Kuta (Metrobali.com)-

Direktur Utama PT Bio Farma, Iskandar, mengapresiasi langkah pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat labelisasi halal melalui RUU Jaminan Produk Halal. “Itu cita-cita yang sangat bagus. Mungkin kita harus didukung dengan industri dasarnya. Dalam hal ini bahan baku obat untuk vaksin,” imbuh Iskandar saat memberi keterangan resmi pertemuan ke-13 Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) di Kartika Plaza Hotel, Kuta, Bali, Selasa 30 Oktober 2012.

Hanya saja, kata dia, bahan baku vaksin selama ini masih tergantung pada impor. “Hampir 95 persen bahan baku didatangkan dari luar negeri,” papar dia. Jika RUU itu disahkan, Iskandar yakin institusinya tak bisa berbuat banyak. Sebabnya tak lain, ia tak bisa menjamin bahan baku untuk membuat vaksin yang didatangkan dari luar negeri sepenuhnya halal.

“Kalau diberlakukan sekarang, ini akan membuat kita mati kutu. Karena kita tidak bisa menjamin bahan baku yang kita impor. Jadi kami mengusulkan dalam konteks ini sebaiknya obat-obatan, vaksin jangan dulu dimasukkan dalam kategori halal haram,” pinta Iskandar.

Jika industri dalam negeri sudah mampu membuat bahan baku sendiri, Iskandar setuju peraturan itu diberlakukan. Labelisasi halal haram, Iskandar melanjutkan, diharapkan diterapkan pada produk makanan terlebih dahulu.

“Kalau makanan kita kan kontrol semuanya. Kalau obat-obatan kita belum bisa mengontrol semuanya,” tutur Iskandar. Ia belum bisa menghitung keseluruhan kerugian yang timbul jika aturan itu diberlakukan.

“Kalau hitung-hitungannya belum. Cuma yang bisa kita jabarkan bahwa kita tidak bisa memproduksi yang halal, karena kita harus menjamin keseluruhan, termasuk bahan bakunya. Sementara bahan baku, kita beli dari luar negeri,” terangnya.

“Dampak teknis dari diberlakukannya aturan itu adalah diperiksa satu-satu halal atau tidak. Kalau kerugiannya justru akan kontraproduktif dengan keinginan pemerintah yang terus mendorong supaya kita (PT Bio Farma) maju,” tambah Iskandar.

Hal paling nyata dari pemberlakuan peraturan itu nantinya adalah kehilangan pendapatan sebesar Rp1,5 triliun. “Bio Farma bisa kehilangan pendapatan sampai Rp1,5 triliun. Penghasilan kita setahun segitu. Kalau itu dikaitkan dengan RUU Jaminan Produk Halal dan produk kita dinyatakan tidak halal, kita tidak bisa apa-apa,” imbuh dia.

Labelisasi halal haram, baik oleh pemerintah maupun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada produk obat dan vaksin, sambung Iskandar, dapat menghacurkan industri obat-obatan dalam negeri. “Kalau definisi MUI bahan baku tidak kontak dengan enzim babi. Kita tidak bisa menjamin itu. Kita masih impor. Kita tidak diberi ruang untuk berkelit. Tetapi, menurut versi MUI, semua produk kami halal,” tutup Iskandar. BOB-MB