Foto: Togar Situmorang, S.H., M.H., M.AP., advokat senior yang dijuluki Panglima Hukum.

Denpasar (Metrobali.com)-

Law Firm Togar Situmorang semakin dikenal publik. Banyak masyarakat pula yang bertanya seputar permasalahan hukum dan ingin mendapatkan edukasi hukum dari Law Firm Togar Situmorang yang dipimpin advokat senior Togar Situmorang, S.H., M.H., M.AP., dengan jajaran tim advokat muda profesional ini.

Advokat yang dijuluki Panglima Hukum ini belakangan mendapat banyak pertanyaan masyarakat terkait hakim di Indonesia. Misalnya saja, masyarakat bingung dan penasaran, apakah hakim di Indonesia ada spesialisasinya atau tidak sama sekali.

Terhadap pertanyaan ini, Togar Situmorang yang juga pengamat kebijakan publik ini menjelaskan, mengingat masyarakat sudah melihat dengan mata telanjang hal ini, maka pada dasarnya hakim tidak ada spesialisasinya, seperti halnya di kepolisian, kejaksaan serta pengacara yang memiliki spesialisasi.

“Dan yang akan menjadi pertanyaan, apakah produk atau putusan yang dihasilkan oleh hakim tersebut objektif atau tidak?” kata Togar Situmorang di Denpasar, Selasa (21/4/2020).

Advokat yang menerima penghargaan Indonesia Most Leading Award 2019 dan terpilih sebagai The Most Leading Lawyer In Satafactory Performance Of The Year ini menjelaskan secara formal hakim memegang posisi yang sentral dalam dunia peradilan.

Di tangannya, nasib baik atau buruk mereka yang didakwa akan ditentukan. Hakim bahkan menjadi satu-satunya profesi di dunia yang mendapat sebutan ‘Wakil Tuhan’ atau ’Yang Mulia’. Dalam bahasa akademik sering disebut sebagai officium nobile (profesi luhur).

Di sisi lain, lanjut advokat yang juga Dewan Pakar Forum Bela Negara Provinsi Bali ini, hakim juga manusia biasa. Ia bukanlah sebuah entitas yang tunggal, steril dan mekanis. Bukan juga manusia yang bebas nilai dan terhindar dari segala yang bersifat manusiawi.

Sebagai manusia, hakim tidak lepas dari asal-usul sosialnya, pendidikan, gender, psikologi, agama, status dan kelas sosialnya, tradisi, atau ideologi keilmuannya.

“Menyadari bahwa hakim adalah juga manusia, mendorong kita untuk melihatnya dalam kualitas kemanusiannya secara penuh, juga harus dilihat dalam ketelanjangannya yang tuntas,” ujar advokat yang terdaftar di dalam penghargaan 100 Advokat Hebat versi majalah Property&Bank dan penghargaan Indonesia 50 Best Lawyer Award 2019 ini.

Advokat kondang yang dikenal dermawan dan bersahaja ini lalu mengambil contoh hakim pidana dengan hakim perdata. Sebagaimana diketahui, dalam proses penyelesaian perkara pidana, putusan hakim selalu didasari pada surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa.

“Selain itu, putusan hakim juga tidak boleh terlepas dari fakta persidangan atau proses pembuktian selama masa persidangan,” ujar Togar Situmorang menjadi donatur tetap membantu kebutuhan sembako anak-anak di Ashram Gandhi Puri Sevagram, Klungkung dan juga mengangkat satu anak asuh dari Ashram untuk dibantu biaya kuliah di tengah derita virus Corona ini.

“Peran hakim dalam mengadili suatu perkara pidana sangat penting ketika putusan atau vonis telah dibuat atau dibacakan. Putusan hakim sangat menentukan nilai suatu kebenaran dan menentukan salah atau tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,” imbuh advokat yang dikenal punya komitmen “Melayani Bukan Dilayani” ini.

Togar Situmorang  yang juga Ketua Hukum dari RS dr Moedjito Dwidjosiswojo Jombang, Jawa Timur ini menguraikan, Pasal 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

Kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang perkara pidana.

