Kuburan Kebebasan Pers, Kebenaran yang Dikhianati
MEDIA massa (pers) memasuki rezim reformasi memiliki kekuatan mahadasyat dalam memengaruhi dinamika sosial dari khalayak publik. Ini diyakini karena adanya kekuatan adiluhung dari kebebasan pers. Tapi, praktiknya ideologi kebebasan pers itu kini hanya menjadi kamus usang dengan berbagai aturan hukum yang tak lagi memiliki ruh dan taksunya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan bagi khayalak publik. Sebab proses penyuntingan dari mekanisme konstruksi berita dalam produksi keredaksian terkait verifikasi, akurasi, pemisahan opini dari fakta dalam media massa kini sudah semakin lemah.
Hal ini karena besarnya tekanan dari kekuatan persekusi elite politik penguasa pemangku kebijakan yang dipicu relasi kuasa atas kepentingan individu atau personal maupun kelompok atau golongan tertentu dalam desa pekraman, termasuk pemilik modal atau pengusaha. Dampaknya, pembentukan karakter bangsa, moralitas, etika, sistem nilai, keluhuran budi, dan integritas, serta idealisme jurnalistik dalam sosial media semakin merosot tajam. Tak hanya itu, bahkan proses penegakan hukum pun menjadi kian karut-marut. Ini akibat dari maraknya praktik korupsi dengan berbagai rekayasa dan manipulasi hukum terhadap kebenaran dan keadilan atas kepentingan politik, ekonomi dan budaya.
Celakanya, para kaum jurnalis dan fotografer jurnalistik pengusung idealisme kebebasan pers pun kini justru semakin termarjinalisasi dari kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi secara bertanggungjawab di depan khalayak publik. Sebab semangat juang dalam menegakkan keadilan atas kebenaran telah dikhianati tanpa keluasan hati serta kesanggupan akal. Akibatnya, pencitraan media massa di mata sumber berita, pengiklan, dan pembaca pun sontak mengalami penurunan yang sangat dramatis dan sekaligus terkesan dilematis.
Terlebih lagi, gejolak perkembangan jurnalisme warga kini sudah semakin terbuka dan lebih bebas daripada jurnalisme fakta dan jurnalisme makna dalam mekanisme konstruksi media massa. Dalam konteks ini, jurnalisme warga (Kompas, 6:13/10/2012) merupakan fase kebebasan warga dalam menjalankan laku jurnalistik: mencari, merekam, mengolah, dan menyebarkan informasi dalam pelbagai bentuk di kanal berita ataupun media sosial seperti facebook, blog, dan twitter. Apabila kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi dari kebebasan pers telah tersandera kebijakan feodalisme yang otoriter berarti kaum pemimpin dari elite politik penguasa pemangku kebijakan dan pemilik modal atau pengusaha dalam sosial media secara nyata telah terbukti mengingkari visi-misinya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran demi kepentingan khalayak publik.
Fenomena ini sekaligus mengisyaratkan bahwa institusi dari organisasi independen terutama dewan pers sebagai lembaga pengawas yang mengontrol kinerja dan etos kerja media massa patut dipertanyakan serta diragukan komitmen dan loyalitasnya dalam menegakkan kebebasan pers yang bertanggungjawab secara komprehensif baik internal maupun eksternal. Dalam hal ini, secara internal berarti upaya meningkatkan kesejahteraan para pekerja pers (terutama wartawan) dalam keredaksian media massa, sedangkan eksternal berupa melindungi kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berekspresi dalam konstruksi berita yang sesuai kaidah jurnalisme fakta dan jurnalisme makna terhadap upaya menegakkan keadilan dan kebenaran bagi kepentingan khalayak publik.
