Johannes Marbun

Jakarta (Metrobali.com)-

Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) menyebutkan bahwa masih banyak situs pra-sejarah di Indonesia yang mengandung nilai peradaban tinggi namun belum diteliti.

“Selain situs Gunung Padang, banyak situs zaman pra-sejarah yang penting yang belum diteliti,” kata Koordinator Madya Johannes Marbun saat dihubungi dari Jakarta, Senin (22/9).

Ia mengatakan situs-situs penting tersebut antara lain situs Sangiran di wilayah Kabupaten Sragen dan Karanganyer Provinsi Jawa Tengah, situs Liyangan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Situs lain ada di Sumatra yakni situs megalitikum di Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan yang juga berkontribusi besar dalam sejarah dan pengetahuan.

“Termasuk situs Pegunungan Seribu di Yogyakarta di mana banyak permukiman kuno tetapi belum diteliti menyeluruh,” katanya.

Marbun menilai, kenginan untuk mencari akar sejarah dan peradaban manusia sudah menjadi fokus penelitian para arkeolog di luar negeri, sedangkan di Indonesia belum dianggap penting.

Ia mengharapkan penelitian situs Gunung Padang menjadi titik tolak untuk meneliti situs-situs penting lainnya di Tanah Air.

Meski ia menilai ekskavasi situs Gunung Padang belum mengarah pada proses kebijakan, tapi politik, namun setidaknya mampu membuat arkeologi menjadi perhatian masyarakat.

“Selama ini penelitian-penelitian arkeologi sama sekali tidak mendapat tempat, dapat dikatakan terbelakang dalam setiap proses kebijakan,” katanya.

Ia mengharapkan, setelah ekskavasi Gunung Padang, pemerintah lebih memperhatikan situs-situs penting lainnya.

Sisi positif lainnya dari ekskavasi Gunung Padang menurutnya adalah membuka mata hati para arkeolog yang selama ini belum berhasil meyakinkan pemerintah bahwa penelitian arkeologi itu sangat penting dan menjadi dasar bagi pendidikan karakter bangsa.

“Semoga mampu memicu para arkeolog untuk lebih bergiat lagi mengawal gerakan pelestarian warisan budaya, termasuk penelitian arkeologi,” katanya.

Dari sisi masyarakat kata Marbun, akan terpublikasi bahwa peradaban bangsa Indonesia besar dan masyarakat lebih memperhatikan aspek-aspek arkeologi dan budaya di sekitar lingkungan mereka.

Hanya saja perlu diperhatikan tentang sisi negatif dalam proses ekskavasi, jangan sampai mengesampingkan metodologi arkeologi.

Sebab, bila tidak melalui pendekatan arkeologi maka peneliti akan kehilangan arah dalam rekonstruksi.

Untuk pengelolaan situs tambahnya perlu dibentuk badan pengelola kawasan yang berisi unsur akademisi, peneliti, masyarakat dan pemerintah.

“Badan pengelola ini yang memastikan proses penelitian satu pintu, sehingga tidak ada penggalian-penggalian sendiri oleh berbagai pihak,” katanya. AN-MB