PROSES kreatif inovatif dari seniman dengan tipikal plotos, Nyoman Erawan terus  bergejolak menembus peradaban globalisasi. Tentunya dengan citarasa dan mahadaya cipta seni yang unik dan menggelitik. Kini, menandai fase perkembangan terakhir dari karyanya yang telah digarap sejak tahun 2009 lalu bakal disajikan dalam pameran tunggalnya di TonyRaka Art Gallery, Ubud Gianyar.

Pameran ini mengangkat tajuk Salvation of The Soul, dan akan berlangsung selama sebulan ke depan, mulai 26 Agustus hingga 16 September mendatang. Menampilkan puluhan karya seni lukis, foto dan video perfomance art. Pameran ini dikuratori oleh Rizki Ahmad Zaelani. Menariknya, dalam pameran tunggalnya, perupa kelahiran Gianyar, 1958 ini akan meluncurkan buku pertamanya berjudul Salvation of The Soul, yang ditulis oleh I Wayan Seriyoga Parta dan Rizki Ahmad Zaelani.

Karya terkini dari perupa alumnus ISI Jogjakarta ini menghadirkan beragam gambaran wajah dan tubuh (diri) dalam goresan lukisan abstrak. Di mana sosok yang tampak ragawi mesti ada sebagai susunan dan konstruksi gagasan estetika bercorak abstrak. Sebuah langkah perkembangan artistik yang cukup berani dan relatif sangat mengejutkan. Di samping itu, efek bentuk serta permainan warna dalam karyanya termasuk sangat menonjol sebagai penegasan sang diri dari perupa Nyoman Erawan dalam menjelajahi kanvas seninya dalam tiga tahun terakhir (2009-2012).

Dalam pameran tunggalnya kali ini, Nyoman Erawan yang cukup tersohor dengan karya seni bernuansa spiritualitas tinggi ini seakan ingin merefleksikan sang jiwanya dalam proses evaluasi diri dan evaluasi kreativitas dari mahadaya cipta seni rupanya selama meragawi sebagai seniman. Eksplorasi karyanya bahkan telah menegaskan bahwa keutuhan sang jiwa dalam memahami sikap hidup bukan sekadar mengajarkan nilai ajaran agama (Hindu,-red) secara eksplanatif, tapi justru melalui upaya penggalian dan merayakan saja jiwa sebagai sikap estetik yang membumi.

Kurator Rizki mengatakan bahwa perupa Nyoman Erawan merayakan sang jiwa dengan mengeksplorasi dirinya dalam proses kreatif yang unik dan menggelitik secara sistemik dan berkelanjutan tanpa pernah mengenal lelah sambil menyelami perubahan dari peradaban globalisasi. Baginya, ragam seni rupa yang disajikan perupa yang sudah kenyang pengalaman pameran ini menunjukkan ekspresi seni sebagai tanda untuk mengingatkan betapa pentingnya kehidupan ini dimaknai dalam kedamaian dan keharmonisan di tengah kemajemukan berbangsa dan bernegara.

Menurutnya, evaluasi diri dan evaluasi kreativitas Nyoman Erawan dalam karya terakhirnya kali ini ingin mengarahkan perhatian publik untuk melihat ke dalam rentang perjalanan kekaryaannya yang cukup panjang selama tiga puluh tahun. Karya Nyoman Erawan tidak terbatas pada lukisan semata, tapi juga berbagai eksplorasi material yang diolah dalam médium instalasi, kemudian berkembang pada medium performance art dan happening art.

Pada dasarnya, diakuinya, karya kreatif, Nyoman Erawan baik ritus seni rupa, seni instalasi, seni video, maupun lukisan dapat dipahami sebagai manifestasi ekspresi emosi dan pernyataan intuisi jiwa yang didasari keterlibatan tubuh sang diri perupanya. Terutama dalam karya ritus seni rupa, ekspresi dan perfomance art tentang tubuh. Sebagai manifestasi keterlibatan diri sekaligus berlaku sebagai tanda yang mempresentasikan sikap pemuliaan nilai kebahagian hidup melalui prinsif keseimbangan. ”Karyanya menyampaikan pesan sikap, penilaian atau renungan yang sangat personal atas berbagai peristiwa kehidupan di alam dalam persepektif ke-ada-an manusia,” katanya.

