Devy Kamil
Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Kamil memberikan penjelasan aktivitas Gunung Agung.

Karangasem, (Metrobali.com) – 

Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Kamil menjelaskan, saat ini sudah teridentifikasi zona hancuran di bawah perut Gunung Agung. ‎Dari hasil pengamatan, Devy menyebut PVMBG mendapati data demikian.
“Kita sudah lihat zona hancuran di bawah Gunung Agung sudah semakin banyak. Itu kita dapat dari pengukuran kecepatan rambat gelombang di bawah gunung, itu tiba-tiba menurun,” kata Devy di Pos Pemantauan Gunung Agung, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Minggu 1 Oktober 2017.
Ia mencontohkan, jika kita memukul benda keras semisal tembok, maka rambatan suaranya akan terdengar hingga jarak tertentu. Namun, jika tembok atau benda yang kita pukul sudah gembur, misalnya memukul pasir, rambatan suaranya akan tak terlalu jelas hingga ke titik tertentu. ‎”Artinya sudah ada zona hancuran. Pertanyaannya begini, dia (magma) dulu tidak punya jalan, sekarang sudah punya jalan. Misalnya sekarang sudah sampai ujungnya. Sekarang dia masih punya kekuatan tidak untuk melempar material ini untuk mencapai ke atas?” tanya Devy.
Jika masih memiliki gas magmatik yang kuat, maka Gunung Agung akan meletus. Sebaliknya, jika lubang yang saat ini mengeluarkan asap putih di kawah Gunung Agung sebagai representasi gas magmatik, maka bisa saja Gunung Agung akan kembali stabil. “‎Kalau misalnya lubang yang ada di atas itu bisa membuat gas itu terus ke luar, terus stabil, nanti kehabisan gas di bawah akan kempes kan,” katanya.
Lubang yang mengeluarkan asap solfatara di kawah Gunung Agung telah terpantau oleh PVMBG. Ketinggiannya berkisar antara 50-200 meter. Pada tanggal 26 September 2017, ketinggian asap putih itu sempat terekam setinggi 600 meter. Namun, lubang di kawah itu menurut Devy mengindikasikan dua hal. Pertama, bisa mengurangi tekanan magma di perut Gunung Agung. “Kedua, kalau misalnya kekuatannya besar sekali dan tidak tertahan, dia bisa menjadi letusan. Meski gas sudah ke luar, tapi kita tidak melihat dia ke luarnya banyak. Kalau kita lihat kan asapnya sedikit. Saya justru berharap asapnya banyak sekali supaya rilis si energi ini,” harap dia.
Namun, Devy memastikan tekanan gas magmatik di perut gunung dengan ketinggian 3.142 mdpl itu masih kuat. Indikasinya tak lain aktivitas kegempaan yang terekam saban harinya. ‎”Kalau tekanannya sudah tidak banyak, tidak mungkin lagi dia menghasilkan gempa. Tapi sekarang masih terjadi gempa. Hingga hari ini dalam 12 jam terakhir terjadi 500-an gempa. Itu artinya tekanannya masih kuat. Gempa itu terjadi karena ada kelebihan tekanan salah satunya. Artinya, energinya masih kuat,”‎ ujar dia. (Laporan Bobby Andalan)