilakukan upacara ritual melastike segara (laut). Hal ini tentunya sebagai upaya untuk melebur atau menyucikan sifat buruk dalam diri agar selalu hidup rukun dan damai. Selain itu, juga digelar Upacara Tawur Agung Kesanga saat Tilem Kesanga berupa “Nyomia Bhuta Kala”, yaitu semua wujud dan kekuatan “bhuta kala” sampai pada tingkatan “Panca Maha Bhuta”, yang terdiri atas “apah” (unsur air yang berupa benda cair), “teja” (unsur cahaya, termasuk api), “bayu” (unsur udara, seperti angin), “akasa” (unsur langit, kekosongan), “pertiwi” (unsur tanah dan benda padat). Bertujuan untuk kerahayuan dan kesejahteraan jagat semua mahluk hidup, termasuk untuk semua umat manusia.

Dengan demikian, perayaan hari raya Nyepi merupakan tonggak pentinguntuk penghormatan terhadap alam semesta, dengan menjaga dan memeliharanya. Dalam artian, pada saat perayaan Nyepi alam bisa bernafas lega, tanpa adanya gangguan,kegaduhan, dan polusi serta menjadi tenang dan bahagia.

Menariknya, keistimewaan perayaan hari suci keagamaan, Saraswati dan Nyepi tahun ini sempat diwarnai folemik adanya usulan pemblokiran/pemutusan jaringan internet di Bali selama perayaan Nyepi berlangsung. Hal ini sesungguhnya adalah awal dari proses politik mawas diri itu sendiri. Di mana setiap individu dituntut harus mampu mengendalikan kekuatan dari ilmu pengetahuan dalam dirinya guna membangun kerukunan dan kedamaian demi persatuan dan kesatuan kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat di masa depan dalam semangat pluralisme dan multikulturalisme.

Penulis : Bagus Wija