Oleh : I Gede Sutarya

 

Pada 14 April 2021 ini, umat Hindu di Bali merayakan Galungan. Perayaan Galungan ini disebutkan dalam lontar Sundarigama. Perayaan ini dikaitkan dengan cerita Usana Bali dan Usana Jawa, yaitu kemenangan Dewa Indra melawan penguasa Bali yang berwatak raksasa yang bernama Mayadanawa. Pada intinya, perayaan Galungan adalah perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma. Perayaan Galungan menitikberatkan kepada pemujaan Dewi Durga, dengan sarana upacara candigaan, yang berasal dari kata candika, yang artinya Durga. Pemujaan Durga ini berhubungan erat dengan Navaratri dalam khasanah Hindu, yaitu perayaan kemenangan Durga melawan raksasa Mahisasura, sehingga Durga kemudian bergelar Mahisasura Mardini, yang artinya Sang Penakluk Raksasa Mahisasura. Arca Mahisasura Mardini ini berada di Bali untuk menghormati Raja Wanita dari Bali yaitu Gunapriya Dharmapatni pada abad ke-10, yang terkenal sebagai pemuja Durga. Karena itu, perayaan Galungan di Bali diperkirakan telah berusia seribu tahun.

Dalam seribu tahun perayaan Galungan ini, pemaknaannya tentu berbeda-beda tergantung tantangan zamannya. Tetapi esensinya, musuh manusia yang abadi adalah maya (ilusi). Maya ini adalah dorongan indrya-indrya yang seakan-akan membuat manusia berbahagia, tetapi kenyataannya menjadikan manusia sebagai budak. Kegagalan manusia melawan maya terjadi karena manusia tidak bisa menjadi bijaksana. Menjadi bijaksana adalah menjadi manusia yang memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu di balik permukaan, atau yang disebut sebagai kedalaman pemahaman. Manusia kerap terjebak kepada penampakan permukaan, sehingga lupa untuk menyelaminya lebih dalam.

Bhagavad Gita menyatakan, manusia yang terjebak kepada obyek-obyek indria akan menyebabkan kekecewaan. Kekecewaan akan menghancurkan pengetahuan sejati. Kehancuran pengetahuan sejati akan menghancurkan sang diri. Karena itu, usaha manusia yang terus menerus adalah membebaskan manusia dari obyek indria-indria. Itu artinya manusia tidak bisa mempercayai matanya begitu saja. Manusia harus menyelusuri secara mendalam, untuk mengetahui esensinya, apakah itu akan membuat manusia bahagia.

Kitab-kitab Nyaya memberikan jalan untuk menganalisis tangkapan indria ini melalui Tri Pramana, yaitu agama pramana, anumana pramana dan pratyaksa pramana. Agama pramana adalah menganalisis dengan mempelajari kitab suci, yaitu mengumpulkan keterangan-keterangan tentang apa sebenarnya yang terjadi. Anumana pramana adalah menganalisis dengan membandingkan sesuatu yang dialami dengan pengalaman-pengalaman lain. Pratyaksa pramana adalah analisis dengan memperhatikan secara langsung dengan seksama. Ketiga itu harus dilakukan secara bersama-sama, dengan membandingkan kitab suci, pengalaman orang lain, dan pengalaman sendiri.

Yoga mengajarkan untuk menganalisis itu dengan melakukan berbagai latihan-latihan atau percobaan-percobaan melalui sadhana. Percobaan-percobaan ini akan mengajarkan manusia untuk menemukan hukum-hukum kebenaran, sehingga manusia mendapatkan pemahaman yang kompehensif tentang kebenaran (wibhuti). Pemahaman ini akan mengantarkan manusia dalam kebenaran itu sendiri. Pada sisi yang lain, Tantra juga mengajarkan untuk selalu mengingat setiap pengalaman yang didapat melalui praktik-praktik ritual sehingga kebenaran menjadi tradisi yang terus berlangsung.

