Denpasar (Metrobali.com)-

Meski  telah terbentuk berbagai lembaga khusus yang mengontrol kinerja lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yusidisal (KY), Komisi Kepolisian (Kompolnas), Komisi Kejaksaan. Namun tetap saja, praktek mafia hukum (Judicial Corruption) dalam dunia hukum di  Indonesia sudah seperti lingkaran setan. Jika dibiarkan, tentu akan merusak sendi-sendi sistem hukum yang mengkebiri nilai-nilai keadilan. Lantas kenapa hal itu bisa terus berlangsung?

Menurut Direktur LBH Bali, Ni Luh Gede Yastini, SH ada beberapa faktor penyebab. Pertama, lembaga-lembaga itu hanya berkedudukan di Jakarta saja. Padahal persolan pencarian keadilan terjadi di seluruh wilayah Indonesia.  “Prakteknya sudah berlangsung secara sistematik dan terorganisir. Diantara aktor pelakunya tidak bekerja sendiri-sendiri, serta terjadi disemua tingkatan lembaga penegakan hukum. “Praktek mafia hukum sangat sulit dibuktikan. Pasalnya, para oknum penegak hukum yang menjadi aktor pelakunya satu dengan yang lain saling melindungi,” ujarnya, Jumat (27/7) di Denpasar.

Selain itu, praktek  terus tumbuh subur karena adanya demand (permintaan) dari masyarakat sebagai pencari keadilan itu sendiri. Yang menciptakan pola  simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan diantara pelakunya, yakni pencari keadilan maupun penegak hukum seebagai pemberi keadilan. “Keadilan kok dijadikan seperti komoditas dagangan yang bisa diperjual-belikan (praktek transaksional). Tak heran, jika keadilan itu oleh masyarakat awam hanya berpihak kepada orang kaya dan bukan orang kecil,”ujarnya.

Kelemahan pengawasan internal dan sanksi yang tidak tegas dari institusi penegak hukum terhadap oknum aparatnya juga semakin memberi andil merajalelanya praktek mafi hukum di Indonesia. “Persoalan  gaji serta tunjangan termasuk anggaran yang kurang memadai dari aparat penegak hukum semakin membuka celah terjadinya praktek mafia hukum,” tambahnya.

Kondisi ini semakin diperparah lagi, oleh lemahnya peran partisipasi aktif dari masyarakat, seperti melaporkan tentang terjadinya praktek penyelewengan hukum oleh aparat penegak hukum yang merupakan bentuk praktek dari mafia hukum. Ini terjadi karena ketakutan dari masyarakat yang merasa tidak memperoleh perlindungan hukum, ketika bertindak sebagai pelapor.

“Mereka takut jika melaporkan aparat penegak hukum yang melakukan penyelewengan, justru akan dilaporkan balik oleh aparat penegak hukum yang dilaporkan itu sendiri,”katanya.

Padahal pemeberantasa mafia hukum sangat bergantung terhadap peran serta masyarakat. Jika tidak, niscaya hal itu mustahil terwujud.  “Jika dibiarkan terus seperti itu, bagaimana keadilan hukum bisa ditegakan dan peradilan hukum yang bersih akan terwujud.di negeri ini,”serunya.

Ia kemudian menceritakan pengalaman pelaksanaan  Posko pemantau Peradilan yang dilakukan LBH Bali bekerjasama dengan Komisi Yudisial, untuk memantau perilaku hakim “nakal”.Ternyata, sejak 2010 hingga saat ini, baru sepuluh kasus yang melapor. “Itu pun tidak semua menyangkut perilaku hakim “nakal”. Namun keputusan hakim yang sudah jelas mesti melalui jalur banding sesuai aturan hukum acara,” sebutnya.

Padahal, katanya, sosialisasi secara tak henti-henti dilakukan. Namun masyarkaat masih saja takut untuk melapor. “Untuk itu, memang diperlukan sinergi perlindunagn hukum bagi saksi dan masyarakat pelapor.  Salah satunya  perlu ada MoU antara Posko Pemantauan Peradilan dengan pihak kepolisian agar ada jaminan perlindungan saksi bagi masyarakat pelapor,”tandasnya.

Untuk itu, katanya, LBH Bali mengajak segenap komponen masyarakat terutama dari kalangan kampus yang selama ini selalu menjadi agent of change dan garda terdepan dalam perubahan sosial politik untuk bersama-sama memerangi praktek mafia hukum

Sementara  secara terpisah, praktisi hukum yang juga mantan Direktur LBH Agung Dwi Astika, SH, MH menguraikan berbagai modus operadi praktek mafia hukum.  Mulai dari tingkat kepolisian, modus yang sering digunakan oleh penyidik antara lain  dengan menghentikan proses penyidikan setelah terjadi negosiasi harga dengan tersangka, memanipulasi BAP agar dakwaan dapat meringankan tersangka dan tidak membuat SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan). “Ada juga dengan meminta biaya ‘dinas’ atau operasional biar prosesnya cepat. Bahkan tak jarang melakukan pemerasan terhadap pelaku berujung pada damai  maupun menawarkan jasa advokat tertentu,”sebutnya.

Sedangkan pada tingkat kejaksaan, lanjutnya, ialah praktek jual beli dakwaan atau tuntutan. Dan pada kasus korupsi dalam kasus korupsi, calon tersangka dipanggil ke Kejaksaan dan ditanya apakah kasusnya akan diteruskan atau tidak, kalau pada saat itu si calon tersangka bersedia membayar jumlah uang tertentu maka kasusnya tidak akan diteruskan. “ Negosiasi penahanan maupun pengaturan majelis hakim serta rekayasa sidang juga negosiasi putusan,” ujarnya menyontohkan. MT-MB