tv

 

Denpasar (Metrobali.com)-

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali mengajak masyarakat untuk kritis mencermati promosi pengobatan alternatif di lembaga penyiaran. Promosi pengobatan alternatif juga cukup marak di berbagai media, termasuk lembaga penyiaran. Cara promosi yang dilakukan juga beragam, mulai dalam bentuk iklan, pemberitaan hingga format talkshow. Pada satu sisi, masyarakat sangat membutuhkan informasi pengobatan untuk kesembuhan. Ibarat gayung bersambut, lembaga penyiaran juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk kue iklan. Hal; tersebut tersebut disampaikan Komisioner Bidang Kelembagaan KPID Bali I Nengah Muliarta dalam keteranganya di Denpasar (31/10/2014)

Muliarta memaparkan Dalam kondisi sepinya pasar iklan di daerah, maka iklan dari jasa pengobatan alternatif menjadi salah satu sumber pemasukan utama. Bahkan beberapa lembaga penyiaran menjadikan program talkshow pengobatan alternatif sebagai sebuah program siaran unggulan. Program siaran unggulan tentu mendapatkan porsi waktu tersendiri dan tayang secara rutin. Permasalahnya kemudian sejauhmana informasi dari program unggulan pengobatan alternatif tersebut memberikan manfaat pada masyarakat.? Mengingat frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran untuk menyiarkan pengobatan alternatif adalah frekuensi publik.

Menurut Muliarta, Setiap orang dan lembaga pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk berpromosi di lembaga penyiaran. Tentunya jasa atau produk yang dipromosikan harus memenuhi legalitas. Legalitas menjadi penting sebagai tanggungjawab sosial bagi lembaga penyiaran terhadap masyarakat atas iklan atau informasi yang disampaikan. Dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, terutama pasal 36 ayat (5) poin a ditegaskan bahwa “isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong”. Pelanggaran terhadap pasal 36 ayat (5) seperti yang tertuang dalam padal 57 adalah berupa pidana penjara 5 tahun dan atau denda Rp.1 miliar untuk penyiaran radio. Sedangkan untuk penyiaran televisi pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda Rp. 10 miliar. “Sangat jelas isi siaran tidak boleh bohong, sedangkan promosi pengobatan alternative sering menjanjikan kesembuhan dan satu obat untuk berbagai penyakit” papar Muliarta.

Sesuai etika dasar periklanan, iklan harus jujur. Jujur dalam artian tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan produknya, atau tidak melebih-lebihkan. Bahasa yang digunakan dalam Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. Etika dasar yang kedua, bahasa yang digunakan dalam iklan harus sopan. Dalam kenyataanya selama ini iklan pengobatan alternatif cenderung menggunakan kata-kata yang cenderung porno. Apalagi iklan pengobatan alternatif yang berkaitan dengan keperkasaan pria. Etika dasar ketiga, isi iklan harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam artian keseluruhan isi iklan harus sesuai dengan kegunaan obat yang dipromosikan dan dapat dibuktikan kegunaanya.

Ia menjelaskan Promosi jasa pengobatan alternatif selama ini tidak saja dalam bentuk iklan, namun juga dalam bentuk dialog selama 1 jam. Jika dicermati dari segi waktu maka tidak ada iklan di lembaga penyiaran memiliki durasi satu jam, hanya program siaran yang memiliki durasi 1 jam. Melihat kondisi tersebut, maka kuat dugaan bahwa jasa pengobatan alternatif telah membeli jam siar lembaga penyiaran untuk berpromosi. Tentu sangat sulit untuk membuktikan bahwa telah terjadi jual beli jam siaran, sebelum mendapatkan bukti kuitansi pembayaran. Terkadang diakali dengan mengatakan program siaran disponsori oleh jasa pengobatan alternatif atau produk obat herbal. Namun layaknya sebuah program yang disponsori, maka lazimnya program siaran tersebut tidak menampilkan pihak sponsor secara utuh dalam satu program siaran. Sesuai aturan waktu siar lembaga penyiaran dilarang untuk dikomersialkan selain untuk iklan. Pasal 46 ayat (10) secara jelas menyebutkan “waktu siar lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapapun untuk kepentingan apapun, kecuali untuk siaran iklan. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan pidana sesuai pasal 59 Undang-Undang Penyiaran. Dalam pasal 59 Undang-Undang Penyiaran disebutkan bahwa “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 200 juta untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp. 2 miliar untuk penyiaran televisi.

Ia mengungkapkan pada kenyataanya komersialisasi waktu siar lembaga penyiaran memang telah terjadi. Komersialisasi melalui dialog satu jam merupakan pelanggaran yang harus segera ditindak. Dalam pasal 46 ayat (8) disebutkan “waktu siar iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta paling banyak 20 persen, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15 persen dari seluruh waktu siaran. Jika memakai asumsi dasar bahwa waktu siar rata-rata lembaga penyiaran di Bali adalah 18 jam maka untuk satu kali promosi jasa pengobatan alternatif dalam format dialog 1 jam telah menggunakan 5,55 persen jam siar. Jika kemudian ditambahkan dengan waktu siar iklan lainnya, bisa jadi jam siar iklan melebihi batas yang ditentukan. Belum lagi ditambahkan dengan waktu siar iklan layanan masyarakat. Berpedoman pada pasal 46 ayat (9) disebutkan bahwa “waktu siar iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya”. Pada kenyataanya sering kita temui satu lembaga siaran menayangkan 2 kali promosi jasa pengobatan alternatif dalam format dialog dalam satu hari. Tentunya akumulasi persentase waktu siar iklan akan melebihi dari ketentuan. “ ini menunjukkan bahwa telah terjadi perampasan ruang publik secara terencana dan sengaja, hanya semata-mata demi kepentingan bisnis” tegasnya

Muliarta menambahkan aturan terkait siaran kesehatan pada lembaga penyiaran juga telah dituangkan dalam peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran. Pada pasal 11 ayat (3) disebutkan program siaran yang berisi tentang kesehatan masyarakat dilarang menampilkan penyedia jasa pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki izin dari lembaga berwenang”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka lembaga penyiaran berhak menayakan izin dari jasa pelayanan kesehatan yang ingin berpromosi. Lembaga penyiaran hanya boleh menyiarkan (program atau iklan) seputar jasa pelayanan kesehatan masyarakat (pengobatan alternatif atau pengobatan modern) yang sudah melalui proses perizinan dari lembaga yang berwenang. Langkah ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada publik. Menayakan legalitas juga merupakan langkah proteksi bagi lembaga penyiaran. Sebab jika diperhatikan dalam Pasal 46 Ayat 5 UU Penyiaran menyebutkan bahwa “siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran”. Klausul pasal ini menjelaskan bahwa lembaga penyiaran mempunyai konsekuensi hukum dalam menyiarkan iklan niaga, tak terkecuali iklan pengobatan alternatif. NM-MB