Denpasar (Metrobali.com)-

Kehidupan antarumat beragama di Bali selama ini “mesra dan harmonis” hidup berdampingan satu sama lainnya yang diwarisi secara turun temurun sejak zaman kerajaan.
Kondisi tentram, damai dan saling menghormati satu sama lain itu berkat adanya saling pengertian dan hal itu menjadi modal dalam menyukseskan Catur Brata Hari Suci Nyepi, Tahun Baru Saka 1935 pada hari Selasa, 12 Maret 2013.

Umat Hindu pada peralihan tahun baru saka itu wajib melaksanakan empat pantangan yang meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan/bekerja), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan hiburan/bersenang-senang).

Untuk itu majelis lintas agama dan keagamaan di Bali mengeluarkan seruan bersama untuk menyukseskan rangkaian pelaksanaan Hari Suci Nyepi yang dirayakan setiap 420 hari sekali.

Seruan bersama yang wajib ditaati seluruh umat lintas agama itu ditandatangani pimpinan majelis, majelis agama dan keagamaan di daerah ini, tutur Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Bali, AA Gd Muliawan, S.Ag MSi.

Seruan bersama lintas agama itu merupakan hasil rapat yang melibatkan instansi terkait antara lain mewakili gubernur Bali, forum komunikasi antar umat beragama (FKAUB), ketua majelis lintas agama, Kepala Kesbang Pol Provinsi Bali, Polda Bali, Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) dan kepala Kemenag kabupaten/kota seluruh Bali.

Seruan bersama yang disosialisasikan kepada 1.480 desa adat (pekraman) dan berbagai komunitas di Pulau Dewata itu, umat Hindu diharapkan mampu melaksanakan catur Brata penyepian dengan baik sesuai pedoman edaran PHDI.

Sementara umat non Hindu pada Hari Suci Nyepi yang akan jatuh pada Hari Selasa, 12 Maret 2013 dalam melaksanakan peribadatan agar menyesuaikan dengan suasana Nyepi.

Selain itu melarang menyalakan petasan/mercon dan bunyi-bunyian sejenisnya yang sifatnya mengganggu kesucian Hari Raya Nyepi maupun membahayakan ketertiban umum, sehingga umat Hindu dapat melaksanakan Catur Berata Penyepian dengan baik.

Penuh Tanggung Jawab Ketua Program Studi Pemandu wisata Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi mengingatkan, kerukunan yang disertai dengan kekuatan moral dan etika yang santun akan mampu menjadikan diri sebagai bangsa yang besar.

Oleh sebab itu semua umat lintas agama meressapi, memahami dan mengamalkan ajaran agama masing-masing, sehingga dapat menjadi panutan dalam berpikir, berkata dan berbuat.

Landasan sopan-santun dalam kehidupan sehari-hari mulai dari berpikir, berkata dan berbuat menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang penuh berbagai tantangan.

Khusus umat Hindu dapat melaksanakan Catur Brata Penyepian, empat pantangan pada hari peralihan tahun saka dari 1934 ke 1935 yang pada hari Selasa, 12 Maret 2013.

“Hakekat Brata Penyepian adalah yadnya dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Hyang Widhi Wasa yang dilandasi sujud keikhlasan,” ujar Jro Ketut Sumadi.

Umat melaksanakan yadnya atas keyakinan, bahwa hidup dan kehidupan manusia serta makluk hidup dan alam lingkungan tidak lepas atas dasar yadnya.

Oleh sebab itu Hari Suci Nyepi ibarat “tonggak” bagi umat Hindu untuk melakukan evaluasi dan introspeksi diri tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang harus diperbuat pada masa mendatang.

“Melalui Hari Raya Nyepi tahun baru saka 1935 kita tingkatkan Sradha dan Bhakti untuk memperkokoh rasa persaatuan demi kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bersama,” harap Jro Mangku Ketut Sumadi.

Umat Hindu dalam memperingati peralihan tahun baru saka 1934 ke 1935 melakukan serangkaian upacara keagamaan sesuai pedoman yang dikeluarkan PHDI, majelis tertinggi umat Hindu sesuai hasil pertemuan para pemimpin upacara keagamaan (paruman sulinggih).

Kegiatan itu diawali dengan upacara ritual yang disebut “Melis/Mekiyis” bermakna menyucikan alam semesta beserta isinya, dilakukan mulai hari Sabtu (9/3) hingga Senin (11/3), sesuai kondisi masyarakat setempat.

Upacara membersihkan pratime atau benda yang disakralkan umat ke laut atau sumber air seperti danau dan sungai. Umat Hindu berbondong-bondong menghadiri upacara “melasti” sambil membawa sesaji dan peralatan suci diiringi gamelan bertalu-talu.

Selesai “Melasti” dilanjutkan dengan melaksanakan upacara “Tawur Kesanga” pada hari Senin (11/3), sehari menjelang Nyepi, dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga, dusun, Desa, Kecamatan, kabupaten/kota hingga tingkat Provinsi Bali.

Kegiatan bermakna untuk meningkatkan hubungan yang lebih serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.

“Tawur kesanga” yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan “Ngerupuk”. Ratusan “ogoh-ogoh” sejenis boneka besar dalam berbagai bentuk dan ukuran diarak keliling di wilayah desa adat masing-masing.

Hasil kreativitas seni itu menyerupai bentuk “bhuta kala” sejalan dengan makna hari “Ngerupuk” yakni mengusir roh jahat dan menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif “Bhuta kala” yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan.

“Dengan demikian, dunia beserta isinya diharapkan bersih dan bebas dari segala gangguan makluk dan roh jahat, sebelum keesokan harinya (12/3) umat Hindu melaksanakan Tapa Berata Penyepian”, tutur Jro Ketut Semadi. INT-MB