Dewa Wiarsa Raka Sandhi dan Wayan Jondra pada acara jumpa pers tadi siang

Denpasar (Metrobali.com)-

Tingkat partisipasi pemilih di Provinsi Bali saat pelaksanaan pemilu legislatif 9 April 2014 mencapai 77 persen.

“Penyebab keengganan masyarakat menggunakan hak pilihnya atau golput itu bisa jadi karena faktor teknis dan ideologis,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bali Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, di Denpasar, Jumat (24/4).

Ia mengemukakan, jumlah pemilih di Bali untuk Pemilu 2014 yang terdaftar sebanyak 2.989.554 orang. Jumlah tersebut meliputi pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) sejumlah 2.936.235 orang, pada daftar pemilih tambahan (DPTb) 4.195 orang, daftar pemilih khusus (DPK) 2.889 orang, dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb)/pengguna KTP/KK/nama sejenis lainnya sebanyak 45.235 orang.

Namun, dari 2.989.554 pemilih yang terdaftar tersebut, yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 2.309.574 pemilih (77,25 persen). Atau dengan kata lain jumlah kelompok golongan putih (golput) mencapai 679.980 orang (22,75 persen).

“Ada kelompok masyarakat yang memang secara sadar tidak berkeinginan menggunakan hak pilihnya karena belum memiliki pilihan, atau mereka tidak percaya dengan parpol maupun caleg karena belum dikenal. Golput seperti ini dikenal dengan istilah golput ideologis karena ada argumentasi tertentu yang membuat mereka tidak menggunakan hak pilihnya,” ujarnya.

Di sisi lain, tambah dia, ada juga penyebab golput karena faktor teknis yakni mereka yang sudah terdaftar di DPT tidak bisa menggunakan hak pilihnya misalnya disebabkan mendadak ada tugas keluar daerah sehingga tidak sempat mengurus pindah pilihnya.

Menurut Raka Sandi, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu kali ini yang besarnya 77 persen itu besarnya sama jika dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2009. Tingkat partisipasi pemilih di Bali dapat dikatakan sudah berada di atas target nasional 75 persen.

“Sesungguhnya untuk meningkatkan partisipasi pemilih harus melalui berbagai upaya yakni perbaikan dari aspek penyelenggara berupa menggencarkan sosialisasi, tata cara atau pemahaman teknis penggunaan hak suara, dan peserta pemilu hendaknya juga turut menyosialisasikan,” katanya.

Pihaknya tidak memungkiri juga ada kesulitan untuk memfasilitasi masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya ketika berada di rumah sakit. Prinsip penggunaan suara di tempat pemungutan suara (TPS) itu berbasis daftar pemilih tetap (DPT) sedangkan di RS sangat sulit ditentukan siapa-siapa yang akan menjadi DPT di sana.

“Berbeda halnya dengan pemilih di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang bisa dibuatkan DPT dan dibuatkan TPS karena mereka bisa diketahui kapan bebasnya,” ujar Raka Sandi. AN-MB