Denpasar (Metrobali.com)-

Masjid Agung Asasuttaqwa di Kampung Bugis Jalan Airport Ngurah Rai memiliki sejarah perkembangan keberadaan Islam di Pulau Bali. Uniknya, masjid agung ini juga menjadi pertanda hubungan erat Islam dan Hindu di Bali.

Masjid Agung Asasuttaqwa didirikan di atas lahan milik warga Kampung Bugis. Lahan itu sendiri merupakan ‘hadiah’ dari Puri Pemecutan atas perjuangan warga Bugis membantu Puri Pemecutan berperang melawan Kerajaan Mengwi. Di Bali, selain terkenal sebagai pelaut unggul, etnis Bugis terkenal sebagai pejuang yang tangguh.

Hadiah tanah itu sebagai bentuk terima kasih Raja Anak Agung Gede Lanang kepada warga muslim yang turut membantu Puri Pemecerutan.
Sejak itulah, hubungan Puri Pemecutan dengan warga muslim keturunan Bugis cukup harmonis dan saling toleransi sampai sekarang. Demikian juga dengan keturunan Bugis di beberapa daerah di Denpasar seperti Kepaon dan Serangan, menjalin hubungan baik dengan kerajaan.

Keharmonisan itu tercermin ketika umat Islam Kampung Bugis melaksanakan kegiatan keagamaan, selalu dihadiri pihak kerajaan Pemecutan.

Itu sebabnya Puri Pemecutan meminta bala bantuan warga Bugis dan menghadiahi tanah. Tiga bidang tanah dihadiahi kepada suku bugis. Di atas salah satu bidang tanah didirikan Masjid Agung Asasuttaqwa. Demikian dituturkan tokoh kampung Bugis yang juga Wakil Sekretaris Takmir Masjid Asasuttaqwa, H Hanafi (63).

Masjid itu juga seringkali dikunjungi oleh pejabat teras negeri ini. Tak hanya selevel menteri, hampir seluruh presiden pernah bersimpuh di masjid yang bermula dari langgar ini. “Kecuali Bung Karno saja yang tidak pernah ke sini. Selebihnya, semua pernah ke sini,” kata Hanafi saat ditemui di kediamannya, Minggu 21 Juli 2013.

Sepintas, masjid yang telah mengalami enam kali renovasi itu mirip dengan Masjid Istiqlal Jakarta. Tak heran jika banyak warga yang menjuluki masjid itu sebagai Masjid Istiqlal-nya Bali.

Awalnya, kata Hanafi, masjid ini hanya sebuah langgar atau musala ukuran 6 meter kali 6 meter. Langgar itu pertama kali didirikan ketika Jepang masih bercokol di Indonesia.

Dengan bahan bata cetakan, musala diperluas ukurannya. Seiring bertambahnya jama’ah, pada kisaran tahun 1960-an, masjid ini mengalami pemugaran menjadi seluas 20×15 meter persegi.

Nama Masjid Agung disematkan oleh Mantan Menteri Agama. Kini, setelah puluhan tahun berdiri, masyarakat luas semakain mengenal masjid ini apalagi lokasinya sangat strategis berada di jalur utama menuju atau keluar Bandara Internasional Ngurah Rai.

Bahkan Hanafi memberi kesaksian, jika masjid ini selalu didatangi Presiden dan mantan Presiden RI tatkala melakukan kunjungan ke Pulau Bali. “Kecuali Presiden Sukarno, setelah beliau Semua Presiden RI pernah melaksankaan salat di masjid Ini,” tegasnya.

Di antara presiden dan wakil presiden yang pernah bersujud di masjid ini seperti Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Jusuf Kalla hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono tercatat sudah dua kali ikut salat Jumat di masjid bersejarah ini. Demikian juga mantan Ketua MPR almarhum Taufiq Kiemas maupun para menteri semua mengenal dan pernah menginjakkan kaki bersujud di masjid tersebut.

Keberadaan masjid ini, sambung Hanafi kini tidak lagi hanya untuk tempat ibadah warga muslim namun juga telah dimaksimalkan untuk kegiatan belajar mengajar seperti pendidikan TK dan Ibtidaiyah (SD) serta kegiatan keagamaan lainnya. BOB-MB