Oleh: Ngurah Karyadi

Rasionalitas modern memandang massa sebagai kekuatan anomali, irasional dan selalu menjadi pusat reproduksi bagi energi-energi desktruktif. Singkatnya, massa yang bergerak dengan melakukan tindakan kekerasan merupakan kolektivitas yang disusun berdasarkan elemen-elemen negatif. Individualitas di dalam kerumunan massa menjadi kosong, lalu kekosongan ini diisi oleh suatu energi balik untuk meretas proses individuasi itu sendiri. Pertanyaannya adalah kenapa di zaman yang semakin modern, kerumunan massa seperti ini masih menghantui kehidupan kita sehari-hari? Tidakkah dalam sistem yang semakin modern individu sudah semakin rasional? Berikut coba penulis paparkan, mencermati berbagai kekerasan massa yang kian merebak akhir-akhir ini.

Penulis meragukan thesis diatas, bila dihubungkan dengan kekerasan massa yang merebak akhir-akhir ini. Sebaliknya berpendapat bahwa dorongan merusak dan berbuat positif dalam takaran rasionalitas modern terus menjadi bagian inheren dari pendulum modernitas itu sendiri. Pada satu sisi, manusia sebagai pribadi memiliki hasrat untuk berbeda, menjadi unik. Tapi pada sisi yang lain dan pada saat yang bersamaan, individu modern juga memiliki kecenderungan untuk mencari simililaritas menjadi “yang sama” di dalam apa individu bisa memperoleh ketenangan, tidak memiliki keharusan bertanggungjawab secara individual, dan menyerahkan kedaulatan subjeknya kepada kolektivitas.  Pembahasan tentang massa yang dilakukan penulis, tentu saja tidak berangkat dari perspektif sosiologis seperti dilakukan oleh para ilmuwan sosial, melainkan dari kaca mata fenomenologi. Melalui pendekatan tersebut kita berusaha memahami (dan menjelaskan) bagaimana teror dan teroris, dan kerumunan massa, itu “membicarakan dirinya sendiri”. Adakah “rasionalitas” dibalik seluruh aksi yang mengatasnamakan teror dan kerumunan massa seperti itu? Bagi seorang pelaku teror, dan individu yang terpanggil menjadi bagian dari massa-destruktif, seluruh aksi yang mereka galang sesungguhnya memiliki makna tertentu.

Dengan kata lain, aksi teror adalah “sisi gelap” dari rasionalitas modern. Namun, sejarah modernitas (khususnya di Barat) menujukkan bahwa sisi gelap manusia ini ternyata tidak bisa dimusnahkan. Dan kenyataan seperti ini sekaligus membuktikan bahwa keyakinan rasionalitas modern yang dapat menciptakan individu “conggito ergo sum”, atau saya berpikir maka saya ‘ada’ (Cartesian) ternyata sulit dibuktikan. Dalam bayang-bayang modernitas saat ini, energi purba manusia yang agresif, memangsa antar sesama ternyata terus membayangi kehidupan kontemporer saat ini. Dalam siklus kehidupan yang terglobalisasi, sistem-sistem kemasyarakatan menjadi goyah, termasuk kemampuan rasionalitas modern itu sendiri di dalam memberikan harapan ke masa depan yang lebih baik. Dalam kondisi seperti inilah individu mudah terkoyak oleh kekuatan massa. Kekuatan ini mampu menebar harapan baru bagi individu untuk memberi rasa aman, dan kehangatan atas kokosongan jiwanya. Proses individuasi dalam konsepsi Cartesian menjadi terhenti. Sejarah “Individu” bahkan jauh lebih kompleks daripada yang pernah dibayangkan oleh Rene Descartes. Meminjam bahasa kaum psikoanalisis Freudian, impuls-impuls dari diri individu bahkan bisa mendorong manusia bertindak dalam “ketidaksadaran”, seperti seseorang yang mengidap sindroma tidur-berjalan (slept walking).

Kalau kita melihat ‘catatan harian’ Imam Hambali (Imam Samudera), misalnya, panggilan dan seruan menuju kematian seperti suatu penggambaran sadar sosok Imam yang memiliki latar belakang intelektual yang tidak bisa diremehkan. Bagaimana kita menjelaskan ini? Menurut penulis, itulah sisi gelap rasionalitas modern, yang secara kebetulan energi itu mulai dioperasionalkan oleh kelompok sejenis Imam Samudera. Bayang-bayang kekuatan seperti ini, menurut penulis akan terus menggelanyuti masyarakat modern. Jiwa manusia yang kosong akan merasa kehausan untuk mendapatkan sang juru selamat, atau ajaran baru yang memberikan harapan ‘utopia’ di masa depan.


Lalu, dalam perikehidupan yang semakin kompleks bagaimana menjembatani kelompok-kelompok yang bertabarakan dari sisi paradigma pemikiran seperti ini? Sebuah pertanyaan normatif, maka harus dijawab dengan sikap normatif pula. Dalam kaitan ini, setidaknya sampai hari ini, paradigma liberal(isme) dengan segala keterbatasannya harus dijunjung tinggi, dengan terus-menerus memberikan toleransi dan penghormatan yang tinggi atas “kebebasan individu”. Bila tidak, justru ketidakadilan ekonomi dan kecemburuan sosial seringkali menjadi pemicu paling keras bagi dorongan orang/ kelompok lari ke sisi gelap rasionalitas modern itu.

Sejarah modern sampai saat ini terus membuktikan, pengekangan dan pembungkaman terhadap libido-libido manusia sebagaimana banyak diekspresikan di zaman purba terus menjadi bagian penting yang menghantui kehidupan modern. Suatu lorong gelap yang akan semakin diminati individu dari berbagai latar belakang yang merasa modernitas saat ini hanya mengantarkan manusia kepada kehidupan yang nihilistik – paling tidak dari sisi spiritualitas. Katup pengekang inilah yang harus dibuka, sehingga tiap individu menjadi mahluk berpikir dan meng’ada’ sesuai dengan eksistensinya,