Teknik-teknik ini harus dilakukan setiap hari untuk memahami apa yang tampak di sekitar kita, dengan pemahaman bahwa apa yang tampak belum tentu merupakan kebenaran. Shiva telah berada dalam kebenaran, sehingga selalu tenang dan damai tetapi Shiva mendorong energinya untuk terus melatih hal itu karena maya terus berubah bentuk. Kekuatan itu disebut dengan Sakti yang selalu melakukan usaha-usaha untuk memahami maya secara lebih seksama. Usaha ini digambarkan dalam purana-purana sebagai perang melawan raksasa.

Cerita ini mengajarkan kepada kita untuk selalu melatih indrya-indrya kita untuk tetap terkendali, sebab Bhagavad Gita menyatakan satu angin saja bisa menerbangkan itu semua. Karena itu, kekuatan harus tetap terbangun untuk menghadapi tantangan yang berbeda-beda, yang digambarkan sebagai wajah raksasa yang terus berubah. Wajah-wajah raksasa itu sesekali bisa berwujud dewa atau brahmana. Karena itu, manusia harus berhati-hati dengan segala perwujudan ini.

Untuk menjaga manusia dari godaan raksasa ini, manusia harus teguh dengan disiplin diri. Disiplin itu disusun dalam yama, yaitu satya (cinta kebenaran), ahimsa (menolak kekerasan), asteya (tidak menginginkan milik orang lain), brahmacari (selalu belajar), dan aparigraha (hidup sederhana). Yama ini adalah kebalikan dari kata maya, sehingga Yama adalah senjata untuk melawan Maya. Kalau orang melepaskan diri dari Yama, maka Maya akan hadir di dalam dirinya.

Melaksanakan Yama itu biasanya dimulai dengan hidup sederhana (aparigraha). Jika manusia bisa hidup sederhana, dia akan memiliki waktu yang cukup untuk belajar (brahmacari). Jika manusia terus belajar maka ia akan menemukan hakikat kehidupan, sehingga akan merasa senantiasa cukup dan tak akan menginginkan sesuatu yang esensinya sebenarnya bukan miliknya (asteya). Jika manusia sudah merasa cukup puas maka perasaan welas asih (ahimsa) akan muncul. Perasaan welas asih ini akan menuntunnya kepada kebenaran (satya). Karena itu, belajar untuk hidup sederhana adalah pangkal untuk memenangkan dharma melawan adharma.

Pada konteks kekinian, ini menjadi relevan di tengah pandemic covid 19 ini. Ekonomi sedang menghadapi masalah besar sehingga pengendalian diri sangat diperlukan. Kondisi ini juga mengajarkan kepada kita bahwa hidup berpoya-poya di masa lalu, mengakibatkan keparahan ekonomi di masa kini. Pada masa kini, kita memerlukan tabungan yang cukup untuk hidup pada ekonomi sulit ini. Tetapi jika kita menghabiskan sumber daya ekonomi kita di masa lalu, maka saat ini adalah penderitaan. Hal ini sangat tampak pada negara-negara yang masyarakatnya berpola hidup sederhana maka negaranya memiliki tabungan yang cukup untuk membangun ekonomi negaranya Kembali. China adalah contoh negara yang rakyatnya selalu berdisiplin untuk selalu hidup sederhana, sehingga kini memiliki dana yang cukup untuk membangun kembali ekonominya, bahkan memberikan pinjaman kepada negara lain.

Mulai titik perayaan kemenangan dharma ini, umat Hindu harus kembali melakukan Yama ini dengan sebaik-baiknya. Bhagavad Gita menyatakan, mereka yang bisa mengendalikan indrianya akan mendapatkan kedamaian, sebab mereka sudah merasakan kecukupan. Kedamaian ini adalah penghapus segala dukkha (penderitaan), sebab dalam kedamaian akan muncul pemahaman tentang hakikat kehidupan. Hakikat kehidupan menyatakan, dukkha adalah realitas yang selalu ada pada setiap yang hidup. Pemahaman yang benar tentang hal ini, akan mengantarkan orang kepada kebahagiaan. Gambaran ini seperti terdapatkan dalam cerita Yudistira memasuki neraka, di mana neraka ini secepatnya berubah menjadi sorga sebab Yudistira telah memiliki pemahaman yang cukup tentang sukha dan dukha.

(I Gede Sutarya, Dosen UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Wakil Dekan I Fakultas Dharma Duta).