Foto: Sejumlah warga Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar kini tinggal di rumah bedeng pasca rumah mereka dibuldoser dan mereka juga harus melawan mafia tanah yang merampas hak tanah warga.

Gianyar (Metrobali.com)-

Kasus tanah di Bali yang melibatkan mafia tanah masih saja menjadi momok bagi rakyat kecil atau wong cilik. Seperti halnya yang terjadi kepada sebanyak 68 KK dari empat banjar yang tinggal di lahan seluas 40 hektar di kawasan Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Tanah yang sudah ditempati warga secara turun temurun sejak berabad-abad ini belakangan diklaim telah disertifikatkan oleh pengempon Pura Taman Kemuda Sari Saraswati kemudian dijual kepada sejumlah investor dan perusahaan.

Cara-cara intimidasi pun dilakukan kepada warga agar mau meninggalkan tanah tempat mereka tinggal dan mencari nafkah untuk menyambung hidup. Bahkan oknum aparat pun dilibatkan pihak mafia tanah dan pengusaha untuk mengusir warga.

“Warga mendapatkan intimidasi sudah biasa. Tapi warga tetap bertahan karena mereka yakin tanah itu hak mereka dan banyak kejanggalan serta rekayasa dalam proses penerbitan sertifikat oleh yang katanya mengaku sebagai pengempon Pura Taman Kemuda Sari Saraswati,” kata penasehat hukum warga, Putu Arsana, Senin (1/7/2019) kemarin saat bertemu warga yang menjadi korban mafia tanah ini.

Mirisnya lagi upaya paksa mengusir warga dilakukan dengan cara-cara yang tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan. Pada tahun 2017 silam sebanyak 7 rumah warga yang tinggal di kawasan tanah sengketa ini dibuldoser paksa hingga rata dengan tanah.

Warga pun menjadi kehilangan satu-satunya tempat tinggal mereka. Namun mereka tetap melawan dan tidak mau pergi hingga akhirnya upaya mengusir warga secara paksa pun mereda. Namun tetap belum ada kejelasan nasib bagi warga yang juga sebagian merupakan lansia ini.

Hingga Telan Korban Jiwa

Mirisnya lagi sampai ada salah satu warga yang meninggal karena merasa terkesan dan syok rumahnya dibuldoser yakni Dewa Ketut Raka Sudarma. Kini istri almarhum yakni Desak Ketut Sukerti hanya bisa pasrah menerima nasib dan tetap bertahan tinggal di rumah bedeng bersama anak-anak dan cucunya.

“Saya sudah sempat bilang ke suami agar jangan melawan, ikhlaskan saja rumah dibuldoser. Tapi suami saya tetap melawan dan akhirnya meninggal pada September 2017. Saya sangat sedih kalau ingat kejadian saat itu,” kata Desak Ketut Sukerti tak kuasa menahan linangan air mata.

Pantauan di lokasi saat ini sejumlah warga memang masih tinggal di tanah ini. Walau rumah mereka telah hancur dan rata dengan tanah, mereka rela tinggal di rumah bedeng sederhana yang sebenarnya tidak layak huni.

Ada tatapan nanar dan raut kesedihan yang tak bisa disembunyikan dari warga. Namun mereka tampak tetap tegar menghadapi cobaan hidup dan berhadapan dengan pengusaha, investor besar, mafia tanah hingga oknum aparat maupun pejabat yang ikut dalam lingkaran setan praktik mafia tanah yang merampas hak wong cilik ini.

“Kami akan tetap tinggal disini sebab dari leluhur kami sudah  disini selama berabad-abadad-abad. Apalagi kami tidak punya tempat lain, mau kemana lagi kami,” kata Dewa Made Rai (70 tahun) salah satu warga yang rumahnya dibuldoser dan kini ia tinggal di rumah bedeng.

Warga lainnya Dewa Made Suwanda (58 tahun) mengakui kondisi saat ini masih kondusif tapi tetap warga masih was-was sebab belum ada kejelasan soal hak tanah mereka.

“Kami juga masih trauma sebab pada 2017 rumah kami dibuldoser. Kalau rumah tidak dibuldoser, kami tetap tinggal di sini,” kata salah satu warga yang juga sempat ikut mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM ini.

Penerbitan Sertifikat Penuh Rekayasa

Putu Arsana selaku pengacara warga tak menampik jika ada mafia tanah yang bermain dalam kasus sengketa lahan dengan warga yang lugu dan tidak tahu kemana harus meminta pertolongan ini.

“Ini jelas ada indikasi mafia tanah .Saya ingin bongkar dari bawah bahwa ada pemalsuan sertifikat. Faktanya pengempon pura hanya punya bukti tanah 20 are tapi kok terbit sertifikat 40 hektar,” katanya.

“Apalagi juga banyak fakta-fakta yang ditutupi. Jangan masyarakat dihadapkan untuk melawan investor,” imbuh advokat yang sudah lebih dari 12 tahun mendampingi warga Tegal Jambangan memperjuangkan keadilan dan hak mereka.

Hingga saat ini  sebanyak 68 KK dari 4 banjar yang tinggal di kawasan Tegal Jambangan ini masih menuntut kejelasan sertifikat lahan tersebut. Sebab, sejak berabad-abad warga Tegal Jambangan telah tinggal hingga beranak cucu. Warga ini pun sejak dulu rutin membayar pajak.

Arsana menceritakan kasus ini berawal dari sekitar tahun 1970an ada orang suruhan datang dengan modus ingin bantu warga yang belum sertifikatkan tanah. Sehingga warga diminta mengumpul kelengkapan, termasuk diantaranya tanda bukti pembayaran pajak.

Lalu berkas-berkas ini disetorkan di kantor Camat Ubud. Namun berselang 4 sampai 5 tahun tidak ada cerita. Ketika warga meminta berkas, dikatakan hilang.  Lalu sekitar tahun 1990-an, pembayaran pajak dari warga distop. “Tahunya keluar pembayaran pajak duwe Pura. Disini kami yakin mulai ada yang gannjil,” terang Arsana.

Selama bertahun-tahun warga hanya bisa diam, hingga dikejutkan dengan adanya informasi bahwa tanah seluas 40 hektar telah disertifikatkan sejak tahun 2000-an. “Katanya tanah ini sudah disertifikatkan dan dijual oleh pengempon pura. Ada intimidasi, warga gak tahu menahu siapa yang jual siapa yang beli,” jelas Arsana.

Barulah sekitar tahun 2008, warga mendapatkan pendampingan hukum. Berbagai upaya telah dilakukan, untuk menuntut kejelasan status tanah itu hingga juga mendatangi Komnas HAM. Namun hingga kini warga tidak mendapatkan kejelasan. (wid)