Oleh: I Gde Sudibya
Netizen, sebagaimana telah banyak diulas, beberapa industri yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19 adalah penerbangan, pariwisata, perdagangan dan kemudian industri manafacture. Tekanan besar pada industri-industri ini, kemudian berdampak luas terhadap seluruh sektor perekonomian.
Perkiraan IMF, Bank Dunia, OECD. ekonomi dunia tahun ini diperkirakan negatif pada pusaran 5 – 8 %. Banyak negara memprediksikan hal yang sama, AS negatif 8 % dan juga Italia 8%, bahkan Prancis diprediksikan negatif 12,5 %. Pemerintah Indonesia pada skenario terburuk, memprediksikan pertumbuhan ekonomi negatif 0,4 %, dengan asumsi puncak pandemi bulan Mei.
Kenyataannya sampai pertengahan Juli, curve pandemi terus naik, dan belum bisa diperkirakan kapan mencapai puncak dan kemudian melandai. Karena faktor ini dan juga kekurang berhasilan PSBB di sejumlah daerah, diperkirakan pertumbuhan negatif ekonomi bisa melampaui minus 0,4 %.
Tak terkecuali. Perekonomian Bali mengalami resesi, tumbuh negatif 1, 14 % di triwulan pertama, dan negatif 6 % di triwulan kedua. Sekadar untuk perbandingan, perekonomian Singapura yang berbasis jasa: pengendalian jaringan produksi global, jasa keuangan dan non keuangan, mengalami pertumbuhan negatif 0,3 % pada kuartal pertama, dan negatif 12 ,6 %  di kuartal ke dua.
Tampaknya terdapat pola, perekonomian berbasis jasa, relatif lebih terintegrasi dengan perekonomian global, akan mengalami tekanan ekonomi lebih besar akibat pandemi. Perekonomian Bali sekarang mengalaminya.
Era adaptasi kebiasaan baru
Era ini, yang sebelumnya lebih dikenal dengan Era Kenormalan Baru, pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan 3 tahapan: mulai 9 Juli pembukaan kawasan wisata untuk wisatawan lokal, 31 Juli untuk wisatawan Nusantara dan tanggal 11 September untuk tamu manca negara.
Sebagaimana diberitakan, para pelaku usaha wisata telah  mengambil ancang-ancang untuk mempersiapkan keseluruhan protokol kesehatan yang dipersyaratkan.
 Masa paceklik pariwisata dan tantangannya
Dengan menyimak pertumbuhan negatif pariwisata Bali selama 2 triwulan di atas, realitas yang dialami Singapura yang perekonomiannya berbasis jasa dan punya banyak  pengalaman dalam merespons krisis, tekanan besar ekonomi di seluruh dunia, sehingga pariwisata Bali untuk tahun ini, diperkirakan  memasuki ” musim kering ” paceklik usaha.
Paceklik dengan indikasinya: jumlah tamu minimal dan bahkan tidak ada, volume usaha para pelaku usaha sangat kecil, tekanan keuangan berat hanya untuk sebatas bisa bertahan dan menghindari kebangkrutan.
Tantangan di masa paceklik wisata ini untuk 6 bulan ke depan, beberapa diantaranya pertama, karena setiap upaya rintisan pemulihan ekonomi mempersyaratkan efektivitas pengendalian pandemi Covid-19 – conditio sine quanon – , upaya test lebih banyak, dengan pelaporan cepat dan akurat, penelusuran/tracing lebih cepat dengan cakupan akurat, pelaksanaan protokol kesehatan lebih ketat pada wilayah-wilayah beresiko tinggi menjadi tuntutan kebutuhan yang mendesak.
Kedua, setiap stake holders mengupayakan secara optimal , sehingga jadwal Era Adaptasi Kebiasaan Baru di atas bisa tercapai.

Ketiga, denyut nadi perekonomian rakyat yang relatif tidak terhubung dengan industri pariwisata, yang ada di sektor pertanian yang angka  pengganda penciptaan kerja dan pendapatannya ( multiplier effect ) tinggi, seperti komoditi: Cengkeh, Kakao, Kelapa dan komoditas lainnya dijamin stabilitas harganya oleh pemerintah, untuk mempertahankan dan memperbaiki daya beli petani yang bersangkutan yang cukup berkontribusi menggerakkan ekonomi di masa paceklik pariwisata.
Keempat, sistem keuangan mikro yang telah banyak berkontribusi dalam penumbuhkembangan ekonomi rakyat: Koperasi, Bumdes, LPD dan juga BPR harus dijamin aman  dari risiko: sistemik, dipasok dana yang cukup, tidak saja membuat ekonomi rakyat bisa  bertahan, tetapi juga mampu bertumbuh. Dan juga mengurangi ketergantungan  masyarakat dari pelepas uang /rentenir.
Kelima, efektivitas implementasi kebijakan pemerintah tentang: jaring pengaman sosial dan sejenisnya sebagai pelaksanaan Perpu No.1/2020 dan Perpres no.72/2020, menjadi amat sangat penting untuk sedikit mengireksi daya beli masyarakat yang sedang lesu. Demikian juga kebijakan OJK dan Bank Indonesia untuk dana talangan penangguhan kredit maksimal Rp.10 milyar, sehingga mereka mampu menyiapkan diri secara finansial menyongsong era baru.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya,  ekonom, pengamat: ekonomi dan kebijakan publik.