Sementara itu, Nyoman Erawan mengakui dalam pameran tunggalnya kali ini ingin menyikapi beragam gejolak sosial budaya di tengah masyarakat sebagai bagian dari bahasa ungkap dari proses kreatifnya yang kritis, unik dan menggelitik. Selain itu, juga untuk menunjukkan eksistensi dan dedikasi serta loyalitas sebagai seniman dalam menggairahkan denyut nadi kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan budaya Bali. ”Tentunya dengan spirit kekuatan adiluhung ruh dan taksu seni budaya Bali yang sangat religius dan spiritual serta telah mendunia,” tegasnya.

Lebih jauh, dia menegaskan melalui pameran tunggalnya ini sekaligus menggugah semangat khalayak publik untuk semakin cinta dengan kebudayaan bangsa dan selalu menjaga sikap diri yang berjiwa besar, damai dan harmonis, dalam paradigma pemikiran kritis yang lebih bermartabat dan berkeadaban. ”Intinya, jauh dari perilaku korupsi yang menyengsarakan rakyat. Terutama bagi para kaum elite penguasa pemangku kebijakan. Dalam konteks ini pemimpin bangsa dalam berbagai aspek kehidupan,” tegasnya.

Perupa Nyentrik yang Magis

Perupa Nyoman Erawan terlahir 27 Mei 1958 di Banjar Delodtangluk, Sukawati, Gianyar Bali. Dia merupakan seniman yang tumbuh dalam keluarga dan lingkungan masyarakat yang memegang teguh adat-istihadat dan budaya tradisi yang berakar dari nilai ajaran agama Hindu di Bali. Bakat seninya tumbuh dari lingkungan Sukawati yang dikenal sebagai salah satu daerah pusat seni dan pasar seni kerajinan di Bali.

Seiring perjalanan waktu, bakat tersebut dengan sadar terus diasahnya melalui pendidikan formal, mulai dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Denpasar, dan berlanjut di jenjang perguruan tinggi, STSRI (tahun 1981-1987) sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Perkenalannya dengan kaidah-kaidah seni rupa modern dari lembaga pendidikan ISI Jogjakarta cukup memberi pengaruh besar bagi Nyoman Erawan dalam memahami seni rupa. Karyanya, pun tidak terbatas pada lukisan semata, melainkan juga berkarya dengan berbagai eksplorasi material yang diolah dalam médium instalasi, kemudian berkembang pada medium performance art dan happening art.

Perjalanan berkeseniannya termasuk relatif cukup panjang. Bahkan berbagai eksplorasi medium seni yang digelutinya telah menjadikan dirinya sebagai salah satu perupa yang memiliki posisi penting dalam sejarah perkembangan seni rupa Bali dan seni rupa Indonesia. Berbagai pernghargaan pun telah diraihnya. Di antaranya The Fist Prize dari The Phillip Morris Group of Companies Indonesia Art Award tahun 1994, dengan karyanya yang berjudul Kalpataru yang dibuat tahun 1993. Kemudian dia, juga mendapat peringkat ke-3 perupa terbaik tahun 1996, hasil jajak pendapat pengamat Seni Rupa Indonesia versi Majalah Gatra.

Di samping itu, dia juga sempat tampil menjadi wakil Indonesia untuk kompetisi di tingkat Asean, dan pernah meraih penghargaan dari Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Millenium Art, Menyongsong Millenium ke- III tahun 1999, serta penghargaan Wijaya Kesuma 2004 untuk pengabdi Seni Budaya dari pemerintah Gianyar.

Perupa Nyoman Erawan merupakan seniman yang tak pernah berhenti menyuarakan pesan terkait kekerasan yang selalu menghasilkan kehancuran dan kematian. Dalam karirnya, dia cukup populer melalui eksplorasi seputar pralaya atau penghancuran, yang sangat identik dengan nuansa magis terkait ritus sosial yang sangat kental dalam spirit religiusitas dan spiritualitas.

Karya-karyanya selalu memperlihatkan nilai kelokalan yang memberi kesempatan kepada khalayak publik, masyarakat pencinta seni budaya untuk memahami pengertian tubuh sebagai realitas diri dalam keadaan dan kaitannya pada nafas kehidupan budaya dan agama.(*)

Oleh I Nyoman Wija, SE., Ak., M.Si.*

 *) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali dan Karyasiswa Kajian Budaya Pascasajana Unud Denpasar.