Jakarta (Metrobali.com)-

Perkembangan perekonomian di Tanah Air akhir-akhir ini kurang menggembirakan yang ditandai dengan terus merosotnya indeks harga saham gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang juga terus melemah, serta melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Situasi tersebut salah satunya dipicu oleh rencana Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve untuk mengeluarkan kebijakan ‘quantitative easing’ (pelonggaran likuiditas) yang berpengaruh terhadap likuiditas global.

Selain itu, publikasi pertumbuhan ekonomi China pada kuartal pertama yang melemah di bawah ekspektasi, tidak memberikan sentimen positif bagi pasar global dan berdampak pada merosotnya bursa saham di kawasan diikuti dengan pelemahan nilai tukar.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa situasi perkembangan perekonomian yang melambat tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di kawasan regional Asia dan dunia.

“Kita lihat bersama-sama Bangkok, Manila yang dapatkan pukulan berat, dan Jakarta yang juga alami pukulan berat,” kata Presiden.

Namun, Presiden menyakini bahwa Indonesia dapat melewati situasi ini. Menurutnya, situasi perekonomian Indonesia saat ini secara umum dalam keadaan baik dan jauh lebih kuat dibandingkan dengan situasi ekonomi pada 2005 dan 2008.

Presiden menegaskan, pemerintah bersama dengan pihak-pihak terkait yaitu, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), terus berupaya untuk mengatasi dan mengelola masalah tersebut melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK ).

Kementerian Keuangan menyatakan sudah mengantisipasi dan menyiapkan beberapa langkah berupa koordinasi serta memperkuat fundamental ekonomi Indonesia. Salah satu upaya memperkuat fundamental ekonomi adalah dengan menjaga ketahanan fiskal serta menyelesaikan masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sempat mengakibatkan sentimen negatif kepada pelaku pasar.

Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan defisit anggaran yang ditetapkan dalam RAPBN-Perubahan 2013 dan disetujui oleh Badan Anggaran DPR RI yakni sebesar 2,38 persen terhadap PDB atau Rp233,7 triliun dari 2,48 persen terhadap PDB atau Rp233,7 triliun, dapat memberikan kepastian kepada kondisi perekonomian nasional secara keseluruhan.

Defisit anggaran itu sendiri terjadi karena pendapatan negara meningkat dari draf RAPBN-Perubahan awal yaitu Rp1.488,3 triliun menjadi Rp1.502 triliun dan belanja negara dari Rp1.722 triliun menjadi Rp1.726,1 triliun.

“Kalau defisit 2,38 persen, kekhawatiran untuk defisit lebih dari tiga persen tidak akan terjadi. Kita berhasil membuat defisit lebih rendah dari proposal yang diajukan pemerintah, ini tentunya sebuah sinyal bagus,” kata Chatib.

Dengan adanya kepastian terkait postur pendapatan dan defisit anggaran, maka pemerintah mendapatkan sinyal yang lebih positif terkait kenaikan harga BBM bersubsidi, yang menurut rencana dilakukan setelah pembahasan RAPBN-Perubahan berakhir pada 17 Juni 2013. Namun, untuk kepastian tanggal kenaikan harga BBM, menurut Chatib hal tersebut tergantung dari keputusan Presiden.

Untuk belanja subsidi BBM sendiri mengalami penurunan sebanyak Rp10 triliun dari draf awal sebesar Rp209,9 triliun menjadi Rp199,8 triliun, dengan volume BBM bersubsidi tidak mengalami perubahan yaitu tetap 48 juta kiloliter.

Sementara itu, pada Kamis (13/6) lalu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia akhirnya memutuskan kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,00 persen setelah sebelumnya bertahan di posisi 5,75 persen selama 16 bulan. Sebelumnya, BI juga telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga “deposit facility” atau Fasbi sebesar 25 basis poin dari 4,0 persen menjadi 4,25 persen.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan kebijakan tersebut merupakan bagian dari bauran kebijakan untuk secara “pre-emptive” merespons meningkatnya ekspektasi inflasi serta memelihara kestabilan makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

“Kami ingin menyampaikan pesan bahwa ‘market’ harus memahami, BI akan terus menjaga nilai tukar rupiah yang akan mencerminkan fundamental ekonomi,” kata Agus.

