MEDIA massa (pers) memasuki rezim reformasi memiliki kekuatan mahadasyat dalam memengaruhi dinamika sosial dari khalayak publik. Ini diyakini karena adanya kekuatan adiluhung dari kebebasan pers. Tapi, praktiknya ideologi kebebasan pers itu kini hanya menjadi kamus usang dengan berbagai aturan hukum yang tak lagi memiliki ruh dan taksunya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan bagi khayalak publik. Sebab proses penyuntingan dari mekanisme konstruksi berita dalam produksi keredaksian terkait verifikasi, akurasi, pemisahan opini dari fakta dalam media massa kini sudah semakin lemah.

Hal ini karena besarnya tekanan dari kekuatan persekusi elite politik penguasa pemangku kebijakan yang dipicu relasi kuasa atas kepentingan individu atau personal maupun kelompok atau golongan tertentu dalam desa pekraman, termasuk pemilik modal atau pengusaha. Dampaknya, pembentukan karakter bangsa, moralitas, etika, sistem nilai, keluhuran budi, dan integritas, serta idealisme jurnalistik dalam sosial media semakin merosot tajam. Tak hanya itu, bahkan proses penegakan hukum pun menjadi kian karut-marut. Ini akibat dari maraknya praktik korupsi dengan berbagai rekayasa dan manipulasi hukum terhadap kebenaran dan keadilan atas kepentingan politik, ekonomi dan budaya.

Celakanya, para kaum jurnalis dan fotografer jurnalistik pengusung idealisme kebebasan pers pun kini justru semakin termarjinalisasi dari kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi secara bertanggungjawab di depan khalayak publik. Sebab semangat juang dalam menegakkan keadilan atas kebenaran telah dikhianati tanpa keluasan hati serta kesanggupan akal. Akibatnya, pencitraan media massa di mata sumber berita, pengiklan, dan pembaca pun sontak mengalami penurunan yang sangat dramatis dan sekaligus terkesan dilematis.

Terlebih lagi, gejolak perkembangan jurnalisme warga kini sudah semakin terbuka dan lebih bebas daripada jurnalisme fakta dan jurnalisme makna dalam mekanisme konstruksi media massa. Dalam konteks ini, jurnalisme warga (Kompas, 6:13/10/2012) merupakan fase kebebasan warga dalam menjalankan laku jurnalistik: mencari, merekam, mengolah, dan menyebarkan informasi dalam pelbagai bentuk di kanal berita ataupun media sosial seperti facebook, blog, dan twitter. Apabila kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi dari kebebasan pers telah tersandera kebijakan feodalisme yang otoriter berarti kaum pemimpin dari elite politik penguasa pemangku kebijakan dan pemilik modal atau pengusaha dalam sosial media secara nyata telah terbukti mengingkari visi-misinya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran demi kepentingan khalayak publik.

Fenomena ini sekaligus mengisyaratkan bahwa institusi dari organisasi independen terutama dewan pers sebagai lembaga pengawas yang mengontrol kinerja dan etos kerja media massa patut dipertanyakan serta diragukan komitmen dan loyalitasnya dalam menegakkan kebebasan pers yang bertanggungjawab secara komprehensif baik internal maupun eksternal. Dalam hal ini, secara internal berarti upaya meningkatkan kesejahteraan para pekerja pers (terutama wartawan) dalam keredaksian media massa, sedangkan eksternal berupa melindungi kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berekspresi dalam konstruksi berita yang sesuai kaidah jurnalisme fakta dan jurnalisme makna terhadap upaya menegakkan keadilan dan kebenaran bagi kepentingan khalayak publik.

Dengan kata lain, seorang pemimpin dituntut harus mampu memimpin secara partisipatoris yang dilandasi kejujuran, ketulusan hati, dan tanggungjawab dalam menciptakan terobosan baru demi kepentingan khalayak publik. Selain itu, juga harus memiliki aktivitas kerja yang tidak termotivasi oleh kehormatan, kemuliaan ataupun otoritas pribadi, serta selalu setia dalam melayani kepentingan khalayak publik sebagai pemimpin yang bertanggungjawab, berkarakter negarawan dan visioner. Intinya, seorang pemimpin jangan sekadar hidup enak, dihormati, dikenal banyak orang, serta tinggal memerintah sesuka hati (otoriter), dan berpenghasilan besar.