Dengan kata lain, seorang pemimpin dituntut harus mampu memimpin secara partisipatoris yang dilandasi kejujuran, ketulusan hati, dan tanggungjawab dalam menciptakan terobosan baru demi kepentingan khalayak publik. Selain itu, juga harus memiliki aktivitas kerja yang tidak termotivasi oleh kehormatan, kemuliaan ataupun otoritas pribadi, serta selalu setia dalam melayani kepentingan khalayak publik sebagai pemimpin yang bertanggungjawab, berkarakter negarawan dan visioner. Intinya, seorang pemimpin jangan sekadar hidup enak, dihormati, dikenal banyak orang, serta tinggal memerintah sesuka hati (otoriter), dan berpenghasilan besar.
Atas dasar itulah, seburuk apapun kondisi dari mekanisme pencitraan terhadap sosial media dalam mengonstruksi berita sebagai informasi bernilai edukatif sekaligus hiburan merupakan tanggungjawab pemimpin dan bukan mutlak kesalahan orang lain atau bawahannya. Pada umumnya kondisi ini terjadi akibat penyalahgunaan kewenangan. Di mana pemimpin dalam menjalankan fungsinya cenderung mengatur dan mengarahkan serta mengorganisasi atau mengontrol usahanya dalam lingkaran oligarki kekuasaan atas dasar kepentingan prestise, kekuasaan, serta posisi semata.
Apalagi, dalam era reformasi saat ini di mana seorang pemimpin acapkali melakukan tindakan kejanggalan luar biasa dan bertolak belakang dengan etika sosial, estetika, serta kebenaran dan keadilan serta kenyataan yang paling hakiki. Tak pelak, pemimpin pun dicap sebagai patron kejahatan yang tak berkeadaban, karena secara sengaja mengonstruksi sistem kebrutalan kemanusiaan. Itu sebabnya, fenomena dari praktik tawuran di antara kaum intelektual kini semakin marak dan kuantitasnya pun terus meningkat dalam orkestra demokrasi berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat.
Berbisik atau Berteriak Sama Saja
Kedaulatan dalam kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berekspresi merupakan sebuah hak mutlak dalam kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Tapi, jika semua hak itu dilanggar berarti kekuatan hukum dari UUD’45 serta kesaktian nilai adiluhung dalam ideologi Pancasila telah kehilangan ruh dan taksunya sebagai identitas bangsa. Ini artinya, upaya perubahan dengan cara berbisik ataupun berteriak hasilnya sama saja. Yakni: sama-sama tak dapat menegakkan keadilan dan kebenaran dari kenyataan yang paling hakiki bagi kepentingan khalayak publik.
Faktanya, fase kepemimpinan dalam beragam sektor kehidupan dalam sosial media cenderung terkooptasi dan terhegemoni kepentingan pribadi atau personal maupun etnisitas dari persekusi kelompok atau golongan tertentu para elite politik penguasa pemangku kebijakan serta pemilik modal atau pengusaha yang dipicu kapitalisme budaya global. Akibatnya, banyak orang yang kini merasa tidak nyaman terhadap praktik jurnalistik, termasuk para pekerja sosial media (wartawan) itu sendiri. Ini karena kehidupan pribadi maupun kelompok atau golongannya menjadi terancam. Tragisnya, malahan bisa kehilangan kehormatan dan jati diri, serta kemuliaan di hadapan khalayak publik.
Dalam konteks ini berarti kinerja para kaum jurnalis dan fotografer jurnalistik pengusung idealisme kebebasan pers dalam sosial media menjadi semakin termarjinalisasi. Ini karena proses reduksi berita dalam sosial media acapkali ‘menelanjangi’ ruang privat atau pribadi ke dalam ruang kolektif hingga dapat memengaruhi kesadaran paradigma kritis khalayak publik menuju ke arah perkembangan yang cenderung negatif atas realitas dari kenyataan yang hakiki.