Nilai tukar rupiah sendiri pada akhir pekan bergerak menguat sebesar 10 poin terhadap dolar AS merespon langkah BI yang telah menaikan suku bunga. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat (14/6) sore bergerak menguat sebesar 10 poin menjadi Rp9.880 dibanding sebelumnya di posisi Rp9.890 per dolar AS.

Sedangkan Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (14/6) juga ditutup menguat signifikan hingga 3,32 persen menyusul respon positif kenaikan BI rate.

IHSG BEI ditutup naik 153,08 poin atau 3,32 persen ke posisi 4.760,74, sementara indeks 45 saham unggulan (LQ45) menguat 30,85 poin (4,06 persen) ke level 790,34.

BI menyatakan akan tetap melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya dan terus menjaga kecukupan likuiditas di pasar valuta asing (valas) domestik.

BI akan melanjutkan penguatan operasi moneter melalui pengayaan instrumen moneter dan pendalaman pasar uang rupiah dan valas.

Di samping itu, penguatan kebijakan makroprudensial juga dipersiapkan untuk mencegah meningkatnya risiko yang berlebihan di sektor-sektor tertentu. Koordinasi bersama pemerintah juga terus diperkuat dengan fokus pada upaya meminimalkan potensi tekanan inflasi serta memelihara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai keputusan Bank Indonesia menaikkan BI rate merupakan sinyal positif dalam perekonomian nasional sehingga akan berdampak kepada pasar modal domestik.

“Ini menunjukan BI memiliki perhatian besar untuk memperbaiki nilai tukar dan selanjutnya akan berdampak kepada pasar modal,” kata Direktur Utama BEI Ito Warsito.

Menurut Ito, saat ini pelaku pasar modal menunggu kepastian pemerintah terkait kebijakan harga BBM bersubsidi.

Ia menyebutkan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi akan berdampak positif bagi ekonomi domestik sehingga imbasnya akan dirasakan pasar modal Indonesia dalam jangka panjang.

Di lain kesempatan, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Toni Prasetiantono menilai kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan atau BI rate dari 5,75 persen menjadi 6 persen merupakan kebijakan tepat.

“Saya pikir strategi menaikkan BI rate ke 6 persen sudah benar,” kata Tony.

Menurut Tony, jika BI menaikkan suku bunga acuan terlalu besar bisa ditangkap oleh pasar sebagai sikap panik dan bisa meniupkan sentimen negatif ke pasar. Namun, BI rate 6 persen memang belum tentu cukup berhasil mendorong penguatan rupiah dan perlu dilihat terlebih dahulu respon pasar.

“Jika rupiah masih terkulai lemah dan terus tertekan, apa boleh buat, BI rate perlu dinaikkan, namun dengan spirit tetap konservatif, ke 6,25 persen,” ujarnya.

Tony juga menambahkan, kenaikan BI rate ini juga cukup diperlukan, setidaknya bisa mengurangi beban biaya intervensi.

“Ini penting, mengingat cadev kita sekarang 105 miliar dolar AS, bahkan saya duga kurang, atau sangat dekat dengan batas psikologis 100 miliar dolar AS,” ujar Tony.

Namun, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis justru mempertanyakan komitmen Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo untuk memangkas suku bunga acuan (BI rate), sebab kenyataan yang terjadi dinilai tidak sesuai janji.

“Kami mempertanyakan sikap ini, saat ‘fit and proper test’ Pak Agus pernah berjanji akan menurunkan BI rate, tetapi ini malah menaikkan,” kata Harry.

Harry menilai keputusan menaikkan BI rate akan berdampak tidak baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor riil, khususnya bagi pertumbuhan kredit perbankan.

“Padahal BI berniat akan meningkatkan rasio kredit perbankan terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Ini yang dipertanyakan, di mana komitmen Pak Agus? Belum lama menjabat sudah menaikkan BI rate,” kata Harry. Citro Atmoko/Antra/MB