Reni Marlinawati

Jakarta (Metrobali.com)-

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reni Marlinawati berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam penyusunan buku pelajaran memperhatikan aspek keindonesiaan.

Selain itu juga harus menghindari hal-hal yang menimbulkan polemik di publik, kata Reni dalam pernyataan di Jakarta, Senin (23/3), sebagai tanggapan atas buku pelajaran “Pendidikan Agam Islam dan Budi Pekerti untuk SMA kelas XI” karya Mustahadi dan Mustakim terbitan Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

Buku Pendidikan Agama Islam (PAI) itu menimbulkan polemik dan dinilai mengajarkan kekerasan.

“Saya sudah membaca buku tersebut. Memang tampak sekilas ada bagian-bagian di dalam buku tersebut yang tampak mengejutkan khususnya di bagian ‘Islam Masa Modern’,” katanya.

Seperti di halaman 168 yang menjelaskan soal gerakan salaf dengan ciri di antaranya “memerangi orang-orang yang menyimpang dari aqidah kaum salaf seperti kemusyrikan, khurafat, bida’ah, taqlid dan tawassul”.

Di bagian lainnya, di halaman 170 yang menjelaskan tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam, yakni Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri kelompok Wahabi) disebutkan pendapatnya di antaranya “menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik”.

Sedangkan isi buku di halaman 168 dan 170 sebenarnya menjelaskan soal ciri khas kelompok salaf dan pendapat Muhammad Abdul Wahab (pendiri Wahabi).

Memang, kata dia, jika hanya membaca penggalan dari poin-poin tersebut seolah isi buku ini menganjurkan kekerasan dan sikap intoleran. “Padahal, dalam hemat saya buku ini tidaklah menganjurkan hal tersebut,” katanya.

Bagian itu hanya mendeskripsikan ajaran dan paham dari kelompok itu. “Karena di bagian lainnya, terdapat bab ‘Toleransi sebagai alat pemersatu bangsa’,” katanya.

Dia menilai, berlebihan bila buku ini disebut berisi ajaran ISIS. “Bagi saya itu tudingan sensasional yang bermotif ‘ngepop’ saja. Karena memang saat ini isu ISIS lagi ‘booming’,” katanya.

“Sebaiknya, kita menghindari dari hal-hal yang membuat kegaduhan yang jauh dari hal-hal substanstif,” katanya.

Hanya saja, kata dia, ada yang kurang dalam buku ini khususnya di bagian “Islam Masa Modern”. Bab ini tampak kurang lengkap dengan tidak menampilkan tokoh-tokoh pembaharu Islam dari Indonesia di antaranya KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Buya Hamka, M. Natsir, Nurcholis Madjid (Cak Nur) serta KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Tokoh-tokoh Islam Indonesia tersebut terbukti pemikirannya tentang keislaman telah memberikan kontribusi nyata dalam perkembangan Islam. Semestinya penulis buku tersebut menekankan pada sosok-sosok pemikir Islam Indonesia yang memang menyerukan pada pemahaman keislaman yang moderat, toleran dan bercirikan Islam Nusantara.

“Ke depan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam pembuatan buku-buku ajar agar memperhatikan aspek keindonesiaan serta menghindari dari hal-hal yang menimbulkan polemik di tengah publik,” katanya. AN-MB