Oleh: I Gde Sudibya.

Dari laporan kementrian kesehatan RI, tgl.19/6, kasus positif Covid-19 di Bali pada posisi tertinggi: 81 kasus, dibandingkan sebelumnya. Posisi Bali berada pada urutan ke 5: 81 kasus, posisi nomor 1 – 4 : Sulawesi Selatan: 207 kasus, DKI.Jaya: 141 kasus, Jawa Timur: 140 kasus, Sumatera Selatan: 84 kasus. Dan Jawa Tengah berada pada posisi ke 6 setelah Bali, dengan 80 kasus.

Kalau disimak perangkingan kasus di atas dikaitkan dengan jumlah penduduk di masing-masing provinsi, dan beberapa indikator epidemiologi lainnya, kasus Bali di atas relatif sangat tinggi.
 Kalau dibandingkan dengan data kasus selama bulan Mei, dengan total: 216 kasus, dengan rata-rata kasus per hari: 6,9 kasus. Untuk bulan Juni (s/d.tgl.19), total kasus: 305, dengan rata-rata harian: 17,3 kasus. Ini berarti kenaikan kasus selama bulan Juni (19/6), di atas 100 % dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kalau disimak curve pandemi harian bulan Mei lebih fluktuatif dibandingkan curve bulan Juni, dengan trend yang keduanya naik, tetapi trend kenaikan bulan Juni lebih tajam.
Dari pemberitaan Radar Bali (20/6): 81 kasus yang terjadi, 48 kasus dari Denpasar, berasal dari transmisi lokal, oleh tracing dan testing oleh: sourvelience GTPP Covid-19 Kota Denpasar. Rincian 48 kasus kota Denpasar di atas: 32 orang yang sebelumnya OTG, 15 orang kasus positf baru dan 1 orang PDP yang dinyatakan positif.
Dari data di atas menjadi jelas, semakin tingginya risiko yang dihadapi Bali ke depan, karena sejumlah alasan: trend kasus yang meninggi, semakin banyak bersumber dari transmisi lokal, yang artinya  risiko virus sudah begitu dekat dengan kita.  Tingginya OTG menjadi positif, berarti pula semakin sulit deteksi dilakukan dan risiko penyebaran menjadi semakin tinggi. Tantangannya, dari perspektif strategi manajemen, diperlukan perumusan yang lebih rinci dan cerdas untuk tantangan ( challenges ), dan kemampuan untuk memberikan tanggapan ( responses )berupa keputusan solusi.
Tantangan bagi Tim Gugus Tugas Bali 
Tantangan terutama bagi tim penanggulangan di tingkat: Provinsi, Kabupaten, Kota,  kemudian Desa Adat dan masyarakat pada umumnya, menyebut beberapa diantaranya.
Pertama, Meminjam pendapat seorang rekan: penanggulanan pandemi harus berbasis data dan pendekatan murni ilmu pengetahuan- strickly scientific approah -, tidak dicampur adukkan dengan: permasalahan, agenda politik dan atau dipersepsikan oleh publik seperti itu. Karena risiko penanggulan kemungkinan akan gagal dan atau penanggulan akan berlangsung lebih lama dan biaya yang lebih besar.
 Ada 2 kategori biaya: biaya kesehatan, opportunity cost dari hilangnya banyak kesempatan akibat tertundanya pemulihan ekonomi. Risiko ini, dari perspektif manajemen, sebagai akibat dari: program penanggulan yang kurang fokus, alokasi dana yang prioritasnya kurang tajam, kesulitan untuk memperoleh dukungan penuh dari berbagai pihak, jika kesannya: “pandemi adalah politik”.
Kedua, Kita bersama sedang “bersabung nyawa” melawan pandemi, terutama saudara-saudara kita yang berjualan di pasar, “tukang suwun” di pasar, para juru parkir dan sejumlah profesi lainnya, karena tanpa bekerja harian, mereka tidak lagi punya penghasilan.Dan sudah tentu para petugas kesehatan, yang merupakan pahlawan kemanusiaan, kepada mereka sekarang kita sangat tergantung, di tengah-tengah keterbatasan mereka sebagai insan-insan manusia. Kepada Tim penanggulangan, sangat diharapkan mentransformasi birokrasi kerjanya, menjadi birokrasi organik yang bercirikan: mempunyai sense of crisis yang tinggi,  cepat belajar dan merespons, kecepatan dalam pengambilan keputusan, orintasi kerjanya proses dan kemudian hasil yang terukur.
Ketiga,  Catatan sejarah membuktikan: masyarakat yang cerdas merespons perubahan, terlebih-lebih krisis model pandemi Covid-19, akan relatif lebih cepat menyelesaikan krisis yang menghadangya. Dalam konteks ini, sudah semestinya masyarakat memberikan dukungan penuh kepada totalitas kerja Tim Penanggulangan, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dalam ungkapan bahasi Bali: ” sesana manut linggih”. Karena faktanya: Tim punya kemampuan sangat terbatas, dari sisi pengalaman dan sejumlah banyak keterbatasan. Amerika Serikat saja dengan sistem pelayanan kesehatan terbaik di dunia, sistem birokrasinya cukup kewalahan dalam menangani pandemi.
Kemampuan memberikan respons
Daftar prioritas untuk memberikan respons terhadap perkembangan kasus di Bali, terutama berdasarkan data perkembangan kasus bulan Mei dan Juni, dengan data “puncak” 81 kasus tgl.19/6 dari perspektif strategi manajemen.
1. Lakukan test massif dengan lingkup yang lebih luas, dengan uji petik kredibel, dan berikan prioritas ke wilayah yang secara epidemiologi berisiko lebih tinggi.
2. Berikan prioritas tertinggi untuk penyediaan dana dan peralatan untuk kegiatan butir 1, dan maksimalkan penghimpunan dana untuk tujuan yang dimaksud.
 3. Tingkatkan kualitas komunikasi ke publik melalui inovasi pelaporan yang lebih komunikatif dan pemilihan figur komunikator yang dunilai lebih trampil dan kemudian efektif.
4. Edukasi masyarakat untuk tetap tenang, tidak memberikan respons berlebih, dan tetap tertib menjalankan protokol kesehatan, karena ada kemungkinan semakin banyak test di lakukan, semakin banyak kasus ditemukan. Dan ini merupakan cara yang benar untuk menanggulangi pandemi dan memperpendek masa pandemi.
5. Berikan pemahaman yang lebih komprehensif, dengan bahasa sederhana dan saluran komunikasi yang dinilai tepat, tentang: pengertian dan program Normal Baru, karena keterbatasan pemahaman, kejenuhan terlalu lama tinggal di rumah dan tuntutan ekonomi harus segera bekerja, pengertian New Normal bisa bias dan tereduksi. Implikasinya, bisa  berdampak terhadap efektivitas penanggulangan pandemi  dan program rintisan New Normal.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, berpengalaman sebagai konsultan strategi manajemen pada sejumlah industri di Bali.