Maka itulah, khayalak publik sebagai konsumen media massa (pers) berhak menuntut atas konstruksi berita dan fotografi jurnalistik yang menganut jurnalisme fakta dan jurnalisme makna yang objektif sebagai menu pelengkap yang sempurna dalam orkestra kehidupannya. Ini artinya, seorang pemimpin dalam sosial media secara nalar juga harus mampu memiliki integritas, kredibilitas, dan kematangan profesionalnya, serta bertanggungjawab terhadap kepentingan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan bagi khalayak publik. Sehingga, kuburan kebebasan pers tidak menghantui kehidupan dari idealisme kemerdekaan berpikir, berpendapat, serta berekspresi di negeri ini di masa datang.(*)
Oleh I Nyoman Wija, SE., Ak., M.Si.*
*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali dan Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya.
6 Komentar
Tulisan yyg bagus. Semoga dibaca oleh para pemimpin,khususnya para pemimpin media.
tulisan bagus……
brita tentang perusakan lingkungan mangrove kok ga da ya disini…..
kyaknya brita baik2 ja tentang pemerintahan bali…… sisi buruknya d sembunyiin dimana mas…… jdi masyarakat tahunya cma yg bgus2 ja… pdahal aslinya da ja keburukan…
Trimakasi Mr. Conger yang telah peduli dengan Koran Portal Berita Metrobali.com. Atensi bapak saya hargai dengan memberikan masukan yang positif buat metrobali ke depan. Itu berarti pula Metrobali.com sudah menjadi perhatian public. Namun, ada beberapa catatan yang mesti bapak perhatikan, amati, dan lihat pada pemberitaan di portal online Metrobali.com. Komitmen kami jelas di sini, bahwa Metro Bali mengungkap fakta dalam penulisan berita. Jadi kalau sifatnya masih asumsi atau praduga yang belum tentu kebenaran dari berita itu, mohon maaf kami tidak beritakan. Metro Bali bukan Koran abal-abal. Mengungkap fakta adalah tanggung jawab moral Metro Bali. Kami selalu mengungkap fakta. Jika kemudian ada penilaian bahwa berita itu menyanjung lembaga atau perorangan semua itu diserahkan kepada pembaca yang budiman. Karena itu, lebih baik kami memberitakan fakta. Artinya bukan fakta dibuat-buat seolah-olah fakta itu benar. Seperti di masalah Tahura (Tamah Hutan Raya) Mangrove, Denpasar Selatan yang bapak tanyakan. Proses berita di MB adalah membuat berita dan merunut proses perijinan. Mengapa, baagaimana ijin pengusahaan Tahura itu bisa keluar? Bukan ujug-ujug memberitakan bahwa di sana telah terjadi perusakan lingkungan. Telah terjadi pembangunan besar-besaran seperti yang diberitakan salah satu Koran di Bali. Berita ini selain bersifat provokatif juga sangat tendesius dan sangat politis. Untuk memberikan gambaran bahwa MB seimbang dalam pemberitaan Tahura, Denpasar Selatan, berikut kami lampirkan berita-berita yang telah dimuat MB selama Oktober 2012.
KEKAL Datangi DPRD Bali:
Tolak Privatisasi dan Cabut Izin Pemanfaatan Hutan Mangrove
Denpasar (Metrobali.com)-
Setelah Kamis (11/10) lalu melakukan aksi di depan kantor Gubernur Bali, Puluhan Aktivis peduli lingkungan yang tergabung dalam Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali menggelar hearing dengan Komisi III DPRD Bali Senin, (15/10/2012).
KEKAL Bali menilai Hutan mangrove di kawasan taman hutan raya ngurah rai adalah benteng terakhir bagi kawasan pesisir dari abrasi pantai, bencana tsunami dan juga berfungsi untuk mencegah intrusi air laut. Selain itu juga hutan mangrove juga sebagai tempat hidup bagi sejumlah binatang dan biota laut serta sangat berperan karena mampu menyerap karbondioksida (CO2) lima kali lebih besar dibandingkan dengan jenis hutan lainya.