Atas dasar itulah, seburuk apapun kondisi dari mekanisme pencitraan terhadap sosial media dalam mengonstruksi berita sebagai informasi bernilai edukatif sekaligus hiburan merupakan tanggungjawab pemimpin dan bukan mutlak kesalahan orang lain atau bawahannya. Pada umumnya kondisi ini terjadi akibat penyalahgunaan kewenangan. Di mana pemimpin dalam menjalankan fungsinya cenderung mengatur dan mengarahkan serta mengorganisasi atau mengontrol usahanya dalam lingkaran oligarki kekuasaan atas dasar kepentingan prestise, kekuasaan, serta posisi semata.

Apalagi, dalam era reformasi saat ini di mana seorang pemimpin acapkali melakukan tindakan kejanggalan luar biasa dan bertolak belakang dengan etika sosial, estetika, serta kebenaran dan keadilan serta kenyataan yang paling hakiki. Tak pelak, pemimpin pun dicap sebagai patron kejahatan yang tak berkeadaban, karena secara sengaja mengonstruksi sistem kebrutalan kemanusiaan.  Itu sebabnya, fenomena dari praktik tawuran di antara kaum intelektual kini semakin marak dan kuantitasnya pun terus meningkat dalam orkestra demokrasi berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat.

 

Berbisik atau Berteriak Sama Saja

Kedaulatan dalam kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berekspresi merupakan sebuah hak mutlak dalam kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Tapi, jika semua hak itu dilanggar berarti kekuatan hukum dari UUD’45 serta kesaktian nilai adiluhung dalam ideologi Pancasila telah kehilangan ruh dan taksunya sebagai identitas bangsa. Ini artinya, upaya perubahan dengan cara berbisik ataupun berteriak hasilnya sama saja. Yakni: sama-sama tak dapat menegakkan keadilan dan kebenaran dari kenyataan yang paling hakiki bagi kepentingan khalayak publik.

Faktanya, fase kepemimpinan dalam beragam sektor kehidupan dalam sosial media cenderung terkooptasi dan terhegemoni kepentingan pribadi atau personal maupun etnisitas dari persekusi kelompok atau golongan tertentu para elite politik penguasa pemangku kebijakan serta pemilik modal atau pengusaha yang dipicu kapitalisme budaya global. Akibatnya, banyak orang yang kini merasa tidak nyaman terhadap praktik jurnalistik, termasuk para pekerja sosial media (wartawan) itu sendiri. Ini karena kehidupan pribadi maupun kelompok atau golongannya menjadi terancam. Tragisnya, malahan bisa kehilangan kehormatan dan jati diri, serta kemuliaan di hadapan khalayak publik.

Dalam konteks ini berarti kinerja para kaum jurnalis dan fotografer jurnalistik pengusung idealisme kebebasan pers dalam sosial media menjadi semakin termarjinalisasi. Ini karena proses reduksi berita dalam sosial media acapkali ‘menelanjangi’ ruang privat atau pribadi ke dalam ruang kolektif hingga dapat memengaruhi kesadaran paradigma kritis khalayak publik menuju ke arah perkembangan yang cenderung negatif atas realitas dari kenyataan yang hakiki.

Maka itulah, khayalak publik sebagai konsumen media massa (pers) berhak menuntut atas konstruksi berita dan fotografi jurnalistik yang menganut jurnalisme fakta dan jurnalisme makna yang objektif sebagai menu pelengkap yang sempurna dalam orkestra kehidupannya. Ini artinya, seorang pemimpin dalam sosial media secara nalar juga harus mampu memiliki integritas, kredibilitas, dan kematangan profesionalnya, serta bertanggungjawab terhadap kepentingan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan bagi khalayak publik. Sehingga, kuburan kebebasan pers tidak menghantui kehidupan dari idealisme kemerdekaan berpikir, berpendapat, serta berekspresi di negeri ini di masa datang.(*)

Oleh I Nyoman Wija, SE., Ak., M.Si.*

*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali dan Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya.