Dewa Putu Susila, Ketua KPI Bali.

Denpasar (Metrobali.com)-

Para pelaut atau ABK (Anak Buah Kapal) di kapal ikan tengah menghadapi kondisi yang dilematis. Pasalnya, muncul aturan pemerintah yang mewajibkan pelaut di kapal niaga dan juga kapal ikan agar juga memiliki sertifkat BST (Basic Safety Training) dan buku pelaut (Seaman Book).

Salah satu persyaratan untuk mengikuti BST adalah pelaut minimal berpendidikan SMP. Celaknya, sebagian besar pelaut atau ABK di kapal ikan di Bali seperti di Pelabuhan Benoa hanya berbekal ijazah SD. Akibatnya, jika peraturan pemerintah tersebut diterapkan secara baku dan tanpa pandang bulu, maka puluhan ribu ABK kapal ikan di Bali yang masih hanya berijazah SD dan sudah bertahun-tahun bekerja terancam kehilangan mata pencahariannya.

Kondisi itu pun mengundang keprihatinan Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Provinsi Bali Dewa Putu Susila. “ABK atau pelaut di kapal ikan tentu dirugikan jika kebijakan itu diterapkan secara tegas. Mayoritas mereka hanya tamatan SD. Sedangkan untuk bisa ikut BST syarat pendidikan minimal adalah SMP. Ini dilematis,” kata Dewa Susila di Kantor KPI Bali di Istana Taman Jepun, Denpasar, Rabu (10/1/2018).

Ia menjelaskan, aturan pemerintah yang mewajibkan pelaut atau ABK di kapal ikan juga harus mengantongi BST dan buku pelaut, esensinya cukup bagus agar pemerintah dapat melakukan pendataan dan penertiban serta peningkatkan perlindungan pada pelaut.

Namun permasalahan muncul sebab kondisi riil, misalnya pelaut di Pelabuhan Benoa yang sudah bertahun-tahun bekerja di kapal ikan, mayoritas tingkat pendidikannya masih rendah, hanya tamatan SD. Tentu syarat minimal tamat SMP untuk bisa mengikuti BST tersebut dirasakan cukup berat bagi pelaut yang sudah lama bekerja. Jika mereka kembali bersekolah untuk mengantongi ijazah SMP, tentu hal itu hanya membuang waktu dan akan menggangu rutinitas mereka di kapal ikan. Terlebih lagi, kemampuan untuk menjadi pelaut tidak didapatkan melalui ijazah SMP tersebut.

“Mereka yang sudah jadi ABK di kapal ikan ada puluhan ribu. Misalnya di  ATLI (Asosiasi Tuna Longline Indonesia) Bali saja ada 12 ribu ABK dan  hanya 20 persen yang punya pendidikan di atas SMP. Itu salah satu kendala jika kebijakan pemerintah itu diterapkan dengan baku,” kata Dewa Susila yang bertahun-tahun berupaya memperjuangkan kesejahteraan pelaut.

Ia mengharapkan ada win-win solution dari pemerintah atas kondisi dilematis ini. Misalnya pemerintah diharapkan memberikan keringanan dengan tetap memberikan pengecualian syarat minimal pendidikan untuk mengikuti BST yang menjadi salah satu syarat memperoleh buku pelaut. Bagi pelaut yang sudah lama bekerja di kapal ikan diharapkan tetap bisa mengikuti BST walaupun pendidikannya hanya SD. Sementara bagi pelaut yang baru akan bekerja di kapal ikan, aturan syarat minimal pendidikan SMP tersebut bisa diberlakukan.

“Bagi mereka (pelaut) yang sudah pernah berlayar di kapal ikan, lebih baik dipemudah untuk dapat BST. Misalnya cukup dengan surat keterangan dari perusahaan, atau surat keanggotan KPI. Jadi pendidikan SD juga agar tetap diakomodir,” ujarnya.

Selama ini, Dewa Susila menyebutkan memang selama ini aturan terkait BST dan buku pelaut sempat disiati oleh sejumah otoritas syahbandar pelabuhan dengan mengeluarkan rekomendasi agar pelaut di kapal ikan yang belum mempunyai BST tetap bisa berlayar. Namun hal tersebut bukan solusi terbaik dan juga tidak sesuai aturan bahkan bisa berpotensi menimbulkan praktik pungutan liar (pungli).

Baginya BST dan buku pelaut untuk pelaut di kapal ikan ini memang sangat penting utamanya menyangkut keselamatan mereka. Sebab, selama ini masih banyak pelaut atau ABK yang tidak paham prosedur keselamatan di atas kapal walaupun mereka sudah bertahun-tahun berpengalaman berlayar. BST dan buku pelaut ini juga berperan untuk meningkatkan daya saing pelaut dan perusahaan tempat mereka bekerja.

“Banyak ABK yang walaupun sudah punya pengalaman melaut, tidak paham basic atau dasar keselamatan. Jadi BST ini wajib bagi pelaut. Namun memang penerapannya harus juga sesuaikan dengan kondisi lokal,” ujarnya Ketua DPC NasDem Denpasar Barat itu.

Di sisi lain, Dewa Susila juga mengapresiasi adanya surat edaran dari Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) yang intinya mempercepat jangka waktu perolehan BST bagi pelaut di kapal ikan dan kapal niaga dari 8 hari menjadi cukup 3 hari saja. Namun kebijakan tersebut diharapkan diikuti dengan pemberian keringanan dalam syarat pendidikan.

“Kami akan melobi ke Dirjen Hubla dan menyampaikan agar pelaut di kapal ikan diberi kemudahan mendapatkan BST. Bali agar dijadikan pilot project pelaksanan keringanan itu. Khususnya bisa dilakukan dulu di Pelabuhan Benoa,” pungkas Dewa Susila yang juga Sekjen Pergatsi (Persatuan Gateball Indonesia) Bali itu. WID-MB.