Melihat manfaat yang diberikan hutan mangrove yang begitu luar biasa, Adi Sumiarta Humas dari KEKAL Bali mengatakan “Sangat ironis jika saat ini Gubernur Bali justru mengeluarkan izin pemanfaatan hutan mangrove seluas lebih dari 100ha kepada PT. Tirta Rahmat Bahari untuk pembangunan akomodasi pariwisata, padahal Sesuai amanat Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali pasal 59 ayat (3) huruf b yang menyatakan Pengelolaan kawasan peruntukan hutan rakyat, mencakup: b. mendukung pencapaian tutupan vegetasi hutan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas wilayah Pulau Bali”.
Namun faktanya saat ini Bali hanya mempunyai luasan hutan yang tidak lebih dari 23% sehingga saat ini Bali masih kekurangan kawasan hutan seluas lebih dari 7%. Dengan keadaan tersebut, logikanya Gubernur Bali harus menambah kawasan hutan, bukan malah memberikan izin kepada investor untuk memanfaatkan kawasan hutan mangrove apalagi dengan luas yang sangat mencengangkan yaitu seluas 102.22 ha. Sangat tidak masuk akal jika dengan luasan hutan yang semakin sedikit, kualitas hutan yang semakin menurun akan tetapi izin dikeluarkan dengan mudah oleh Gubernur Bali, patut dipertanyakan ada motif apa di balik pengeluaran izin tersebut? Tanya adi.
Suriadi Darmoko sebagai deputi direktur walhi bali menambahkan legal atau tidaknya izin yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Bali, secara tidak langsung telah mencederai rasa keadilan masyarakat, baik masyarakat dari suwung kauh ataupun masyarakat umum yang menanam bakau disana. Masyarakat susah-susah untuk menanam dan merawat mangrove sampai tumbuh besar, tetapi Gubernur Bali dengan mudah mengeluarkan izin pemanfaatan hutan mangrove seluas lebih dari 100 Ha kepada investor. Selain itu Suriadi juga kembali menanyakan komitmen Gubernur Bali dalam menjaga lingkungan di Bali dengan Jargon Bali clean and greennya, apakah itu hanya wacana semata untuk menarik simpati dari masyarakat?.
Ketua Komisi III DPRD Bali I Gusti Ngurah Suryantha Putra atau yang akrab disapa Sena mengatakan sangat terkejut atas keluarnya izin pemanfaatan hutan mangrove karena dirinya tidak pernah mendapatkan informasi tentang itu.
Sena juga menambahkan kalau kawasan hutan yang seluas 23% tersebut adalah data pada tahun 2009, dia menduga saat ini luas kawasan hutan di Bali tidak lebih dari 18% luas wilayah pulau Bali mengingat tingginya alih fungsi lahan dan illegal logging di kawasan hutan.
Lebih lanjut Sena menjelaskan bahwa selama ini pemerintah provinsi tidak pernah mengajukan rancangan peningkatan APBD untuk membiayai kawasan hutan di Bali, saat ini rancangan APBD untuk rehabilitasi seluruh kawasan Hutan di Bali hanya Rp. 2 M, itupun Rp. 1.5M untuk belanja tidak langsung, Rp. 400 juta utuk rehabilitasi seluruh hutan di Bali dan Rp. 100 Juta untuk pengawasan.
Mengenai masalah perijinan yang di keluarkan oleh Gubernur Bali kepada PT. TRB, Sena menyatakan telah bertemu langsung dengan dirjen PHKA, dan dirjen PHKA menyatakan semua proses perijinan sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, sehingga PT. TRB diberikan izin pemanfaatan hutan mangrove tersebut.
Gendo Suardana sebagai Ketua Dewan Daerah Walhi Bali menerangkan ternyata selama ini alasan Gubernur Bali tidak ada dana untuk melakukan perawatan kawasan hutan di Bali karena Gubernur Bali tidak pernah mengajukan anggaran. Padahal sebelumnya untuk membangun rumah sakit Bali Mandara Gubernur Bali menyatakan pemerintah provinsi Bali mempunyai tabungan di BPD Bali sebanyak Rp. 500M hal tersebut sangat tidak realistis mengingat pentingnya peranan Hutan Mangrove tersebut.
Selain itu Gendo juga menyatakan bahwa Pihaknya dari awal menduga pendiaman yang dilakukan oleh Gubernur Bali dalam Pengurugan laut dengan Limestone dalam pengerjaan Jalan Diatas Perairan (JDP) adalah sengaja untuk mematikan pohon bakau disekitar proyek sehingga ada kawasan yang nantinya terbuka dan tidak bisa ditanami pohon bakau lagi agar bisa dimanfaatkan oleh investor untuk mendirikan akomodasi pariwisata di sana.
”Sudah jelas-jelas melanggar AMDAL tetapi tetap saja didiamkan padahal dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menyatakan Bahwa Gubernur wajib memberikan teguran kepada pelaksana proyek karena telah melanggar AMDAL bahkan Gubernur juga dapat menyetop dan menyita alat-alat yang diigunakan untuk melakukan pencemaran.”.
Selain hal tersebut Gendo juga menambahkan Atas Keluarnya izin Gubernur Bali telah melanggar asas-asas Good Government yaitu asas kepatutan dan asas keterbukaan. Dari segi asas keterbukaan keluarnya izin itu dinilai tidak transparan karena jelas-jelas sejak awal tanpa melibatkan wakil rakyat di DPRD Bali, padahal DPRD Bali memiliki fungsi pengawasan terhadap setiap program yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Dari segi asas kepatutan Gubernur Bali mempunyai kebijakan publik untuk mewujudkan Bali Clean and Green serta mewujudkan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di Bali selatan, namun hal tersebut menjadi kontradiktif dengan keluarnya izin pengelolaan hutan mangrove seluas 102.22 ha kepada investor untuk pemanfaatan pariwisata alam dengan membangun sejumlah akomodasi pariwisata. Selain itu Gendo juga menanyakan mengapa PT. Tirta Rahmat Bahari yang notabene baru dibentuk pada tahun 2009 dengan mudah mendapatkan izin pemanfaatan Hutan Mangrove tersebut padahal PT. TRB tidak mempunyai track record dalam hal tersebut.
Anggota Komisi III DPRD Bali IB. Udiyana menyatakan dirinya sangat kecewa karena pihak dewan tidak dilibatkan dalam rekomendasi pemberian izin pemanfaatan Hutan Mangrove kepada PT. TRB, selain itu Udiyana juga menyatakan penolakannya terhadap Izin pemanfaatan Hutan Mangrove kepada investor seluas 102.22 Ha dan berjanji akan menelusuri mengapa izin tersebut bisa diberikan dengan mudah.
Dalam hearing kemarin juga hadir Kadek Bobby perwakilan dari warga Suwung Kauh yang menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada komisi III DPRD Bali, Bobby menyatakan dia menolak keras privatisasi dan pembangunan akomodasi pariwisata di daerah Hutan Mangrove, karena nantinya apabila hutan mangrove tersebut rusak yang akan mendapat dampak terbesarnya adalah masyarakat yang tinggal disekitar Hutan Mangrove tersebut, termasuk dirinya.
Selain itu dia juga menyatakan bahwa warga di sana merasa dibodohi karena tidak ada sosialisasi dari pihak PT. TRB ataupun Pemprov Bali tiba-tiba sudah dikeluarkan izin, Bobby merasa warga sekitar Hutan Mangrove tidak dihargai karena Gubernur Bali mengeluarkan izin tanpa sepengetahuan mereka. Bobby juga meminta agar Gubernur Bali segera mencabut izin yang telah diberikan kepada PT. TRB dan memberikan pengelolaan hutan mangrove kepada desa setempat. WALHI-MB
Berita ini ditayangkan di Metrobali.com, tanggal 15 Oktober 2012
KEKAL Bali Tuntut Pencabutan izin PT TRB
Denpasar (Metrobali.com)-
Puluhan Aktivis peduli lingkungan yang tergabung dalam Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali kembali menggelar aksi di depan kantor Gubernur Bali Kamis, (11/10/2012). KEKAL Bali yang terdiri dari Walhi Bali, Frontier Bali, Bali Outbound Community, LPM Kertha Aksara FH UNUD, dan juga komponen lingkungan yang peduli terhadap lingkungan melakukan aksi terkait dengan pemberian izin pemanfaatan Hutan Mangrove untuk akomodasi pariwisata kepada investor seluas lebih dari 100 ha. Aksi ini juga diikuti oleh musisi yang peduli terhadap lingkungan seperti Jrx dan Bobby dari Superman Is Dead dan Prima dari Geekssmile.
