Ilustrasi–Obat Anti Depresi Baru

Jakarta (Metrobali.com)-

Lonjakan angka bunuh diri di Amerika Serikat menyoroti kebutuhan untuk pengobatan yang lebih efektif untuk depresi parah, dimana para peneliti menyatakan bidang ini tidak mudah dan tidak banyak perusahaan farmasi besar yang tertarik.

Otoritas kesehatan AS menyatakan pekan ini ada lonjakan tajam pada angka bunuh diri di seluruh penjuru negeri sejak awal abad ini dan menyerukan dilakukannya pendekatan komprehensif untuk mengatasi depresi. Laporan tersebut dipublikasikan pada pekan yang sama saat terjadi tindakan bunuh diri dari para pesohor yaitu Anthony Bourdain dan Kate Spade.

Reuters belum mendapatkan informasi apakah baik Bourdain atau Spade mendapatkan pengobatan. Perwakilan dari kedua mendiang belum dapat dihubungi untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

Suami Kate Spade, Andy Spade, mengatakan dalam sebuah pernyataan pekan ini bahwa mendiang telah menderita depresi selama bertahun-tahun dan berkonsultasi secara erat dengan dokternya.

Dengan ketersediaan banyaknya obat generik antidepresi, dengan banyak diantaranya yang hanya menawarkan sedikit manfaat, mengembangkan obat depresi merupakan sesuatu yang tidak mudah.

Jauh lebih banyak obat kanker

Produsen obat menawarkan 140 terapi untuk penanganan masalah kesehatan mental, termasuk 39 yang ditujukan untuk pengobatan depresi, menurut asosiasi dagang Pharmaceutical Research and Manufacturers ofAmerica. Bandingkan dengan bidang pengembangan pengobatan kanker di industri farmasi dengan 1.100 obat kanker percobaan, yang dapat ditawarkan dengan harga yang sangat mahal.

“Psikiatri telah menjadi bidang investasi yang kurang diminati,” ujar Harry Tracy, dengan buletinnya, NeuroPerspective, mengikuti perkembangan dalam pengobatan untuk berbagai permasalahan psikiatris. “Perusahaan asuransi bertanya, “Mengapa kami harus menanggung obat yang belum terbukti efektif?”

Sementara orang mengatakan obat-obat anti depresi butuh waktu lama untuk dianggap efektif, kalupun obat itu efektif. Sekitar separuh orang yang mengidap depresi gagal menunjukkan respon positif terhadap terapi yang ada sekarang, ujar Dr. Husseini Manji, pemimpin global unit bidang ilmu syaraf di perusahaan Johnson & Johnson Janssen.

Mengembangkan obat antidepresi adalah sesuatu yang berisiko. Pasien dalam percobaan klinis acapkali cenderung lebih merespon terhadap plasebo, menutupi keefektifan dari obat yang sedang diuji. Selain itu, begitu disetujui, obat antidepresi membutuhkan tenaga penjual dalam jumlah besar untuk menjangkau psikiater selain juga penyedia layanan kesehatan utama.

Hambatan lainnya adalah kesulitan untuk melakukan penelitian awal depresi pada hewan yang dapat menjadi dasar untuk melakukan percobaan pada manusia.

“Ini menjadi sebuah tantangan besar dalam mengimplementasikannya pada uji coba klinik pada manusia,” ujar Caroline Ko, pemimpin proyek NewCures, sebuah program yang baru dibentuk di Northwestern University yang bertujuan untuk mengurangi risiko investasi dalam pengobatan depresi, nyeri, Parkinson, dan penyakit-penyakit lainnya.

Satu-satunya pemain penting: Johnson & Johnson

J&J jadi satu-satunya perusahaan farmasi yang berinvestasi dalam jumlah besar dalam obat antidepresi baru ujar Tracy. Para produsen yang lebih kecil, termasuk Sage Therapeutics, berharap untuk mendapatkan keputusan dari pihak regulator di AS terkait pengobatan antidepresi untuk ibu yang baru melahirkan menjelang akhir tahun.

Obat esketamine produksi J&J membidik masalah depresi yang resisten terhadap obat. Obat ini serupa dengan ketamine, yang digunakan sebagai obat anestesi untuk meredakan nyeri, dan sering kali disalahgunakan untuk pesta obat-obatan dan di pasaran bebas dikenal dengan julukan Special K.

Perusahaan ini berharap utnuk mendapatkan persetujuan dari U.S. Food and DrugAdministration untuk esketamine, obat semprot lewat hidung yang bereaksi cepat, tahun ini.

“Obat-obatan antidepresi standar butuh waktu berminggu-minggu untuk bekerja. Mereka tidak begitu bermanfaat dalam situasi krisis,” ujar Carla Canuso, yang memimpin upaya J&J dalam menguji pengobatan pada manusia yang dianggap paling berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri, yang paling sering dikaitkan dengan depresi.

Allergan Plc tengah mengembangkan rapastinel, sebuah obat antidepresi intravena yang bereaksi cepat yang dibeli perusahaan itu pada tahun 2015. Obat itu memiliki terapi terobosan yang ditunjuk oleh FDA, dimana hasil uji klinis diharapkan dapat diperoleh pada awal tahun 2019. Bulan lalu, perusahaan itu mengakuisisi obat antidepresi lainnya dari perusahaan rekanannya, Aptinyx.

Dr. Julie Goldstein Grumet, seorang pakar perilaku kesehatan dari Suicide Prevention Resource Center, menyatakan 122 orang di AS mengakhiri hidupnya lewat tindakan bunuh diri setiap harinya pada pekan lalu. Banyak diantaranya yang bahkan tidak didiagnosa sebagai pengidap penyakit mental.

“Kita kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi orang yang berisiko untuk melakukan bunuh diri,” ujarnya. [ww] (BBG)