“Hakim sebagai orang yang menegakkan hukum demi keadilan ketika hendak menjatuhkan putusan, tetap berlandaskan pada aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan alat bukti yang sah serta para saksi yang telah disumpah di depan persidangan,” papar Togar Situmorang.

Dikatakan, keyakinan hakim dalam hukum pidana menjadi suatu prasyarat yang harus ada bagi proses lahirnya suatu putusan (vonis). Hakim tidak boleh memutus suatu perkara dengan semata-mata menyandarkan diri pada fakta atau keadaan objektif yang terjadi pada suatu kasus.

“Oleh sebab itu, hakim dalam kasus pidana harus betul-betul aktif dan harus menggunakan keyakinannya terhadap berbagai fakta dan keadaan objektif bahwa terdakwa memang bersalah,” kata advokat yang telah membuka kantor hukum cabang Jakarta di Gedung Piccadilly, Room 1003-1004, Jalan Kemang Selatan Nomor 99, Jakarta Selatan, itu.

“Juga ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu dapat ditemukan di dalam ‘pertimbangan hukum’ yang digunakan oleh hakim dalam putusannya,” sambung advokat yang juga Ketua Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (Pengkot POSSI) Kota Denpasar ini.

Beda halnya seperti hakim perdata, demikian Togar Situmorang, di mana keberadaan hakim pasif dan aktif tidak cukup esensial. “Pertanyaan mengenai asas mana yang berlaku saat ini atau asas mana yang lebih penting dalam hukum acara perdata tidak lagi menjadi persoalan. Secara normatif dan empiris, kedua asas tersebut sama-sama diterapkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan,” urai Togar Situmorang.

Meskipun demikian, kata pengacara kondang yang kisah hidupnya diabadikan dalam video mini series biografi ini, bukan berarti hubungan antara asas tersebut komplementer. Keduanya sama-sama fundamental karena memiliki fungsi masing-masing.

Fungsi yang berbeda ini muncul karena hukum perdata sebagai hukum privat mengatur kepentingan antar individu mempunyai batasan yang sifatnya perseorangan. Persoalan ini muncul ketika pihak yang merasa dirugikan ingin kepentingan dan hak hukumnya terjamin.

Perkembangan hukum yang pesat, lanjutnya, menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi hakim. Oleh karena itu, Togar Situmorang setuju dengan usulan jika hakim di tingkat pertama dalam menangani perkara dibagi sesuai spesialisasi.

“Hal ini seperti pembagian kamar di Mahkamah Agung,” tegas advokat yang lebih memilih berbagi dengan anak yatim piatu dalam menyambut Natal dan Tahun Baru 2020 daripada pamer berlian, mobil dan mewah maupun cewek seksi.

Ia mencontohkan Pengadilan Negeri Denpasar, di mana kasus yang ditangani ada banyak. Di sisi lain, hakim jumlahnya terbatas. Hakimnya juga diharuskan mengadili perkara pidana, perdata, tindak pidana korupsi, hubungan industrial, dan lainnya.

“Jika selalu berubah-ubah, hasilnya tidak akan maksimal, serta waktu sidang molor, sebab mindset tiap peradilan itu berbeda. Jika tiap hakim sudah ada spesialisasi, secara keilmuan juga akan lebih matang, dan putusan juga akan lebih berkualitas,” ungkap Togar Situmorang.

Seorang hakim, imbuhnya, dituntut untuk membuat putusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya di masyarakat. Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu.

“Akan tetapi, tentu ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak,” advokat yang baru saja memberikan bantuan 100 paket sembako kepada warga terdampak Covid-19 di Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.

“Indikator itu dapat ditemukan di dalam ‘pertimbangan hukum’ yang digunakan oleh hakim dalam putusannya,” tutup Togar Situmorang, Founder dan CEO Firma Hukum di Law Firm Togar Situmorang yang beralamat di Jalan Tukad Citarum Nomor 5A Renon, Denpasar (pusat), dan Cabang Denpasar di Jalan Gatot Subroto Timur Nomor 22 Kesiman, Denpasar serta Cabang Jakarta di Gedung Piccadilly Room 1003-1004, Jalan Kemang Selatan Raya Nomor 99, Jakarta Selatan, ini. (phm)