KEKAL Bali menilai Hutan mangrove di kawasan taman hutan raya Ngurah Rai adalah benteng terakhir bagi kawasan pesisir dari abrasi pantai, bencana tsunami dan juga berfungsi untuk mencegah intrusi air laut. Selain itu juga hutan mangrove juga sebagai tempat hidup bagi sejumlah binatang dan biota laut serta sangat berperan karena mampu menyerap karbondioksida (CO2) lima kali lebih besar dibandingkan dengan jenis hutan lainya.
Melihat manfaat yang diberikan hutan mangrove yang begitu luar biasa, Suriadi Darmoko sebagai Deputi Direktur Walhi Bali mengatakan “Sangat ironis jika saat ini Gubernur Bali justru mengeluarkan izin pemanfaatan hutan mangrove seluas lebih dari 100ha kepada PT. Tirta Rahmat Bahari untuk akomodasi pariwisata”.
Dia juga mempertanyakan keseriusan Gubernur Bali dalam menjalankan jargon Bali Clean and Green yang selama ini selalu dikampanyekan oleh Gubernur Bali. “Apakah Jargon Bali Clean and Green hanya dijadikan sebagai alat kampanye oleh Gubernur Bapak Made Mangku Pastika tanpa adanya tindakan nyata dari Bapak Gubernur untuk menjaga lingkungan di Bali,’’ tanyanya?
Selain itu Suriadi juga mempertanyakan mudahnya ijin pemanfaatan yang dikeluarkkan Gubernur Bali . “Bagaimana bisa izin pemanfaatan hutan mangrove seluas lebih dari 100ha tersebut keluar dengan cepat dan mudah, siapa di belakang PT. TRB tersebut” cetusnya.
Humas Aksi, Adi Sumiarta juga menambahkan, “Kawasan Hutan di Bali yang tersisa saat ini hanya sekitar 23% saja dari luas wilayah pulau Bali, belum lagi akibat kebakaran hutan yang terjadi kemarin mengakibatkan semakin berkurangnya kawasan hutan di Bali, itu artinya Bali masih kekurangan kawasan hutan seluas lebih dari 7% seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang yaitu Bali minimal harus memiliki kawasaan hutan seluas 30% dari luas pulau Bali, Logikanya adalah seharusnya Pemerintah Provinsi Bali dalam hal ini Gubernur Bali menambah kawasan hutan, bukan malah memberikan izin kepada investor untuk mengelola hutan mangrove apalagi dengan luas yang sangat mencengangkan yaitu seluas lebih dari 100ha”
Adi sumiarta menambahkan, “demi untuk memenuhi kebutuhan luas hutan, kami juga menuntut Gubernur Bali agar segera mencabut izin dari PT. TRB, menolak segala upaya perusakan lingkungan hidup di Bali, khususnya dikawasan taman hutan raya Ngurah Rai” tandasnya.
Komite Kerja Advokasi Lingkungan (kekal) Bali menduga adanya orang yang mempunyai kedekatan dengan Gubernur Bali yang berada dibalik PT Tirta Rahmat Bahari, karena proses perijinan pengelolaan kawasan TNR seluas 102,22 ha sangat mudah dan cepat sampai-sampai DPRD Provinsi Bali sebagai lembaga Legislatif yang mengawasi Gubernur tidak mengetahui Gubernur Bali telah mengeluarkan izin untuk memanfaatkan kawasan tersebut.
Selain tuntutan tersebut, masa aksi juga menyerukan dan menuntut pemerintah untuk melaksanakan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata sepenuhnya demi keberlangsungan pariwisata yang berkelanjutan di Bali. BOB-MB
Dibaca :174
Berita ini Ditayangkan Metrobali.com, tanggal 11 Oktober 2012
DPRD Bali Minta Ijin Prinsip Tahura Ngurah Rai Dikaji Ulang
Denpasar (Metrobali.com)-
Ketua Komisi II DPRD Bali Made Arjaya mengatakan, tidak ada jaminan investor pengelola Tahura Ngurah Rai bakal tidak merusak hutan mangrove. ‘’Bahwa di sana tidak akan dibangun villa, hanya bangun pasraman itu hanya akal-akalan investor,’’ kata Made Arjaya dihadapan tokoh Bali di Gedung DPRD, Renin Senin (8/10) sekira pukul 11.30. Karena itu, Arjaya minta dukungan kepada tokoh Bali untuk mendukung melindungi alam Bali dari pengurasakan.
Menurut Arjaya, dari masa ke masa dan dari jaman ke jaman, strategi pengusaha memang samgat ideali itu. Awalnya bilang membikin villa, tetapi dalam parketknya dia membangun hotel berbintang. Oleh karena itu, komisi III DPRD meminta kepada Gubernur Bali untuk mengkaji ulang ijin prinsip Tahura Ngurah Rai yang sudah ditandatangani.
Dikatakan, walaupun DPRD tidak dilibatkan dalam merekomendasi pengelolaan Hutan Tama Raya Ngurah Rai, akan tetapi DPRD Bali tetap membuat rekomendasi itu. ‘’Diterima atau tidak rekomendasi dewan tersebut, bukan masalah. Yang penting, kami di dewan sebagai wakil rakyat dan bertangung jawab terhadap aspirasi warga Bali sudah melakukan upaya upaya pemantauan, pengingatan, dan pengontrolan dalam pemanfaatan hutan mangrove itu,’’ katanya.
Arjaya menambahkan, bahwa investor tidak akan melakukan penebangan hutan mangrove di kawasan tersebut, hal itu sangat kecil kemungkinannya. Namanya hutan, memang harus dilindungi. Jika akan membangun sebuah fasilitas wisata, tentu investor bakal memotong hutan mangrove itu. ‘’ Omong kosong, jika investor tidak memotong hutan mangrove itu,Menanam dan memelihara hutan mangrove tidak mudah. Jika menanam seratus paling bertahan, tiga pohon saja.’’ katanya.
Ditambahkan, Dewan Bali tetap akan meminta kepada Gubernur untuk tidak menyetujui pemanfaatan hutan mengarove itu.’’ Ijin prinsip yang dikeluarkan harus dikaji ulang. Terus terang, pihaknya tidak percaya dengan investor itu. Hematnya, Pemprov Bali sebaiknya mengelola sendiri hutan mangrove itu. Misalnya, dengan mengangkat tenaga lebersihan dan mengalokasikan dana anggaran pemeliharaan hutan mangrove di APBD atau APBN.’’
Sementara itu, pengamat lingkungan dan sosial Dr. Sayoga mengatakan, rencana pembuatan pesraman di areal Tahura itu hanya akal-akalan investor. Karena asrama merupakan tempat yang sangat sensitive di Bali. Padahal, kata dia, untuk membuat pasrama tidak seperti diucapkan. Pesraman memliki jiwa dan karakter yang mendalam. Di sana mengandung inti proses pembelajaran menuju jiwa-jiwa yang bersih dan bertanggung jawab atas dirinya, lingkungan masyarakatnya, dan Tuhan.
