Foto: Tampilan koleksi foto-foto situs dan ritus di pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali” yang digelar YBPJ di Denpasar Art Space (DAS), Jl. Surapati No. 7, Denpasar.

Denpasar (Metrobali.com)-

Ketua Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) I Made Bakti Wiyasa menegaskan saat ini Bali menghadapi permasalahan serius terkait kelestarian situs pura tua.

Hal ini akibat adanya pembongkaran secara masif terhadap pura-pura tua dengan maksud renovasi atau perbaikan tapi malah menghilangkan identitas pura itu sendiri.

“Saat ini Bali dalam darurat bencana heritage, bencana warisan pusaka terutama di situs pura tua,” kata Wiyasa ditemui di sela-sela penutupan pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali” yang digelar YBPJ di Denpasar Art Space (DAS), Jl. Surapati No. 7, Denpasar, Kamis (9/5/2019) malam.

Seperti disaksikan di tengah masyarakat, katanya, bahwa tiap bulan bahkan  tiap minggu Bali kehilangan situs-situs kuno, pura-pura tua. Proses pembongkaran situs pura tua ini pun berlangsung sangat cepat dan tanpa ada pertimbangan mendalam terkait akan hilangnya identitas dan nilai historis serta rusaknya tatanan peradaban Bali tua.

“Bisanya hari Jumat masyarakat berkumpul, hari Sabtu buat kesepakatan dan hari Minggu pura sudah dibongkar. Ini banyak terjadi, terutama dalam satu tahun ini walau sebenernya kejadian seperti ini sudah lama,” ungkap Wiyasa yang juga seniman, pelukis, penulis, dan kurator seni ini.

Misalnya perubahan tatanan pura  ini banyak terjadi di daerah Badung, Tabanan dan daerah lain hampir di seluruh Bali dimana tattwanya juga hilang. ” Ibaratnya pura itu kunci-kunciannya kan ada di lelengen, tembok, Kori atau candi bentar. Di situ ada ornamen atau pekarangan yang sejatinya adalah identitas pura itu,” beber Wiyasa.

Pura Jadi Ibarat Flashdisk Kosong

Ketika tatanan pura  saat dibongkar kemudian berganti dengan tatanan pura baru maka kata Wiyasa pura tersebut hanya ibarat menjadi flashdisk (ruang penyimpanan data) kosong. Dimana bentuk fisiknya pura ada, tapi “isi”, tattwa dan identitasnya hilang.

“Kita tidak bisa lagi menerka identitas pura itu apa, perangkat di dalamnya apa. Sebenarnya itu kan tercermin pada candi bentarnya dan kekarangan yang ada di tembok pura itu,”ujarnya.

Miris atas kondisi itu melalui pameran situs dan ritus ini YBPJ ingin menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian situs dan ritus kuno warisan leluhur Bali.

“Betapa berbahayanya ketika kami sudah buka ruang pameran ini tadi tidak digunakan untuk menimbulkan kesadaran menghentikan pembongkaran situs pura tua di Bali,” ujarnya.

Pihak YBPJ pun mengajak jangan sampai ada pembiaran terhadap perusakan secara terstruktur, sistematis dan masif terhadap situs dan ritus kuno ini.

“Hentikan pembongkaran situs pura tua. Gunakan bansos dengan bijak dan gunakan untuk perawatan serta pelestarian situs dan ritus,” tegas pemerhati budaya ini.

Hal tersebut menjadi vital agar akar peradaban Bali tidak tercerabut dan hilang secara perlahan akibat ulah orang Bali sendiri.  “Yang kita bisa banggakan  di Bali adalah akar peradaban atau taksinya. Kalau ini hilang apalagi yang akan kita banggakan di Bali,” imbuhnya.

“Kalau sumber taksunya kita berangus sendiri, ini adalah bentuk kegagalan orang Bali menjaga warisannya,” tandas pria yang atas perhatian dan dedikasinya di bidang seni dan budaya dianugrahi Lempad Prize Award dari Museum Nyoman Gunarsa.

Pameran Sukses Diapresiasi Ribuan Pengunjung

Sementara itu pameran situs dan ritus yang berlangsung dari tanggal 25 April 2019 dengan menampilkan lebih dari 130 foto, lukisan, dan drawing tentang situs dan ritus serta berbagai aktivitas lain seperti Kelas Budaya ini tergolong sangat sukses dengan disambut antusias dan diapresiasi total ribuan pengunjung.

Pameran ini pun menjadi tonggak sejarah baru bagi upaya menjaga taksu Bali lewat pelestarian warisan situs dan ritus peradaban Bali yang mulai terancam dan tergerus dengan adanya praktik-praktik pembongkaran pura tua secara masif di Bali.

Dalam penutupan pameran ini hadir pula Pembina YBPJ Komang Gde Subudi yang juga secara khusus tampil membacakan puisi berjudul “Situs Ritus”. Hadir juga dua tokoh pelindung YBPJ yakni AA Kusuma Wardana (Turah Kusuma Wardana) yang juga Panglingsir Puri Kesiman Denpasar  dan I Gusti Ngurah Bagus Muditha (Turah Muditha) dari Puri Pemayun Kesiman yang sangat berperan aktif memantau dan memberilan dukungan moral demi kelancaran jalannya pameran.

Kesuksesan pameran ini juga tidak lepas dari dedikasi penuh, totalitas pengabdian dari pihak panitia dan para narasumber. Dengan ikhlas mereka tidak pernah lelah melayani pengunjung termasuk dengan sukacita menjawab apapun pertanyaan yang dilontarkan pengunjung.

Para narasumber ini yakni Kadek Wahyudita, Nyoman “Sengap” Ardita, Mangku Alit Basudewa Made Bakti Wiyasa, Guru Rai Dharmadwipa, Mangku Sara Yoga Semadi, Guru Ngurah Wisnawa, dan Guru Nyoman Sudarsana serta narasumber lainnya.

Para narasumber ini juga secara rutin tiap harinya memberikan edukasi  kepada pengunjung pameran lewat Kelas Budaya bertajuk “Tatanan Rohani Bali” yang mengupas tuntas konsep tiga wilayah rohani yang menjadi dasar pemujaan di Bali.

Acara penutupan pameran ini dimeriahkan dengan penampilan dari grup lawak Clekontong Mas (Sengap, Deday Tompel, Sokir) dan penyanyi Nanoe Biroe. Tampak pengunjung juga masih antusias melihat koleksi situs ritus hingga pemeran ditutup. (wid)