Sebelumnya Metrobali.com memberitakan, Kepala Bappeda Provinsi Bali Cokorda Ngurah Pemayun mengatakan, izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali sudah berdasarkan kajian dan pertimbangan yang mendalam. Dikatakan, pengeluaran ijin tersebut sudah sesuai dengan kajian teknis maupun yuridis. ‘‘Jika sekarang ada berita bahwa seolah-olah investor mencaplok dan mengkapling kawasan Tahura Ngurah Rai untuk kegiatan bisnis, berita itu itu tidak benar. Apalagi poto yang dipasang itu salah. Belum ada kegiatan pembangunan di sana,’’ kata Cokorda Ngurah Pemayun dalam jumpa pers, Sabtu (6/10).
Menurutnya, ada beberapa investor bersurat ke Gubernur dengan pengajuan surat yang berbreda-beda. Di kawasan hutan mangrove Ngurah Rai tersebut dipetaklan menjadi tiga zona (blok), yakni pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan. Untuk mengeluarkan izin prinsip ada persyaratan. Yang dikeluarkan oleh Gubernur adalah izin pemanfaatan. Yang dimohon oleh investor adalah pada zona pemanfaatan.
Menurtunya, proses tahapan perijinan sudah dilakukan oleh pemohon dalam hal ini PT. TIRTA RAHMAT BAHARI No. 001/TRB/Dps/2011 tanggal 27 April 2011 kepada Gubernuir Bali. Dan, surat permohonan ijin ini telah melalui proses rapat dengan instansi terkait pada prinsipnya disetujui dan sudah dikeluarkan rekomendasi instansi teknis seperti rekomendasi dari K epala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali ( BKSDA ) dengan surat nomor : S.759/IV-K.17 17/PPA/2011.tanggal 7 Juni 2011. Kepala UPT Tahura Ngurah Rai dengan surat nomer : 522.11/031/THR/NR/tanggal 14 Juni 2011. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali dengan surat nomer : 556/963/I/dispar/tanggal 14 juni 2011.
Surat Gubernur Bali No. 523.33/873/Dishut-4 tanggal : 29 Juli 2011 telah memperoleh persetujuan ijin prinsip pengusahaan pariwisata alam di kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai seluas 102,22 hektar. SUT-MB
Dibaca :150
Berita ini Ditayangkan Metrobali.com, tanggal 8 Oktober 2012
Beh… mr. Conger. Lek nake bedik. Yen bakal berkomentar lengkapin malu pengetahuanne.. Baca nake malu Metrobali.com konyangan. Ditu ada berita politik, kriminal, pendidikan, seni, budaya, lan Teknologi, Ekonomi. Mangedepan ada ditu di Metrobali.com. De jek mace berita guberbernur gen. Kritik nake koran Bali Post, ane menyangjung nyanjung Puspayoga gen. Ditu, Puspayoga cara pahlawan Rakyat Bali… eeeh.. Asane ye gen dadi Gubernur Bali.
saya minta kepada segenap warga yang suka dengan informasi aktual dan berimbang dan mohon di informasikan kepada teman – teman semua yang belum tahu untuk mencari, mempelajari dan membaca berita bukan dari satu sumber saja, melainkan dari beberapa sumber. nah dari sana kita bisa menilai sumber mana yang menghasut, tendensius dan bahkan memprovokasi kita sebagai warga bali, begitu juga sebaliknya. Semoga kita semua bisa memilah – milah dan jangan mau dipilah – pilah. semua pasti ada jalan keluarnya.
saya salut sama koran online di bali seperti metrobali.com, nusabali.com, koranbalitribune.com dan yang lainnya yang mau menyediakan ruang disetiap akhir berita yang saya baca untuk menyalurkan aspirasi, pendapat, saran, masukan dan kirtik yang dapat meningkatkan wawasan kita semua. tapi di balipost.com saya tidak/belum melihat adanya ruang untuk itu, dengan rasa hormat saya minta balipost.com juga menyediakan ruang untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi. apapun alasannya kalau bisa tolong disediakan ruang untuk itu. Semoga informasi ini dijadikan pertimbangan untuk diketahui oleh kita semua.